Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tradisi dan Mitos Penangkapan Ipu-Podhe di Flores

10 April 2021   03:43 Diperbarui: 10 April 2021   21:10 2187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Remang senja kembali ke barat, perlahan-lahan tenggelam dalam balutan awan, di sela-sela percikan cahaya yang masih tersisa. Mereka pergi ke laut sambil membawa jaring-jaring kecil dengan penuh sukacita. 

Isyarat datang musim penangkapan Ipu tiba sejak April awal. Gemuruh langit, gelombang laut, tiupan angin kencang berlalu, bahkan kembali teduh selalu mengawali hari-hari awal datangnya Ipu. 

Perubahan iklim dan cuaca setempat dikenal begitu cepat oleh masyarakat setempat sebagai saat-saat datangnya Ipu hampir tiba. 

Biasanya, masyarakat setempat mulai mempersiapkan segala sesuatu yang perlu, mulai dari mempersiapkan jaring, pakaian, bekal, ember, baskom dan beberapa sarana lainnya yang penting.

Tidak hanya orang-orang di pesisir yang mulai dengan persiapan praktis untuk pergi ke laut, tetapi juga siapa saja boleh datang ke sana. Ya, semuanya tampak menjadi super sibuk. 

Ada yang mengingatkan larangan-larangannya, ada pula yang mulai mendongeng ulang kisah-kisah tahun sebelumnya dan lain sebagainya. Seru juga sih. 

Apalagi sambil menangkap bisa juga sambil berenang di laut. Tentu ekstra dilengkapi dengan pemandangan senja dan barisan awan yang tidak teratur, namun indah mempesona di barat sana. Ya, sorotan tanjung Riti di wilayah Nangaroro menambah eksotisnya pantai batu hijau Nangapanda itu. 

Tradisi penangkapan Ipu

Ipu adalah bahasa daerah Ende-Lio untuk menamakan sejenis ikan kecil yang cuma datang setahun sekali. Uniknya bahwa sejak dahulu orang-orang di kabupaten Ende, Flores menangkap itu bukan cuma di laut, tetapi juga di sungai. 

Ikan-ikan kecil dalam jumlah yang begitu besar bahkan bertumpuk dan bergerombolan seperti terseret gelombang terus mengarah ke bibir sungai. Bahkan kemudian sejumlah lolos dari tangkapan di pesisir laut, akhirnya berenang melawan arus sungai sampai begitu jauh dari laut. 

Ikan-ikan kecil tampak halus dan putih. Pertumbuhan begitu cepat dalam waktu dua minggu tampak badan ikan-ikan kecil itu sudah menjadi hitam. 

Meskipun demikian, perkembangan selanjutnya entah menjadi sebesar apa tidak diketahui. Ipu muncul tiba-tiba dan bahkan menghilang lenyap kembali pun kadang tidak diketahui masyarakat setempat.

Penangkapan manual dengan menggunakan jaringan seperti jaringan kelambu nyamuk selalu efektif  mengumpulkan ribuan ikan-ikan kecil itu.  

Pada tahun 1980-an, Ipu itu bisa berenang lebih dari 15 km ke arah gunung. Bahkan orang-orang di pedalaman kecamatan Nangapanda pun bisa menangkap di sungai terdekat. Saat ini, masyarakat Nangapanda hanya bisa menangkap di pesisir laut. Mengapa terjadi demikian? Hal ini karena ada kemungkinan peresan air sebagai akibat dari galian tambang pasir di jalur Sungai itu. Peresapan itu menimbulkan efek putusnya aliran langsung air Sungai sampai ke laut. Tentu hal ini sangat disayangkan, galian pasir itu ternyata bisa punya dampak yang kurang bagus untuk lingkungan sekitarnya, termasuk dalam kaitannya dengan penangkapan Ipu. 

Berenang melawan arus bagi ikan-ikan kecil itu sama sekali bukan menjadi persoalan. Aneh bukan? Kecil-kecil tapi kuat melawan arus air. 

Mitos ibu hamil

Tradisi penangkapan Ipu di kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Flores ini ternyata punya cerita mitosnya sendiri. 

Mitos itu bermula dari pengalaman berulang kali saat menangkap Ipu di pesisir kecamatan Nangapanda. Ibu hamil bersama suaminya adalah pengusir Ipu untuk pergi dan menjauh dari pesisir laut dan sungai. 

Apa alasannya? Sampai saat ini tidak ada yang tahu. Dari pengalaman mereka sendiri tentunya mengajarkan masyarakat untuk percaya meskipun tidak rasional. Bagaimana tidak?

Coba bayangkan pernah ada kejadian, saat Ipu berdatangan begitu banyak, lalu pada waktu itu datanglah seorang ibu hamil yang hendak juga menangkap Ipu, tidak lama dari kedatangan ibu hamil itu, Ipu pun pergi menghilang  dari pesisir laut dan sungai. 

Kejadian seperti itu sudah berulang, karena itu, masyarakat sampai dengan saat ini selalu melarang, agar ibu hamil bersama suaminya tidak boleh ke laut pada saat musim penangkapan Ipu. 

Pantang pergi ke laut bagi ibu hamil bersama suaminya sama dengan membuka tangan lebar-lebar untuk menerima rezeki bagi banyak orang lainnya. 

Ipu dan rezeki masyarakat

Ipu ditangkap bukan cuma untuk konsumsi pribadi, tetapi Ipu bisa dijual dengan harga yang lumayan mahal. Tentu, harganya berbeda-beda, karena tidak ada standar harga yang ditentukan. Logikanya sederhana, semakin jauh Ipu itu dijual, maka harganya akan semakin mahal.

Ipu adalah jenis ikan kecil yang bisa diolah menjadi bahan makanan ke banyak bentuknya sesuai dengan keterampilan masing-masing orang. Umumnya, orang masih mengenal jenis olahan Ipu yang lebih tradisional dikenal dengan nama Sombe. 

Sombe itu terbuat dari bahan campuran antara Ipu, kulit jeruk nipis dan airnya, batang serai yang sudah diiris kecil, cabe yang sudah diulek halus dan garam, lalu dimasukan ke dalam bambu dan ditutup dengan tutupan yang sangat rapat. 

Metode pengawetan dengan air jeruk nipis itu, tetap menjamin keunikan rasa racikan Sombe yang unik dan sangat enak dinikmati menemani makan bersama keluarga dan teman-teman. 

Dokumen pribadi: Ipu goreng dari Sien Ndari
Dokumen pribadi: Ipu goreng dari Sien Ndari
Sampai dengan saat ini, saya yakin Ipu belum pernah dipromosikan sebagai makan khas dan sumber rezeki orang-orang di pesisir pantai. 

Karena itu, sebenarnya saya sangat bersyukur bahwa melalui Kompasiana, saya akhirnya bisa berbagi cerita tentang tradisi, keunikan makanan khas dan juga sumber pencaharian warga kecamatan Nangapanda. 

Dalam perkembangan, Ipu tidak hanya diolah menjadi Sombe, tetapi bisa juga menjadi sup Ipu, gorengan yang bisa dicampur dengan tepung, bahkan bisa juga dijemur kering, kemudian digoreng bersama dengan kacang tanah, hingga menjadi dendengan kering mirip seperti krupuk.

Dokumen pribadi: kreasi baru Ipu dari Sien Ndari
Dokumen pribadi: kreasi baru Ipu dari Sien Ndari
Fleksibilitas dalam mengolah Ipu sebenarnya memberikan peluang kepada warga masyarakat untuk mengembangkan kemungkinan-kemungkinan yang baru dan kreatif. 

Sementara itu, pada tempat yang sama, muncul pula jenis lain yang menyerupai kepiting kecil dalam jumlah yang masiv. nama jenis itu dalam bahasa setempat disebut Podhe. 

Podhe muncul tidak selalu bersamaan dengan Ipu, namun keduanya sering disebut bagaikan dua kembar, Ipu nee Podhe atau Ipu dan Podhe. 

Kepiting kecil yang berwarna putih itu juga datang dari laut dan berjalan dari pesisir sungai menuju ke arah mata air. 

Podhe tidak berenang melawan arus, tetapi berjalan menyusuri sungai. Anehnya dalam waktu beberapa hari, orang sudah menemukan Ipu dan Podhe sudah begitu jauh dari laut.

Pesan etis dari cerita Ipu dan Podhe

Meskipun demikian, dari segi kecepatan perjalanan Ipu dan Podhe menuju arah mata air bisa dengan mudah dapat dibedakan. Sekalipun melawan arus air, Ipu  selalu terlihat lebih cepat, dibandingkan Podhe. 

Tidak heran juga sih, kalau di kalangan masyarakat Nangapanda mengenal peribahasa daerah ini, "Ngere Ipu ndore Podhe" atau seperti Ipun mendahului Podhe. 

Peribahasa daerah ini memiliki makna kritikan pada seseorang yang tidak tenang berpikir, sehingga selalu mau mendahului orang lain yang lebih tua. Ya, bisa juga mengungkapkan bahwa seseorang yang tidak tahu menghargai orang lain yang lebih tua.

Pesan etis ini lahir dari tradisi sopan santun di dalam masyarakat. Tanpa melalui pendidikan formal pun, orangtua di rumah sudah mengajarkan anak-anak mereka untuk menghargai orangtua, atau siapa saja yang lebih tua. Peribahasa ngere Ipu ndore Podhe masih dikenal dan dipakai masyarakat Nangapanda sampai dengan saat sekarang ini. 

Cerita singkat tentang mitos ibu hamil dan sang suami yang dilarang pergi menangkap Ipu dan Podhe di pesisir laut dan sungai selalu berulang setiap tahun. 

Ipu dan Podhe kini semakin diminati banyak orang, bahkan mulai dijual sampai ke kota dengan harga yang mahal. Lebih dari sekedar jenis makanan yang enak dan khas, bagi warga pesisir pantai yang sehari-hari kerja mereka hanya menenun sarung dan mengumpulkan serta menjual batu hijau, Ipu dan Podhe adalah rezeki ekstra dari Pencipta. 

Demikian cerita dan ulasan singkat tentang tradisi penangkapan Ipu dan Podhe di wilayah Nangapanda, Ende, Flores NTT. Melalui tulisan ini, saya hanya berharap agar masyarakat sekitar semakin menghargai tradisi adat istiadatnya dan terus memaknai kebaikan Pencipta. 

Karena Pencipta itu baik, maka orang perlu bersyukur dan saling menghargai satu dengan yang lain, sambil terus menjadi kreatif untuk mempertahankan hidup yang terkadang sulit untuk orang-orang di pesisir. Tuhan memberi dan terus memberi lebih lagi, jika orang semakin berbagi kepada yang lain.

Salam berbagi, ino, 10.04.2021.

 


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun