Bersikap tetap waspada dan bijak dalam mengambil keputusan di masa pandemi ini adalah modal penting agar solidaritas demi kemanusiaan itu tidak tergantikan dengan keinginan untuk memperoleh kebebasan lebih yang egoistis.
Tema tentang vaksin corona masih tetap aktual hingga saat ini. Menariknya bahwa di Eropa tema terkait corona mulai bergeser, sebagai contoh di Jerman misalnya. Diskusi hangat saat ini adalah terkait kemungkinan pengembalian ruang "kebebasan lebih" kepada mereka yang sudah divaksin.
Angka menurut data statistik terlihat bahwa jumlah yang sudah divaksin di China menempati urutan pertama sejumlah 289.627.000, sedangkan USA berjumlah 251.973.752. Kemudian menyusul India sejumlah 164.876.248 dan seterusnya.
Sedangkan Indonesia terinput data statistik sejumlah 21.367.754, jumlah sedikit lebih kecil dari Italia, 22.300.567. Dari data ini jelas bahwa tuntutan akan kebebasan sudah jauh lebih cepat dari jumlah yang divaksin, meskipun terlihat belum sampai setengah dari jumlah penduduk masing-masing negara, maupun secara keseluruhan.
Meskipun demikian, sisi lainnya adalah bahwa apakah tuntutan seperti itu memang akan tetap dibukakan kemungkinan atau dijawab olehÂ
pemerintah? Jika "Ya" standar pertimbangannya apa. Dari segi jumlah atau ada faktor lainnya. Nah, apakah risiko dari kebebasan itu tidak berdampak pada diri sendiri dan mereka yang belum divaksin?
Tentu masih banyak lagi pertanyaan lainnya. Apakah ada jaminan bahwa mereka yang sudah divaksin itu tidak akan terjangkit lagi atau jika mungkin terjangkit lagi, apakah benar terjamin aman?
Tampaknya, pertanyaan-pertanyaan di atas belum bisa dijawab cepat dalam waktu dekat ini. Artinya, untuk memperoleh suatu jawaban pasti yang berdampak pada keamanan dan keselamatan banyak orang, dibutuhkan kajian yang benar-benar akurat, dan untuk hal seperti itu, tentu membutuhkan waktu.
Kajian dan penelitian terkait hal seperti itu mesti melalui proses pengambilan sampel yang tidak mungkin sekali langsung jadi. Ya, suatu kajian yang benar-benar bisa diuji dengan kajian lainnya dari negara lain, sebagai data pembanding tetap sangat diperlukan.
Karena itu, sebenarnya tema tentang kebebasan bagi mereka yang sudah divaksin terasa terlalu cepat untuk dibahas. Karena sebagian besar orang bukan hanya pada suatu negara, tetapi secara global belum mencapai seperempat dari penduduk dunia yang divaksin.
Di manakah solidaritas kita dengan orang lain di negara lain? Hal menarik lainnya bahwa India telah menyerukan permohonan bantuan dari negara-negara lain di Eropa.
Bahkan bantuan itu sedangkan dalam proses penyalurannya. Jerman misalnya menjadi orang pertama yang mengaturnya melalui jalur sumbangan yang diorganisir pihak keuskupan dan caritas.
Padahal kalau dilihat, angka yang divaksin di India, 164. 876.248 jauh lebih besar dari Indonesia, bahkan jauh lebih besar dari Jerman. Inilah keanehan dunia saat ini.
Pandemi ini dikenal umum bahwa  punya dampak kematian jutaan manusia di seluruh dunia, ada sekitar 3, 2 juta yang meninggal dan 156,6 yang terinfeksi sebagaimana dirilis Rainer Radtke (7/05/2021).
Pantaskah dengan mempertimbangkan angka penyebaran dan angka kematian seperti itu lalu membicarakan tentang kebebasan lebih seperti sebelum covid-19? Tema kebebasan bisa saja menjadi tema diskusi untuk mengkaji lebih matang terkait dampak-dampaknya.
Meskipun demikian, sangat jelas bahwa tema itu belum layak untuk direalisasikan di negara-negara yang berpenduduk besar seperti China, USA, India, Brazil dan Indonesia.Â
Nah, hari ini 8 Mei adalah peringatan hari Palang Merah sedunia. Saya yakin peringatan hari Palang Merah Internasional ini adalah momen yang tepat untuk mengenang pilihan utama dari palang merah itu sendiri.
Pilihan keberpihakan pada kemanusiaan adalah opsi yang tidak tergantikan dalam hal ini. Pertanyaan penting terkait diskusi politik di Eropa saat ini tentunya, apakah kebebasan dalam arti bukan sebagai suatu paham filosofis itu harus diutamakan daripada kemanusiaan?
Kebebasan yang dimaksudkan dalam konteks ulasan ini adalah kebebasan praktis di mana orang diberikan ruang untuk berjumpa dengan orang lain sebebas-bebasnya tanpa batas tertentu dengan istilah seperti lockdown.
Atas dasar apa pemberian ruang bebas itu kepada mereka yang sudah divaksin? Tentu tetap menjadi pertanyaan kritis yang perlu tetap dikaji lebih dalam lagi alasan-alasannya.
Patokan pertimbangan untuk keputusan perubahan terkait kebebasan bagi mereka yang sudah divaksin mestinya tidak terpisahkan dari pertimbangan kemanusiaan secara global.Â
Nah, data terkait tentang berapa yang divaksin sudah menunjukkan dengan jelas bahwa belum sampai setengah dari penduduk dunia yang divaksin, belum lagi tingkat kenyamanan dari risiko penyebaran virus untuk kedua kalinya belum diuji dengan baik.
Artinya potensi dan risiko kematian yang disebabkan oleh covid-19 masih sangat besar. Karena itu, momen peringatan palang merah itu perlu menjadi momen untuk melihat kembali seberapa penting keputusan politis di Eropa tentunya.
Keputusan politik terkait Covid-19 selalu akan punya dampak langsung dan tidak langsung pada negara-negara lain. Dampak langsung bahwa keputusan itu akan menjadi keputusan pembanding di negara lain, sekurang-kurangnya bagi mereka yang sudah divaksin.
Sedangkan dampak tidak langsung adalah bahwa menimbulkan kecemasan setelah kesempatan bebas itu diberikan. Kecemasan itu, bukan saja pada negara-negara yang merasa diri warganya banyak di vaksid saja, tetapi bisa juga negara-negara tetangga terkena imbasnya.
Arus wisata dan perjalanan antar negara rupanya tidak bisa ditutup, karena itu cepat atau lambat semestinya polemik terkait pemberian kebebasan itu perlu dipertimbangkan lagi secara matang.
Kebebasan memang penting, namun kemanusiaan dan keselamatan manusia jauh lebih penting. Tuntutan kebebasan tidak bisa dipaksakan, jika saja risiko penyebaran virus belum bisa dikendalikan.
Ulasan ini tidak lain bermaksud untuk mendukung opini pemerintah Indonesia terkait keselamatan manusia melalui program-program praktis yang kadang terasa membatasi kebebasan. Kesan apa pun harus dikalahkan atas nama kemanusiaan.
Bayangkan saja, jika lebaran saja dilarang mudik, maka sebenarnya tidak punya alasan masuk akal seperti atas nama kebebasan itu, mereka yang sudah divaksin itu diberikan kesempatan untuk bepergian dan mengunjungi keluarga mereka.
Karena itu ada 5 pertimbangan yang mesti diperhatikan agar dampak penyebaran pasca vaksin tidak meningkat:
1. Kewaspadaan diri setiap orang perlu dimiliki tanpa harus dipilah siapa yang sudah divaksin dan siapa yang belum divaksin.
2. Polemik dan diskusi-diskusi terkait bisa saja ada, namun sebaiknya tidak terprofokasi, karena pertimbangan kemanusian harus menjadi opsi pertama dan prioritas.
3. Penelitian lanjut mesti tetap dibuat untuk memberikan kepastian kepada publik terkait seberapa nyaman ketika divaksin dan seberapa besarnya risiko bagi yang belum dan tidak divaksin.
4. Semua orang perlu buka mata dan belajar dari kewalahan negara-negara lain seperti India yang sebelumnya terlalu longgar dalam protokol kesehatan, sehingga berdampak pada masifnya penyebaran covid-19.
5. Solidaritas kemanusiaan harus tetap menjadi topik utama daripada kerinduan dan keinginan untuk kepuasan tertentu sekelompok orang.
Demikian ulasan tentang polemik terkait tuntutan perolehan "kebebasan lebih" dari mereka yang telah divaksin di Eropa dan sudut pandang tentang pentingnya nilai kemanusiaan sebagai prioritas pertimbangan di hari peringatan Palang Merah Internasional pada hari ini. Tentu ini adalah pandangan pribadi yang tetap terbuka pada sudut pandang lainnya.Â
Salam berbagi, ino, 8.05.2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H