2. Ingatan akan komentar seorang teman
Tahun 2011 ketika saya bertugas di Maumere, pernah ada kunjungan seorang teman dari Malang. Waktu itu, kami tidak menyiapkan makanan istimewa, selain apa adanya yang biasa kami konsumsi dan kami percaya bahwa itu sehat.Â
Salah satu hidangan pada waktu itu adalah daun pepaya. Teman itu coba mencicipi masakan sederhana itu, ternyata menurutnya sangat pahit dan dia tidak bisa memakannya. Menariknya, dengan gaya santun, namun lucu, dia berkata begini, "Hidup sudah pahit, kok makan lagi yang pahit."
Sampai dengan saat ini, cerita itu tetap saya ingat. Bahkan ketika makan mi bersama teman saya orang Jerman, saya menceritakan cerita itu. Teman saya tertawa terbahak-bahak. Enak juga sih, daun pepaya bisa jadi bahan lucu (Witzig). Tapi, teman itu juga suka makan mi yang dicampuri daun pepaya kering. Menurutnya, menyisakan rasa pahit mirip sayur Rucola itulah yang menjadikan Mi campur daun pepaya terasa unik, enak dan segar.Â
Hidup itu kan butuh juga Witzig, yang bisa mengubah suasana jadi lebih hidup. Hal yang penting dari ingatan akan komentar teman itu sebenarnya adalah soal cara pandang.Â
Bagi orang desa, makan daun pepaya itu bukan untuk menambah kepahitan hidup, tetapi untuk mempertahankan hidup dari serangan penyakit, khususnya malaria. Beda bukan dengan komentar tentang hidup sudah pahit, makan lagi yang pahit.
Bagaimana sampai ada Mi Pepaya?
Selain cerita bahwa pepaya sudah menjadi makanan kesukaan, ada pula cerita rindu makan daun pepaya. Tentu wajar, kalau saya yang sudah biasa memakannya, lalu bertahun-tahun sama sekali tidak pernah memakannya, menjadi begitu merindukan, entah kapan bisa makan lagi Mi campur daun pepaya.Â
Anda bisa bayangkan seperti setahun tidak pernah makan di restoran Yunani di mana ada hidangan khas, steak domba di sana. Demikian pula kerinduan saya menjadi masuk akal sekurang-kurangnya untuk keluarga saya pada saat saya cerita tentang kerinduan saya.Â
Nah, kerinduan seperti itu pernah tercapai di Jerman. Oma asal Jogjakarta itu membawakan saya satu toples daun pepaya. Apa yang saya lakukan? Waktu itulah ide untuk memasak mi dengan daun papaya itu muncul. Percobaan pertama, tentu untuk saya sendiri pasti mendekati perfekt.Â
Waktu saya masak mi dengan campur daun pepaya, ada seorang Portugis bertanya seperti ini, "itu enak?" Saya jawab, " Ya perfecto" jawaban dalam dialek Portugis untuk sesuatu yang berkualitas sempurna dalam rasa khususnya rasa Mi campur daun pepaya. Saya begitu senang setelah 4 tahun tidak pernah makan daun pepaya. Tentu, alangkah lebih enak, jika MI di campur dengan daun pepaya muda.Â