Setahun usia Covid-19 di Jerman di pertengahan bulan Maret. Saat pertama mendengar kata lockdown, lalu seminggu kemudian terdengar lagi kata Ausgangssperre. Kedua kata itu punya pesan yang sama dengan derajat larangan yang berbeda.Â
Lockdown tentu lebih Menutupi kemungkinan komunikasi dan kontak dengan yang lain sebisa mungkin, sedangkan  Ausgangssperre berarti tidak ada kompromi, tutup total termasuk lalu lintas ke suatu tempat yang dikenal Zona merah (zomer). Meski ada juga kemungkinan izin kerja bagi yang memiliki dokumen terkait kerja untuk melayani kebutuhan hidup masyarakat banyak.Â
Cerita dan gambaran seperti ini sebenarnya tidak baru lagi, sekaligus menjengkelkan bagi sebagian orang. Mengapa? Tentu karena berpijak pada beberapa alasan:
1. Alasan kebebasan manusia
Di Jerman, kebebasan itu kata kunci. Lebih-lebih terkait dengan kebebasan ekspresi diri, perasaan dan pikiran. Kalau orang Jerman bilang, Meine Meinung nach ist, berarti kita tidak bisa persalahkan seseorang, Karena kata-kata itu berarti menurut pendapat saya bla.. bla.Â
Nah, Covid-19 dalam tanda petik telah merampas ruang kebebasan itu. Kebijakan untuk jaga jarak dan pembatasan kontak antar manusia itu ditentukan, entah orang suka atau tidak suka. Dasar Kebijakan itu adalah keselamatan manusia. Benar juga sih. Kalau sudah terinfeksi Covid-19 orang tidak bisa bicara lagi tentang kebebasan, karena di sana seseorang harus di karantina.Â
2. Manusia harus hidup dalam habitus baru
Meskipun usia dari Covid-19 masih setahun beberapa bulan, terasa bagi manusia di seluruh penjuru dunia bahwa Covid-19 telah menyeret manusia untuk hidup dalam suatu habitus baru, ya suatu kebiasaan baru. Istilah habitus berasal dari bahasa latin yang menggambarkan perilaku seseorang dan kebiasaan atau jenis perilaku sosial. Kata ini disebut pertama oleh Norbert Elias dan Pierre Bourdieu, kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi istilah yang populer di bidang ilmu sosiologi. Meski kenyataannya keduanya mengembangkan istilah itu melalui karya filosofis mereka. Bahkan istilah itu telah menyebar ke disiplin ilmu lainnya. (bdk. https://youtu.be/bRAAEBciAcg). Pertanyaannya, kebiasaan baru mana saja yang lahir setelah kedatangan bayi misterius Covid-19 itu?Â
Ada 5 kebiasaan baru manusia setelah kedatangan sang bayi pemusnah Covid-19:
1. Tutup mulut
Entahlah kalau bicara tentang higienis konzep, rasanya juga tidak baru. Karena itu, saya bicara tentang tutup mulut dari versi kebebasan cara saya menafsir fenomena sosial. Cara pendekatan ini tentu semata-mata dari pemahaman pribadi.Â
Manusia mungkin sudah banyak bicara, atau bahkan kebanyakan bicara tanpa etika dan kewaspadaan. Bisa jadi, kehilangan etika dan kewaspadaan itu telah mengubah dunia komunikasi manusia semakin di kuasai kebencian, caci maki, provokasi. Nah, sekarang ketika Covid-19 tiba, orang harus "tutup mulutmu"Â
Barangkali ini pesan dan sinyal agar manusia senantiasa waspada dan beretika dalam ucapan-ucapannya. Tutup mulutmu dan biarkan hatimu bicara. Setelah hampir dua bulan menulis di Kompasiana, saya semakin menyadari kekuatan kata-kata yang lahir dari hati, jauh lebih berpengaruh untuk meraih label pilihan dan Artikel Utama. Benar gak sih? Ini cuma pengamatan pribadi lho.Â
Eksplorasi diri dan kekayaan batin manusia itu betul menjadi kesadaran saya setelah menjadi anggota Kompasiana. Lagi-lagi saya punya Habitus baru. Belajar meninggalkan ketergantungan total pada apa kata "orang asing" lalu memberi ruang kepada mata air dari sumber hati itu mengalir.Â
2. Tutup pintu rumah doamu
Tentang tutup pintu rumah doa berlaku untuk semua. Kebanyakan merasa bahwa ketika pintu rumah doa itu ditutup, ulah manusia atau bahkan iman manusia hilang lenyap, nyata ya gak juga kan?Â
Fantasi tentang bahaya atau bahkan fobia Covid-19 sangat mungkin membuat orang takut berjumpa dengan orang lain. Lalu orang merasakan sungguh kehilangan kontak, bahkan "kehilangan Tuhan." Kecenderungan cara berpikir semacam ini lahir dari kebergantungan yang kaku hanya pada perjumpaan secara fisik, bahkan seakan-akan menafikan gagasan tentang real present Tuhan. Jangan lupa lho, ada juga keyakinan tentang kehadiran Tuhan yang kreatif, bahkan saya katakan itu tidak boleh dianggap sederhana.Â
Habitus baru justru terletak pada gagasan dan cara berpikir atau cara berteologi di Era baru ini. Orang tidak bisa lagi bicara seakan-akan iman itu hanya akan tetap tumbuh subur kalau orang setiap hari datang ke rumah doanya. Sebaliknya, iman itu mati kalau pintu-pintu rumah doa itu semuanya ditutup. Sudah gak benar bukan?Â
Setahun sudah gak sering masuk rumah doa, orang tetap juga punya iman, dan bisa berbagi dari kekayaan batinnya. Saya hanya mau mengatakan inilah Habitus baru cara berpikir manusia. Tuhan dan kehadiran kreatifnya mesti dibuka lebar-lebar ke dalam semua hati manusia.Â
3. Yang dianggap berjasa, tidak selalu layak dimakamkan
Tentang "yang dianggap berjasa, tidak layak dimakamkan" ini memang nyata. Saya berangkat dari keluarga saya sendiri. Â Tanta saya punya anak dokter dua orang. Keduanya pasti punya andil di tengah pandemi ini. Namun, ketika ibu mereka terkenal Covid-19 dan meninggal dunia, ibu mereka dimakamkan tengah malam dini hari jam 2.00 tanpa doa dan ritual pemakaman sebagaimana biasanya.Â
Sadis bukan? Tak hanya itu, saya juga pernah melihat foto, menonton video pemakaman seorang pastor yang dulu begitu lama menjadi dosen. Ia punya pengaruh dan terhormat karena jabatan dan panggilannya. Namun, pantaskah, saat terakhir hidupnya, harus dimakamkan dengan cara sederhana, alias dibantu mesin eskavator.Â
Habitus baru yang lahir dari cerita ini adalah lahirnya kebiasaan manusia yang mengakui peran mesin Penyelamat sebelum orang percaya pada Tuhan Penyelamat.Â
Mesin itu adalah hasil ciptaan manusia. Ya tentu kecerdasan manusia pembuat mesin itu berasal dari Penciptanya juga. Tapi, mengapa manusia selalu merasa paling hebat dari Penciptanya. Habitus Humble menjadi sangat penting dalam hal ini.Â
Arti kehidupan manusia itu tidak hanya pada jasa-jasanya, tetapi bahwa dia Humble di hadapan Tuhan.Â
4. Komunitas universal
Setahun usia Covid-19, sudah terasa juga bahwa ada begitu banyak perubahan dan pergeseran yang ada hingga saat ini. Satu hal yang menonjol adalah bahwa terbuka ya ruang komunikasi baru lintas benua.Â
Wah terasa ni, dunia ini benar-benar kecil. Yang dibutuhkan manusia saat ini, cuma menyesuaikan perbedaan waktu untuk hadir secara virtual pada ruang online secara bersama-sama.Â
Ya, komunitas universal menjadi habitus baru saat ini. Apa yang paling penting dari komunitas universal itu, tentu bukan lagi kehadiran fisik dari semua orang dari berbagai dunia, tetapi link dan kode. Link dan kode yang disertai dengan kode gabungan huruf dan angka atau cuma angka-angka saja. Jika Anda punya link dan kodenya, maka ada bisa masuk ke dalam komunitas universal itu. Orang bisa bertatapan muka dengan siapa saja, tanpa dibatasi ruang dan waktu.Â
Link dan kode telah menjadi instrumen penghubung yang mempertemukan manusia dari berbagai dunia ke dalam suatu ruang online dengan waktu yang telah disesuaikan. Sebuah habitus baru yang membuka kemungkinan kepada semua orang untuk belajar menyesuaikan diri dengan waktu dan undangan orang lain. Logikanya sederhana, jika Anda mau bergabung ke dalam ruangan online kami, Anda harus tahu berapa perbedaan waktu dan agar bisa hadir sesuai waktu. Ya, itulah habitus baru yang tidak hanya mengajak orang belajar mengalahkan diri, lalu menyesuaikan diri, tetapi juga orang belajar memperkenalkan diri dengan orang lain yang sebelum Covid-19, tidak mungkin bisa berkomunikasi dengan mereka.
5. Ritual doa online dan daya berkat
Tentang hal ini, terlihat masih menyisakan diskusi yang alot dan rumit. Diskusi itu antara lain berkaitan dengan daya fungsi yang dirasakan beralih dari kemestian yang dilakukan secara langsung sampai kepada munculnya kemungkinan lain, di mana orang menawarkan kemungkinan doa online. Bagaimana daya kekuatan doa dan berkat online itu akhirnya diterima publik, mesti legalisasi belum pasti.Â
Tentu menarik bahwa manusia telah berani keluar dari habitus lama yang begitu kaku, seakan validitas ritual dan doa itu hanya bisa berfungsi dengan baik, jika bisa dilakukan secara langsung. Sekarang terlihat ada suatu habitus baru, orang bisa berkumpul secara online untuk suatu kegiatan rohani. Bahkan orang belajar percaya bahwa kekuatan doa itu menembus ruang dan waktu.Â
Oleh karena itu, saya berani mengatakan bahwa itulah suatu habitus baru, di mana orang belajar percaya pada kekuatan doa dan komunikasi online. Tentu kekuatan kata-kata menjadi sungguh berperan dalam hal ini. Berpikir kreatif yang dilandasi dengan keyakinan hati yang tulus, itu bisa mengubah kehidupan manusia kepada suatu habitus baru. Ya, suatu habitus atau kebiasaan yang tidak selalu mempersalahkan orang lain atau fenomena sosial lainnya, tetapi secara kreatif dan kritis memulai sesuatu yang baru dari keheningan suara hatinya. Saya percaya, dari keheningan batin pula, orang menjadi kritis dan kreatif.Â
Bagaimanapun juga, 5 kebiasaan di atas adalah temuan pribadi yang tetap terbuka pada gagasan dan pendapat lainnya. Salam berbagi.
Ino, 14.03.2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H