Manusia membutuhkan air untuk kehidupan untuk memenuhi kebutuhan manusia sehari-hari, baik untuk di rumah, di kantor, dalam perjalanan, dan lain sebagainya.Â
Air memiliki fungsi penting bagi manusia dan lingkungan hidupnya. Air tidak hanya memiliki fungsi yang terikat dalam kaitannya dengan kebutuhan sehari-hari saja, tetapi fungsi air bisa lebih besar lagi dari itu, sejauh manusia bisa mengolah dan mengubahnya.Â
Kesadaran seperti inilah yang menggerakan saya pada liburan musim panas tahun 2019 lalu mengunjungi suatu mata air di desa Kerirea, Kabupaten Ende, Flores NTT.Â
Mata air itu sudah lama dikenal masyarakat setempat, bahkan tempat itu disebut dalam ucapan masyarakat asli sebagai Ae Puu atau sumber mata air.Â
Sejak masa kecil saya sudah mengenal mata air dengan sebutan Ae Puu. Ae dalam bahasa Ende berarti air, sedangkan Puu berarti pangkal atau sumber.
Sebagai sumber mata air, kesejukan dari Ae Puu itu tidak bisa ditandingi. Ae Puu bahkan bisa diminum mentah. Berjam-jam kalau dilarutkan dalam gelas, orang tidak akan menemukan zat kapur di dalam air itu.Â
Bagi saya, ketiadaan zat kapur itu adalah bukti bahwa air dari sumber mata air Ae Puu itu sungguh bersih.Â
Saya masih ingat sebelum tahun 1992, sumber mata air itu menjadi salah satu sumber air minum yang diambil masyarakat sekitar secara manual dengan menggunakan bambu dan sarana lainnya. Air itu dipakai untuk minum dan memasak makanan. Tentu, dari mata air itu dipakai juga untuk mandi dan beberapa kebutuhan lainnya.Â
Ya, kesegaran yang tiada tara bisa dinikmati kapan saja secara gratis. Umumnya, dipakai oleh petani desa yang setelah bekerja kebun mereka.
Tahun 1992 adalah tahun mengenaskan bagi Flores secara keseluruhan melalui peristiwa gempa bumi yang dahsyat, tepatnya pada 12 Desember 1992.Â
Pasca gempa dahsyat itu, desa Kerirea pun menerima bantuan beberapa proyek jalan desa dan proyek air minum. Dua proyek itu adalah proyek swasta yang merupakan bantuan dan kerja sama dari orang Jerman. Nama proyek itu adalah Proyek Pembangunan Swadaya Tani Masyarakat (PPSTM).Â
Kehadiran orang Jerman pada waktu itu mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah sejak dulu kala mengambil air minum dari mata air Ae Puu ke mengambil air dari bak air dekat rumah.Â
Proyek instalasi air minum itu dikerjakan dengan sangat baik, mulai dari mata air sejauh 12 km sampai ke semua kampung, di mana masyarakat desa itu bermukim dan hasil kerja proyek itu pun masih bertahan hingga sekarang.Â
Tentu, proyek air minum itu tidak akan bertahan lama, jika tanpa sumber mata air yang tetap mengalirkan air hingga sekarang.Â
Nah, masyarakat desa Kerirea tentu bersyukur atas bantuan proyek Jerman itu. Cara perawatan yang dilakukan masyarakat adalah dengan membersihkan mata air secara berkala.Â
Selain itu, saya tetap melihat hal lain yang penting terkait air, sekali pun masyarakat itu sudah tidak susah-susah mengambil air sendiri dari mata air. Hal yang penting adalah semangat masyarakat untuk melestarikan lingkungan alam yang menjadi sumber mata air.Â
Dalam foto ini adalah gambar mata air Ae Puu yang jauhnya cuma 1 km dari perkampungan. Mata air itu memang sejak tahun 1992 sudah tidak lagi digunakan sebagai sumber air minum bagi masyarakat.Â
Pengalihan fungsi itu berdampak positif bahwa debit sumber mata air menjadi lebih besar dari sebelumnya di satu sisi, tetapi juga bahwa jalan masuk dan kebersihan mata air menjadi kurang diperhatian pada sisi lainnya.Â
Di sana ada pohon kenari, yang buahnya bisa dimakan. Selain itu, di sana tumbuh banyak sekali pohon enau, pohon yang bisa menghasilkan minuman lokal khas NTT.Â
Pada area mata air itu tumbuh juga pohon pinang, pohon kemiri, pohon ara, jenis bambu dan pohon sukun. Dan satu pohon yang berperan penting bagi kelestarian sumber air di tempat itu adalah pohon beringin.Â
Orang sudah bisa membayangkan bagaimana teduh dan damainya tempat itu. Saya tentu adalah salah seorang yang sangat menyukai alam, apalagi mata air.Â
Keistimewaan tempat mata air Ae Puu itu bukan cuma berkaitan dengan keteduhan, karena ada pohon-pohon besar dan tinggi, tetapi juga tumbuhan jenis bunga yang ada di sekitar mata air itu, sangat punya pengaruh bagi keunikan mata air itu.Â
Keunikan, yang bagi saya sangat mahal dan berarti adalah pada area sepanjang 200 meter arah aliran air dari mata air. Apa yang ada di sana?Â
Nah, pada masa liburan yang lalu, saya coba melihat dari dekat dan menyusuri keindahan yang terselubung dari mata air itu. Ternyata, sumber mata air itu begitu indah dan menyejukkan.Â
Saya percaya bahwa melalui proses pengendapan dan pelapukan daun-daun dalam waktu yang lama, proses itu akhirnya membentuk batu-batu bertingkat yang mirip seperti karang hidup atau tampak seperti mineral.Â
Pada setiap tingkatan ada rembesan air dan bahkan tetesan yang jatuh perlahan dan teratur. Dalam keheningan seorang diri waktu itu, terasa seperti ada nada dari suara keheningan alam pada sumber mata air itu, apalagi ekosistem air itu masih utuh.Â
Saya masih melihat ada udang-udang berkeliaran santai tanpa takut. Ya, kesan ramah lingkungan masih kuat di tempat itu.Â
Sunyi, sepi sendiri sambil mendengar siulan beo di ketinggian dahan pohon sukun. Tentu, masih ada banyak lagi jenis-jenis burung yang ada di sana seperti burung kenari, lovebird kekuningan yang selalu beterbangan berdua, burung ciblek juga aneka jenis pipit dan cucak rowo.Â
Peluang wisata
Sumber mata air yang menghasilkan batu-batu hidup itu tampak menarik untuk dikembangkan menjadi sebuah tempat wisata alam.Â
Di sana bisa menjadi tempat mandi, tempat untuk hening sambil merendam kaki, atau bahkan bisa menjadi tempat untuk membidik keindahan burung-burung di antara dahan-dahan pohon di tempat itu.
Namun, sayangnya sumber mata air yang sungguh menyenangkan itu hingga sekarang belum memperoleh akses jalan yang baik. Cuma ada harapan bahwa suatu saat akses jalan menuju sumber mata air bisa menjadi target wisata.Â
Apalagi jalan menuju mata air itu searah dengan tempat wisata air terjun Tiwu Awu. Meskipun demikian, berjalan kaki itu juga menjadi bagian dari ekspedisi yang memungkinkan orang dapat berjumpa jauh lebih banyak lagi dengan keindahan aneka bunga-bunga dan aneka jenis kupu-kupu yang ada di sana.
Wawasan baru tentang alam dan keindahannya pasti memberikan setitik embun kesejukan, jika orang punya kesempatan untuk mengunjungi sumber mata air Ae Puu. Di sana akan banyak juga ditemukan tumbuhan seperti Flemingia. Bunganya menyerupai kupu-kupu, karena itu tidak heran jenis tumbuhan ini diklasifikasikan sebagai Schmetterlingsblütler. Ya, termasuk dalam golongan bunga yang dikenal umum dengan sebutan Flemingia strobilifera, sedangkan penduduk asli menyebutnya Semba.
Menariknya bahwa pada waktu tertentu, ketika musim bunga hinggaplah kupu-kupu pada kelopak bunga itu. Suatu pemandangan yang memanjakan mata tentu bisa didapatkan di sana.Â
Tentu masih ada begitu banyak jenis bunga yang bisa ditemukan lagi di sana. Orang bisa menemukan bunga-bunga indah itu di hutan. Nah, betapa kayanya Pulau Bunga itu.Â
Di Flores bunga bukan cuma beribu jenis bunga yang tumbuh dan hidup di sana, tetapi juga batu berwarna, batu hidup, batu alam. Senang sih, menulis tentang yang belum tertulis dan mempopulerkan keindahan yang dianggap tidak indah oleh mata sendiri.Â
Mungkin di mata orang desa itu tidak berarti, tetapi juga jangan lupa bahwa nama bunga-bunga itu punya sejarah sendiri. Kehidupan bunga-bunga di Pulau Bunga, tentu berkaitan dengan kelestarian alam dan sumber mata air yang ada di sana.Â
Ya, liburan bagi saya adalah kesempatan untuk memberi nama pada yang belum punya nama, karena tidak mengenal cara menemukan nama. Suatu peluang dan kesempatan indah untuk menjadi akrab dengan alam dan kehidupan yang tidak biasa.Â
Kerinduan untuk memperkenalkan ciptaan Tuhan yang indah dan bermanfaat terpatri dalam sanubari. Semuanya bukan karena sebatas hobi, tetapi lebih dari suatu rasa cinta pada negeri dan tanah air sendiri yang indah, damai dan berarti untuk kehidupan ini.
Salam berbagi, ino, 29.03.2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H