Hari ini saya terbawa emosi yakni setelah membaca tulisan-tulisan Kompasiana tentang Artidjo Alkostar. Alasan saya sederhana, mengapa orang sehebat itu baru saya kenal setelah dia meninggal dunia?Â
Saya akhirnya berpikir seperti ini, ada satu euforia eskatologis yang diciptakan penulis, yakni mengenang dan menyebut nama justru saat mereka sendiri tidak bisa membaca dan mendengar lagi. Lalu orang percaya saja bahwa dia pasti senang dengan hal itu. Ya, tidak ada yang tahu secara pasti bukan? Dalam hal ini, saya bangga dengan penulis Haidar Mustafa yang menulis Novel Biografi Artidjo Alkostar Sogok Aku Kau Kutangkap."
Maaf ini cuma pendapat pribadi yang muncul setelah begitu kagum dengan tokoh Artidjo Alkostar. Jujur saya benar bersalah dalam hal ini, bahwa saya baru mendengar namanya setelah ia telah pergi selamanya. Siapa yang menolong untuk mengenal namanya? Ya, siapa lagi kalau bukan Kompasiana. Terima kasih Kompasiana, Anda telah menolong saya keluar dari keterbelakangan informasi aktual.
Hari ini saya bagaikan bayi kecil yang mencoba belajar merangkak menulis nama tokoh fenomenal itu dengan ejaan yang tidak biasa, Artidjo.Â
Pada nama Artidjo ada kata "Arti" lalu Silbe kedua dari nama itu diakhiri dengan "djo" ya, terdengar bunyi terakhir seperti "o" Saya akhirnya menangkap pesan arti dari nama sang tokoh Artidjo itu sebagai titipan pesan berarti mulai dari nol atau zero. Ya, tentunya, arti dari Zero yang menuntun Artidjo kepada Hero di kancah dunia hukum Indonesia.
Pemaknaan nama Artidjo bagi saya sangat penting, karena saya dan tentu pembaca lainnya percaya bahwa nama seseorang selalu punya artinya. Saya percaya itu dengan analisis kata, bunyi, gema yang ada pada nama seseorang, secara khusus pada nama Artidjo Alkostar.
Saya tertarik dengan ini karena saya percaya bahwa hidup itu seperti suatu suara yang bergema. Gema itu terdengar setelah seseorang selesai mengeluarkan suara. Artinya, orang lain baru dengar suara itu setelahnya. Nah, sekarang saya mendengar gema suara Artidjo saat Artidjo tidak ada lagi.
Padahal seandainya nafas perjuangan dan gema suaranya dalam menegakkan hukum dan keadilan di negeri telah ditulis, pasti banyak orang akan membawa dan tidak pernah berhenti menulis tentang gema suara kejujurannya, gema suara ketegasan, kedisiplinannya.Â
Yah, Artidjo, maafkan saya. Saya baru belajar menulis namamu dan ingin merenungkan arti angka pada kata pertama namamu. Maaf kalau saya menyebut itu sebagai satu sandi, yakni satu kata yang tidak hanya terdiri huruf-huruf tetapi juga disertai dengan angka, agar kerahasiaan itu tertutup kuat dan rapat.Â
Saya percaya nama Anda menyimpan rahasia, satu angka Zero. Ya, sebuah sandi penuh arti untuk negeri ini. Mengapa seperti itu? Ada beberapa alasan yang merupakan hasil permenungan penulis:
1. Zero berarti rasa kehilangan dan kerinduan