Dalam konteks tertentu "Pore Jaji" itu tidak dilakukan di dalam rumah, tetapi pada tempat yang ditentukan oleh pemangku adat suku. Tempat itu diakui oleh semua sebagai suatu tempat sakral atau locus sakral.Â
Di sana akan ditemukan batu panjang yang ditanam dengan posisi berdiri, jauh lebih tinggi dari yang lainnya.Â
Batu itu dinamakan Tubu Musu atau batu yang merupakan tanda istimewa dari makam seorang pemangku adat sejak dari dulu kala. Tentu, nilai sakralitas itu lebih secara kultural dan alam dan bukan dalam konteks spiritual religius tertentu.
Keyakinan budaya itu terlihat masih sangat kuat berfungsi sebagai instrumen pemersatu, bahkan pemurni dari realitas yang terjadi dan tidak dinyatakan secara jelas.Â
Uniknya bahwa keterbatasan sisi keyakinan mereka, ditopang oleh alam. Â Alam yang menyatu dengan kata-kata janji mereka. Alam bisa menjadi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan irasional.Â
Kata akhir
Demikian kisah sibling rivalry antara anak sulung dari istri pertama dan anak tiri yang semula berbuntut tiada titik terang setelah kematian sang ayah mereka.Â
Namun solusi hukum adat "Pore Jaji" telah menolong mereka untuk kembali menemukan Firdaus, alam kebahagiaan dan kerukunan sebagai saudara dari sang ayah yang satu dan sama. Betapa bahagianya mereka sekarang hidup sebagai saudara.Â
Daya dari hukum mesti bisa menyatukan manusia untuk hidup dalam Firdaus kedamaian dan kerukunan. Namun, Firdaus seperti itu tidak boleh dibangun hanya oleh kekuatan rasional manusia, tetapi mungkin juga dengan keyakinan akan energi alam di mana manusia hidup dan berpijak.
Salam berbagi, ino, 9.04.2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H