STMJ, singkatan itu pertama kali saya dengar dalam suatu perjalanan menuju danau Toba pada tahun 2013. Entah kenapa hari ini, tiba-tiba saya mengenang cerita STMJ pada saat acara rekreasi malam bersama teman-teman.Â
Suatu hari santai bersama, di awal musim Semi di Jerman. Biasa sih, kalau duduk-duduk cerita, sambil minuman berbagai jenis bir dan Wein. Biasanya pada waktu duduk bersama seperti itu, selalu saja ada cerita yang menghibur, ada pula kreativitas yang spontan muncul dari anggota rumah.Â
Teman yang berasal dari Korea punya keterampilan memasak Mie pedas. Wow pedasnya ampun deh, beberapa kali saya memakan Mie pedas Korea itu, keringat bermuncul dan yang paling deras itu datang dari kepala, ya area sekitar ubun-ubun. Mungkin juga karena botak kali, gak tau juga sih, tapi faktanya seperti itu.Â
Sementara itu, kalau mau dilihat unjuk kreativitas itu dilakukan secara bergilir. Putaran berikut pada hari rekreasi bersama, teman-teman dari Kerala, India yang bertugas. Mereka punya selera mirip saya sih. Mereka bisa dengan cekatan membuat telur goreng campur bawang merah. Pokoknya rekreasi selalu seru dan menarik.Â
Kadang-kadang teman-teman meminta saya juga sih. Kalau soal sambal Flores itu sudah tidak baru lagi. Semuanya pasti suka, bahkan beberapa kali minum bir, makan sosis Jerman dan sambal Flores. Rasanya tiada duanya, suenak tenan. Meskipun demikian, variasi dan kreasi baru tetap memberikan nuansa baru untuk suatu kebersamaan dengan teman-teman. Ya, suasana selalu baru dan unik untuk dinikmati bersama.
Ketika saya diminta untuk melakukan sesuatu bagi teman-teman, saya pikir apa ya, yang menarik dan unik dari Indonesia. Tentu dalam hati, gak mau kalah dong. Â Bagi saya kesempatan seperti itu adalah peluang untuk berbagi cerita dan keunikan Indonesia.Â
Saya akhirnya bercerita tentang perjalanan saya pada tahun 2013 dari Medan ke Sidikalang, lalu setelah pertemuan, kami berangkat ke danau Toba. Namun, cerita ini merupakan suguhan kedua setelah STMJ siap dinikmati oleh semua teman.
Sambil menikmati STMJ, saya menceritakan beberapa hal ini. Ya, saya punya beberapa kenangan yang menarik ketika dua Minggu ada di Sumatera. Â
1. Perjalanan ke Sumbul
Dalam perjalanan ke Sumbul, mata dan ingatan saya tiba-tiba terganggu, bahkan seakan-akan saya sedang berada di Flores bagian Barat, atau wilayah Manggarai. Mengapa? Ini hal yang mengejutkan saya bagaimana saya melihat orang Sumatera membangun rumah yang paling sederhana dengan struktur bangunan yang sama ketika saya melihat di wilayah Manggarai.Â
Tentu tidak semua, tetapi kesamaan itu ada. Rumah satu pintu dengan dua jendela depan. Uniknya adalah cara mereka menyusun papan sebagai dinding rumah. Kalau di daerahku susunannya vertikal, sedangkan di Manggarai dan di Sumatera, mereka terlihat sama, disusun secara horizontal.Â
Keunikan lainnya adalah di Manggarai orang bisa menemukan tanaman kopi di depan rumah mereka, nah di Sumatera juga seperti itu. Lalu, orang Sumatera dan Manggarai kulit mereka eksotis sama putih.Â
Pertanyaan saya, mengapa ada kemiripan seperti itu? Apakah dulu kala Sumatera dan Flores itu satu daratan, lalu karena evolusi, maka akhirnya terpisah? Rasanya sih susah banget untuk menemukan jawabannya. Tapi, saya berbangga dengan kemiripan ini. Rupanya masih ada misteri tentang kemiripan di tengah keanekaragaman di Indonesia.Â
2. Perjalanan ke danau Toba
Saya tidak ingat persis tempat itu namanya apa, namun rombongan kami sempat berhenti pada sebuah pondok sederhana, persis dari tempat itu, orang bisa melihat betapa eksotisnya danau Toba. Danau yang sungguh indah. Saya secara pribadi memandang dari ketinggian itu hanya dengan rasa kagum yang luar biasa. Ada dua momen yang penting dalam perjalanan ke danau Toba:
a. View danau Toba dari atas lereng gunung dan pesan harapan
Refleksi tentang keindahan pemandangan alam itu menyentuh hati saya, lebih-lebih ketika berada di atas udara. Dalam suatu penerbangan dari Singapura ke Jakarta pada tahun 2019 lalu, saya bisa menyaksikan keindahan secara keseluruhan danau Toba. Waktu itu saya entah kenapa sampai berpikir seperti ini: Dari kejauhan tampak semua begitu indah, bahkan tanah yang longsor, jalan yang rusak, jembatan yang patah, hutan yang terbakar, kali yang airnya mengering pun terlihat menjadi indah.
Saya akhirnya menyadari bahwa betapa penting yang namanya "mengambil jarak" (Abstand). Ini nyata lho, dari ketinggian, orang hanya bisa melihat berbagai warna yang ada di bawah sana. Suatu keberagaman yang indah tanpa membedakan mengapa ada beraneka warna. Demikianlah kira-kira dari lereng bukit itu, saya memandang danau Toba yang begitu tenang dan damai itu.Â
Ya, danau Toba memperlihatkan suatu wajah harapan begitu banyak orang, apalagi pada krisis Covid-19 ini. Wajah dunia saat ini mungkin tidak seindah danau Toba. Wajah dunia yang penuh curiga, wajah yang mesti selalu waspada jika berdekatan dengan yang lainnya. Sedangkan danau Toba, siapa tidak suka melihatnya?
Suatu keindahan yang harmonis antara alam sekitarnya dan air yang tenang. Bagi saya danau Toba sedang menyampaikan pesan kepada dunia, agar manusia tetap melihat keindahan itu di tengah krisis dan kesulitan yang dihadapi manusia.Â
b. STMJ di lereng menuju danau Toba
Susu, Telur, Madu, dan Jahe (STMJ), adalah racikan minuman yang dikenal dengan singkatan STMJ itu berada di pinggir jalan pada lereng bukit menuju danau Toba.Â
Pertama kali saya minum STMJ waktu itu, tentu STMJ khas danau Toba. Rasanya kalau boleh dilukiskan, ya hangat, segar, pokoknya tiada duanya. Terasa begitu enak, sampai saya dua kali memesan STMJ.Â
STMJ di lereng bukit dengan view terbuka ke arah danau Toba bagi saya itu terlalu sedikit kalau cuma sehari untuk menikmatinya. Seorang teman yang bekerja di Sumbul menyapa saya, "oe, kenapa kau terdiam disitu, oe oe." Saya katakan, "ini baru Toba bang. Terlalu indah, apalagi kalau tatap wajah Toba  bersama seruput STMJ, bisa lupa kampung halaman bang."
Sempat terpikirkan, kenapa alam ini begitu indah, lalu dibiarkan untuk dinikmati begitu saja. Oh, Tuhan itu begitu baik. Suatu keindahan yang istimewa dibiarkan dinikmati mata manusia secara gratis. Betapa baik dan agung karya-Nya.Â
Tentu menikmati STMJ di kota Mainz itu tidak sama ketika menikmati STMJ di lereng bukit dengan view danau Toba. STMJ kadang-kadang telah menjadi minuman santai kami saat cerita. Satu hal yang pasti bahwa teman-teman saya, semuanya ingat cerita tentang STMJ itu sebagai cerita yang tidak terpisahkah dari keindahan danau Toba.Â
Teman seorang Kerala, bilang, "es ist sehr schön, irgendwann machen wir Ausflug in Sumatera dann fahren wir dahin. Wir können aus STM und Danau Toba genießen." Atau itu sangat indah, kapan-kapan kita buat acara Tamasya di Sumatera, kemudian kita pergi ke sana. Kita bisa menikmatinya."
Kenangan STMJ dan keindahan danau Toba bagi saya lebih dari sekedar cerita biasa, tetapi sebuah cerita unik yang memesona mata orang asing. Mata mereka tentu sudah jenuh dengan kemodernan dan bangunan. Ada suatu kerinduan yang kuat untuk kembali hening menatap air yang tenang, bercerita dalam suatu kebaruan alam yang tidak pernah menyibakkan rasa bosan, atau bahkan tidak pernah membuat Overthinking di sana.Â
STMJ dan keindahan danau Toba adalah partner sejati di lereng tebing, yang pasti tidak pernah membuat siapa saja melupakan kata kenangan, keindahan dan syukur.Â
Pada refleksi seperti inilah, saya semakin menyadari keindahan alam selalu punya pesan tidak terbatas. Ya, suatu keindahan yang diberikan secara cuma-cuma. Keindahan yang bisa direfleksikan dalam banyak cara dan gaya tentang cinta, harapan, harmoni, keindahan, keteraturan, tentang pemberian dan penerimaan, tentang tanggung jawab dalam melestarikannya. Saya membayangkan seandainya semua orang Indonesia yang berada di berbagai negara di dunia ini, mau memperkenalkan keindahan alam, makanan dan minuman khas negerinya, maka tentu kebiasaan itu membangkit daya tarik yang lebih tinggi lagi di kalangan orang asing atau pendudukan di belahan dunia lainnya.
Saya percaya, Kompasiana menjadi salah satu solusinya untuk bercerita dan berbagi tentang Indonesia, mungkin dengan cara itu, rasa cinta orang Indonesia sendiri  akan tanah air dan kekayaan alamnya menjadi semakin kental, selanjutnya bisa dengan bangga bercerita kepada orang lain dari bangsa lain.
Demikian beberapa catatan dan refleksi pribadi  tentang kenangan STMJ dan keindahan danau Toba yang bisa saya bagikan. Mungkin selanjutnya ada yang tertarik juga untuk megulasnya, tetap merupakan cara berbagi inspirasi yang diharapkan siapa saja.
Mari berbagi dan nikmati keindahan berbagi, Â ibarat wajah tanpa selubung dari danau Toba yang dibiarkan begitu untuk dinikmati siapa saja dan kapan saja.Â
Salam berbagi, Ino 22.03.2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H