Perpisahan adalah kata yang sangat dekat dengan cerita tentang kesedihan, bahkan air mata. Namun tidak semua perpisahan itu harus ada kata-kata perpisahan yang menyedihkan.
Bisa saja pada waktu perpisahan orang mengucapkan kata-kata yang menghibur, kata yang dimengerti sebagai janji. Apalagi kalau orang mengatakan "sampai jumpa lagi nanti." Atau sampai bertemu Minggu depan, sampai bertemu nanti ya, dll.
Nah, ucapan perpisahan seperti itu hanya berkaitan dengan waktu yang pendek. Artinya, dalam waktu tertentu yang tidak lama dari kata perpisahan itu diucapkan, orang bisa bertemu secara langsung lagi.Â
Tentu ucapan perpisahan untuk waktu yang singkat selalu mudah, kecuali bagi orang yang baru jatuh cinta. Bagaimana ungkapan hati pada perpisahan untuk selama-lama ya? Serem bukan? Saya hanya mau mengatakan, pada kesempatan perpisahan untuk selama-lama, kata terakhir itu tidak selalu mudah diucapkan dan tidak selalu sama.Â
Hari ini, saya memperoleh pelajaran berharga saat mengikuti upacara perpisahan dengan Bapak Franxaver Sumardi Wirjatijasa, seorang pendiri komunitas Masyarakat Katolik di Frankfurt (MKIF) dan sekitarnya. Kata perpisahan itu saya pelajari dari ungkapan hati anak-anaknya, ya lima putri dan satu putera, yang paling muda.Â
Sesuai urutan acara perpisahan atau pamitan terakhir (Abschiedsfeier) itu direncanakan, ada wakil dari keluarga, tentu anak-anaknya Mas Mardi diberikan kesempatan untuk menyampaikan kata perpisahan. Berdasarkan kesepakatan keluarga, maka ada dua anaknya yakni yang sulung dan yang bungsu.Â
Ini ada 5 kata perpisahan:
1. Tschuss Papa
Kata ini adalah kata terakhir dari anak sulung. Kata yang unik sekali, kalau diucapkan pada momen perpisahan untuk selamanya. Mengapa? Biasanya ucapan Tschuss Papa, itu menandakan perpisahan untuk waktu dekat. Tapi, diucapkan seperti itu. Nah, mengapa?Â
Pada momen perpisahan terakhir orang pasti punya perasaan masing-masing. Bahkan orang memiliki keyakinan tertentu. Anak sulung dalam hal ini yakin, bahwa figur ayah mereka tidak jauh, atau bahkan tidak terpisahkah dari ingatkan anak-anak. Ungkapan hati Tschuss Papa menggambarkan kedekatan kasih antara anak dan papa. Maaf saya memahaminya seperti itu.
Ungkapan itu juga mengungkapkan kerelaan dan pelepasan mereka secara fisik. Hidup selanjutnya adalah hidup baru, yakni hidup dalam dimensi kenangan akan cinta sang ayah.
Untuk masuk ke dalam dimensi kenangan itu, orang harus melewati fase sakit karena cinta yang ingin dinyatakan secara fisik seperti ingin tetap bersama dan dekat sang ayah, sudah tidak mungkin lagi. Tantangannya adalah bukan hanya jaga jarak (Abstand), tetapi harus terpisah dan ditinggalkan. Gak mudah lho.Â
2. Papa, Pria yang kuat dan hebat
Tidak pernah saya bayangkan bahwa ada kata terakhir seperti itu. Tapi ini adalah kenyataan dari anak bungsu pada hari itu (Kamis, 4.04.2021). Saya hanya mengatakan bahwa kata perpisahan itu unik, karena kata perpisahan itu bagaikan suatu letupan hati yang paling dalam tentang cinta, kasih sayang dan perjuangan hidup sang ayah pada anak-anaknya.Â
Kata terakhir yang unik ini adalah sebuah pengakuan. Pengakuan terakhir, saat sang ayah tidak bisa lagi mengatakan apa-apa. Ia diam dan tetap diam selamanya hingga hilang semua sedih dan duka ini.Â
Itulah kata pengakuan yang tidak pernah ditanggapi, karena bersentuhan dengan misteri kematian manusia. Terasa, ada begitu banyak kisah di muka bumi, bahwa pengakuan itu datang setelah orang tidak berdaya, bisu selamanya, ya meninggal dunia. Benar, kata orang, pengakuan itu selalu datang terlambat.Â
3. Selamat jalan papa
Ada tulisan yang terpampang pada peti jenazah bertuliskan selamat jalan. Kata-kata selamat jalan adalah juga kata perpisahan. Kata perpisahan tidak selamanya harus diucapkan, tetapi juga bisa ditulis. Nah, kata seperti itulah yang memberikan saya inspirasi untuk menulis semua kata terakhir itu di Kompasiana.Â
Oleh karena bisa ditulis, maka saya menulis kata-kata terakhir menurut pengalaman pribadi saya. Saya percaya setiap orang punya pengalaman bagaimana sulitnya mengungkapkan kata terakhir untuk orang yang kita kasihi.Â
Tentu orang sudah pernah dengar kata Aufwiedersehen, tapi menarik ya, anak-anak Mas Mardi tidak menggunakan kata itu. Dari situ saya mengerti bahwa mereka semua masih berakar sebagai orang Indonesia yang mencintai bahasa ibu dan ayah mereka. Jadinya tidak heran, pada peti sang ayah dituliskan "selamat jalan papa."Â
4. Kata keheningan
Kata terakhir ini bisa dilihat dari anak-anak yang lain dan sahabat kenalan. Mereka berdiri di depan peti jenazah, lalu hanya memandang dan diam. Semuanya hening tanpa kata-kata.
Saya mengerti keheningan itu sebagai kata terakhir, karena saya sendiri mengalami itu. Saya tidak tahu lagi harus mengatakan apa untuk terakhir kalinya pada orang yang saya kenal.
Dia yang ramah, enak berdiskusi tentang kehidupan orang-orang Indonesia di Jerman. Meskipun demikian, dia enggan bicara tentang bagaimana suka duka mulai mengumpulkan orang-orang Indonesia, hingga sekarang menjadi suatu komunitas yang diakui keberadaannya di wilayah KJRI Frankfurt dan wilayah dari Keuskupan Limburg Jerman. Mas Mardi yang rendah hati dan baik itu, enggan sekali berbicara tentang dirinya.
Keheningan telah menjadi bagian dari kehidupannya. Ia hening melayani umat di tempat di mana ia tinggal sebagai diakon awam di gereja Katolik di Höchst. Keheningan yang sama dirasakan sama oleh semua sahabat kenalan saat ia ke rumah sakit, semua tidak pernah mendengar kata pamitan, apalagi kata perpisahan darinya. Semuanya berakhir begitu cepat, hening entah sampai kapan.
5. Menulis kata terakhir
Ya, semua percikan pengalaman itu telah menjadi inspirasi tak terhingga, bahkan membangkitkan gairah saya untuk menulis lagi di Kompasiana. Lagi-lagi Kompasiana menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari cerita perpisahan dan kata terakhir orang-orang Diaspora di Jerman. Tentu, pembaca punya gagasan dan pengalaman yang berbeda.
Bisa jadi pembaca mengalami kata terakhir yang berbeda, ya itulah keragaman pengalaman manusia yang bisa direnungkan dan dibagikan kepada semua orang. Setiap percikan pengalaman yang ditulis dan refleksikan selalu punya pesan untuk kehidupan.Â
Menulis kata terakhir itu tidak hanya mungkin bagi penulis, tetapi juga semua orang bisa menulis. Akan tetapi, menulis kata terakhir untuk orang dekat yang dikenal dengan baik, itu tidak bisa lagi oleh semua orang, tetapi hanya mungkin pertama-tama dari orang yang pernah mengenalnya.
Detail kisah dan pengalaman kebersamaan akhirnya terbuka begitu bebas seperti halaman-halaman buku tanpa pembatas. Karena itulah, saya hanya bisa mencoba menulis tentang kata terakhir dari sekian banyak kenangan dan kisah bersama Mas Mardi. Mungkin syair dan tutur lepas dalam perjumpaan yang tidak terduga dengannya bermakna pada kesempatan lainnya.Â
Itulah 5 kata perpisahan yang telah mewarnai pengalaman hidup saya di Jerman. Kata-kata itu selalu menjadi bagian dari cerita kedekatan masing-masing orang.
Orang akan mengatakan dengan rasa yang dalam, hanya karena pernah mengalami dan merasakan betapa dalamnya cinta dan kesetiaan, entah itu sebagai teman, entah sebagai saudara, apalagi tentang cinta dan kesetiaan seorang ayah bagi anak-anak dan istri yang ditinggalkannya.
Salam berbagi.
Ino, 05.03.2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H