Setiap hari sudah pasti seseorang berkomunikasi dengan banyak orang, apakah itu komunikasi langsung, maupun komunikasi melalui berbagai macam media. Otomatis dalam setiap momen komunikasi itu berisikan tema-tema percakapan.Â
Umumnya mulai dari tema kerja, pendidikan, rumah tangga, politik, bencana banjir, hutang, korupsi, ghosting, baper, prank, kepo, dll. Tentu ada beragam tema yang menjadi hidangan percakapan setiap orang bersama dengan lawan bicaranya setiap hari.
Dari sekian tema yang dibicarakan entah langsung maupun tidak langsung, orang akan menjumpai kata yang sama, seperti "problem atau masalah" Mungkin orang tidak sadar. Â
Sekurang-kurangnya berangkat dari kesadaran dan pengamatan pribadi dalam hidup bersama dalam satu komunitas internasional. Sebenarnya mudah sekali untuk tahu dalam kesempatan apa masalah atau problem itu disebut.
Dalam tulisan ini, saya sebutkan satu kesempatan yang sudah pasti orang akan melihat dan mendengar tentang problem atau masalah, yakni ketika orang menonton dunia dalam berita, entah di negara mana saja.Â
Oleh karena begitu seringnya tayangan tentang persoalan, masalah dunia ini, suatu saat saya mengundurkan diri untuk tidak mendengar dan menonton berita itu. Memang sih, waktu itu pikiran saya menjadi jauh lebih tenang.Â
Teman saya orang Belanda pernah dalam tutur bahasa Jerman, dia berkata begini: Mein Gott, ueber all sieht man nur Probleme atau "Oh Tuhan, di mana-mana orang lihat hanya persoalan-persoalan." Meskipun dia mengatakan seperti itu, dia tetap saja menonton dan mengikuti semua berita itu. Ya, saya sih kagum sekali dengan orangtua yang sudah berusia 82 tahun itu.Â
Saya akhirnya menyadari hal yang penting ini: Usia dan kematangan pribadi seseorang tentu berbeda-beda. Usia dan kematangan cara berpikir pasti juga ada hubungannya.Â
Suatu waktu, saya memberanikan diri untuk bertanya padanya, mengapa ia tidak menghindari dari berita tentang problem itu. Jawabannya sangat mengejutkan saya.Â
Saya terjemahkan langsung saja: Tidak tahukah kamu bahwa saya seorang Karmelit yang dipanggil Tuhan untuk berdoa bagi dunia dan orang-orang yang punya persoalan?Â
Waktu itu saya menjadi tahu bahwa ia sungguh seorang pastor Karmelit. Ya, para Karmelit memang dipanggil untuk menghayati kharisma hidup mereka yang berdoa, bersaudara dan melayani. Ia bertanya kepada saya, sampai saya menjadi kapok pada waktu itu. Katanya, "Ayo katakan kepada saya, di mana di dunia ini yang tidak punya problem, di Indonesia?" Telinga saya langsung merah setelah mendengar pertanyaan yang keras dan tajam itu.
Saya hanya bisa berdiri kaku sampai lama terdiam saja. Lalu saya coba berargumen seperti ini: Memang di mana saja sih ada persoalan, ada problem, di Belanda juga ada, di Indonesia juga ada, ya di mana-mana. Maksud saya bahwa kita semua sudah tahu bahwa di mana-mana ada permasalahan, tetapi kenapa harus dibicarakan lagi di kamar makan lalu di ruang rekreasi?Â
Nah, gara-gara Problem dan menyebut kata problem, akhirnya tidak sadar kami berdua masuk ke dalam persoalan beda pendapat. Lagi-lagi problem. Akan tetapi, menariknya bahwa dia masih sempat juga menjelaskan hal yang bagi saya sangat bijak:Â
Jika kamu tidak melihat kenyataan dunia, maka kamu akan kehilangan simpati. Jika kamu tidak mendengar tentang persoalan dunia, kamu pasti tidak punya hati peduli dan jika kamu sama sekali tidak punya interese dengan persoalan dunia, maka hatimu hanya akan penuh dengan ambisi dirimu saja.Â
Saya akhirnya berterima kasih kepadanya karena jawabannya yang bagi saya bijaksana dan bisa mendatangkan inspirasi bagi hidup saya.
Hari ini, ketika gerimis selesai, saya menatap dari dalam kamar saya yang sepi menembusi kaca bening keluar, di mana pihak keamanan parkir sedang memeriksa mobil-mobil yang parkir di samping kamar saya.Â
Terdengar pertengaran kecil, hanya karena seseorang memarkirkan mobil tanpa membayar karcis parkiran otomatis. Lagi-lagi problem ni. Kata hati saya, kenapa sih, semakin saya tidak ingin melihat problem, malah saya diperlihatkan lebih sering lagi problem.Â
Kepalaku jadi nyut-nyut hanya karena satu kata itu. Problem...problem..problem. Saya akhirnya berusaha menyepi sejenak ke sungai Rhein. Ya, halusnya melarikan diri dan berusaha menggantikan kata Problem dengan keindahan sungai Rhein.Â
Saat saya senang-senangnya memotret Rhein yang mengalir hening, terdengar pesan masuk. Karena penasaran, saya akhirnya berusaha membaca pesan itu, OGM... apa yang tertulis? Di dalam pesan itu tertulis seperti ini: "Puyeng tukangnya, kerjanya sembrono, rusak semua barang-barangnya. Masalah baru lagi. Never ending nih."
Saya berdiri persis pada pagar dinding sungai Rhein sambil terus berusaha memahami kejadian-kejadian hari ini. Ya mulai dari diskusi, sampai ke pesan-pesan pribadi. Berita, pesan dan informasi tentang masalah tidak pernah berakhir, benar bukan?
Pertanyaan yang penting setelah bergulat dengan perjumpaan dengan realitas hidup dan segala macam persoalannya adalah cara pandang seperti apakah agar orang tidak pernah merasa bahwa hidup ini seperti dikejar persoalan atau masalah?
Ada 2 cara pandang yang bisa saya utarakan berdasarkan pengalaman pribadi selama ini:
1. Berani memiliki cara pandang yang beda dari yang sudah biasa-biasaÂ
Berani beda dari cara pandang kebanyakan orang atau yang sudah biasa-biasa mungkin juga perlu. Meskipun demikian, cara pandang baru harus betul diuji sekurang-kurangnya berdasarkan pengalaman sendiri.Â
Sebenarnya sih sederhana orang butuh keberanian untuk mengubah kata saja. Jadi, orang perlu dengan berani mengubah kata problem ke challenge. Mengapa ini hal seperti ini penting?
Nah, pada tahun 2008, saya baru belajar percaya pada kekuatan kata-kata positif. Karena saya baru belajar, maka saya perlu waktu untuk eksperimen. Eksperimen pertama saya waktu itu adalah mencoba memelihara lebah madu yang sebetulnya sangat menakutkan.Â
Kata orang lebah madu itu berbahaya, sengatannya ya lumayan sakit. Oleh karena saya punya keberanian untuk menguji kekuatan kata positif, maka saya memindahkan satu kotak lebah madu itu dan menaruhnya di dalam kamar tidur saya, persis di belakang pintu masuk.Â
Latihan seperti itu, tentu bukan latihan yang mudah. Karena ini latihan untuk percaya pada kekuatan kata-kata. Benar gak ya? Sebelum mengangkat satu kotak lebah madu itu, saya mengatakan, "Teman-teman kita bersahabat, saya ingin memindahkan tempat kalian ke tempat yang lebih aman, lebih dekat dengan taman di mana tumbuh banyak bunga-bunga." Saya mengangkat satu kotak madu itu dan membawa masuk sampai ke dalam kamar saya. Â Ketika ditempatkan di kamar, saya berkata sekali lagi: Saya memberkati kalian semua, supaya kalian semua menjadi teman dalam tugas pelayanan saya."
Kebetulan kamar saya sangat sederhana. Dinding kaca zaman dulu, kaca nako yang bisa dibuka dan ditutup dengan cara mendorong ke atas atau ke bawah. Beberapa kaca itu selalu saya biarkan terbuka. Lebah itu keluar masuk melalui kaca yang terbuka itu. Ketakutan saya mulai hilang hanya dengan kata-kata yang positif.Â
Suatu pagi, saya menaruh butiran gula pada telapak tangan saya, dan ternyata, lebah-lebah itu berterbangan dan hinggap pada telapak tangan saya. Mereka menikmati gula manis lalu terbang kembali ke taman depan kamar saya dan kembali lagi ke kotak, tempat mereka mengumplkan madu. Saya pernah mengambil madu dari kotak itu 3 kali dengan jumlah kurang lebih 90 lempeng madu.
Inilah pengalaman yang membuat saya percaya bahwa masalah dan problem tidak akan terus mengejar seseorang, ketika seseorang sudah mengubah cara pandangnya, bukan problem tetapi challenge. Challenge yang punya makna untuk kematangan hidup. Mengapa harus menolak?
2. Cara pandang tentang Tuhan yang ada dalam diri manusia
Saya akhirnya ingat kata-kata seperti ini: Sesungguhnya manusia ini buatan Tuhan, diciptakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik, yang sudah dipersiapkan jauh sebelumnya.Â
Dari kata-kata seperti ini, saya akhirnya percaya bahwa Pencipta itu tidak pernah jauh dari hidup saya bahkan saya boleh percaya bahwa dia ada dalam diri saya.Â
Dengan demikian, problem sebesar apa pun, saya akan bisa menghadapinya, karena sebenarnya saya tidak sendiri, tetapi saya bersama Dia dengan misi untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik.Â
Nah, sampai pada titik refleksi seperti ini, saya ingat seorang Theresia dari Avila Spanyol, yang mengatakan bahwa ketika orang sadar akan kehadiran Tuhan, maka kesadaran itu akan mengubahnya.
Demikian beberapa cerita dan refleksi ini, yang semuanya berangkat dari pengalaman pribadi ketika berhadapan dengan realitas dunia yang disebut masalah atau problem. Ada beberapa kesimpulan yang bisa saya ringkas sebagai berikut:
1. Jangan menutup mata dan telinga terhadap realitas dunia, dan jika Anda tidak bisa melakukan banyak hal, maka hal yang terindah adalah berdoa untuk perubahan dunia.
2. Problem atau masalah bisa dijumpai di mana saja dan kapan saja, ya never ending sejauh orang belum bisa melihatnya sebagai suatu challenge
3. Orang perlu belajar pada makhluk kecil seperti lebah yang bisa setiap hari mengumpulkan madu, yang pada akhirnya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia lainnya.
4. Hidup yang matang itu, barangkali tidak terpisahkan dari kesadaran spiritual, ya kesadaran akan cinta Tuhan yang menyanggupkan manusia melakukan yang terbaik bagi dirinya dan orang lain.
Inilah beberapa catatan pribadi yang bisa saya bagikan, saya percaya penulis lain pasti memiliki tips sendiri menghadapi problem hidup ini. Mari berbagi, agar hidup kita semakin diperkaya dengan cara pandang yang positif untuk kehidupan.Â
Challenge pasti never ending, problem harus diubah dong melalui cara pandang yang positif dan kreatif hingga menjadi challenge.
Ino, 11.04.2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H