Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apakah Penulis Itu Cari Nama? Ini Ada 7 Alasan Mengapa Orang Menulis

28 Februari 2021   02:22 Diperbarui: 1 Maret 2021   00:45 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah genap sebulan saya menulis di Kompasiana muncullah diskusi kecil antara teman-teman saya yakni ketika saya menulis tentang Romo Profesor Berthold Anton Pareira, O.Carm yang meninggal pada 8 Januari 2021 lalu. Tulisan kecil itu terkait refleksi pribadi untuk mengenang kembali seorang senior yang berjasa besar untuk Gereja Indonesia dan juga secara khusus untuk Karmel Provinsi Indonesia.

Secara mengejutkan bahwa artikel itu dibaca oleh sejumlah orang, bahkan saya mendengar dan mendapatkan tanggapan positif lainnya. Bagi saya itu wajar, karena saya hanya menulis dan mengangkat hal-hal yang menurut saya itu penting dari kehidupan, tulisan dan ucapan Romo Pareira.

Anehnya, dari sekian komentar itu, ada yang berkomentar sedikit unik dan menginspirasi tentunya. Apa yang menarik dari sekian tanggapan itu?

"Ah itu cari nama"

Tentu setiap orang bebas dalam memberikan komentar. Bahkan orang punya kebebasan pula untuk menulis apa saja. Oleh karena kebebasan itu, saya tertarik dengan satu komentar yang unik itu: Ah itu cari nama."

Coba bayangkan, bisa-bisanya ada komentar seperti itu. Apakah menulis tentang seseorang itu benar sebagai cara untuk mencari nama? Waktu membaca tentang komentar itu, saya tidak mau baper, apalagi harus berhenti menulis.

Karena itu pada kesempatan ini, saya memberikan beberapa alasan mengapa orang perlu menulis? Tentu beberapa alasan ini semata merupakan pengalaman pribadi saya, yang saya temukan setelah sebulan menulis di Kompasiana.

1. Menulis itu cara untuk mengasah kepekaan terhadap hubungan logis dan harmonis dalam menulis dengan aspek-aspek lainnya

Sebulan saya aktif menulis di Kompasiana, saya tidak pernah menjumpai komentar bahwa menulis itu tidak baik, atau apalah semacamnya. Sebulan menjadi pemula, saya hanya menemukan bahwa penulis-penulis saling menginspirasi, bahkan berbagi dengan ikhlas kata-kata dan gagasan yang aktual, menarik, bermanfaat, inspiratif.

Bahkan saya bisa mengatakan bahwa Kompasiana telah menolong saya untuk belajar mempertimbangkan sesuatu. Misalnya bagaimana memilih gambar yang cocok dengan tema, bagaimana menentukan judul yang menarik, bagaimana rumusan isi yang bisa langsung dimengerti, bagaimana mempertimbangkan aspek manfaaf dari suatu artikel, dll. Tentu ada banyak hal lainnya yang telah saya pelajari selama sebulan ini.

Jelas, bahwa orang menulis tidak hanya agar matang dalam mempertimbangkan sesuatu, tetapi juga bisa memiliki kepekaan hubungan logis dan harmonis antara judul, gambar, isi, pesan, diksi. Saya sadar bahwa keharmonisan seperti itu tidaklah muda, atau tidak mungkin bisa datang sendiri tanpa latihan yang intensif dan rutin.

2. Menulis itu adalah cara memasukan diri ke dalam zona pencerahan diri dan orang lain

Saya punya pertanyaan sederhana seperti ini: berapa buku yang telah saya baca dan berapa kali saya bersyukur bahwa saya dicerahkan oleh apa yang ditulis oleh orang lain. Saya bersalah dalam hal ini. Mengapa?

Saya sudah sering mengalami pencerahan melalui tulisan orang lain, namun saya tidak pernah mengucapkan terima kasih. Latihan seperti ini, baru saya temukan sebulan ini di Kompasiana. Saya bisa langsung menuliskan pada kolom komentar atau secara pribadi. Kesadaran positif ini baru tumbuh setelah sadar betapa berartinya tulisan orang lain.

Tanpa tulisan, saya kira saya tidak bisa menjadi seorang yang bisa mengikuti perkembangan zaman. Demikian juga tanpa ada kemauan untuk membaca, maka saya tetap tinggal dalam kemapanan diri yang dangkal, karena cuma selalu menganggap diri sudah luar biasa, padahal mungkin belum apa-apa. Jadi, menulis itu sebetulnya cara memasukan diri ke dalam zona pencerahan diri dan orang lain.

3. Menulis itu adalah cara untuk tetap hidup

Apa yang pernah kita katakan dan kita tulis pada suatu waktu itu akan tetap tersimpan dan tetap bisa dibaca oleh siapa saja. Suatu kemungkinan terbuka, bahwa gagasan kita dibaca dan berguna bagi banyak orang. Pikiran ini terinspirasi dari tulisan Romo Pareira yang bisa tersimpan di beberapa universitas di Jerman, Italia dan Amerika. Nah, sekarang zamannya digital, kita bisa menyimpan tulisan kita secara digital juga. Mengapa penting? Banyak orang beranggapan bahwa hanya cinta yang tidak akan pernah mati. Saya kira bukan hanya cinta, melainkan juga tulisan.

Tulisan itu adalah benih kasih yang ditaburkan dan disimpan pada arsip digital yang tidak pernah hilang. Jangan lupa menulis, agar benih kasih kita tertinggal dan bisa dibaca kemudian hari.

4. Menulis adalah suatu proses ongoing formation

Sebulan saya menulis di Kompasiana saya menyadari hal ini, bahwa menulis itu adalah suatu proses bina lanjut (ongoing formation) yang lahir dari inisiatif diri sendiri. Pada poin ini saya kutip sekali lagi Romo Pareira yang pernah menulis seperti ini: menulis itu dapat mematangkan cara berpikir."

Kadang saya begitu yakin bahwa cara berpikir saya sudah begitu matang, padahal cara berpikir saya belum pernah diuji orang lain, apakah cara berpikir saya betul-betul matang, atau sama sekali kanak-kanak. Nah, menulis di Kompasiana itu, bagi saya betul sebagai suatu proses formasi berkelanjutan dari inisiatif diri sendiri dan berguna untuk kematangan cara berpikir sendiri.

5. Menulis sebagai cara berbagi kasih, kebaikan dan inspirasi

Ada hal yang otomatis terbentuk saat menulis yaitu saya berhadapan dengan pertanyaan, apa manfaatnya saya menulis? Orang tentu juga berhadapan dengan standar etika dalam menulis.

Karena ada standar etika, maka dari itu saat menulis sebetulnya saat orang berproses menyesuaikan diri dengan standar nilai. Oleh karena ada nilai yang mau saya bagikan atau wartakan, maka sebetulnya menulis itu satu cara kita berbagi kebaikan, inspirasi atau cara kita berbagi kasih.

6. Menulis adalah cara menolong diri sendiri

Percaya apa gak, sekurang-kurangnya dari pengalaman pribadi, saya menyadari hal ini: melalui aktivitas menulis, saya belajar menolong diri sendiri. Setiap orang pasti memiliki kecenderungan untuk berbicara tentang orang lain dan tidak mau berbicara tentang dirinya sendiri.

Nah, pada saat menulis sebetulnya kita memasuki saat pengolahan diri. Kita berhenti berbicara tentang orang lain, apalagi tentang suatu hal yang tidak mendasar dan penting. Menulis itu sendiri bisa mengubah orang untuk berpikir tentang hal yang berguna bagi orang lain dan bukan berbicara tentang kejelekan orang lain.

7. Menulis itu adalah proses belajar menjadi sederhana dalam menyampaikan pesan

Tantangan yang sungguh tidak mudah bagi orang yang tidak biasa menulis adalah menulis dengan diksi-diksi yang langsung dimengerti. Ada beberapa buku yang pernah saya baca, sekurang-kurangnya sulit dimengerti seakan-akan artinya tersembunyi di balik kata-kata. Pesan penting malah dibalut penulis dengan kata yang tinggi-tinggi.

Kado indah yang mengubah saya sendiri ketika sebulan menulis di kompasiana adalah belajar menggunakan bahasa sederhana dan mudah dimengerti secara langsung oleh pembaca.

Selain 7 alasan mengapa orang menulis versi pribadi, yang saya temukan selama sebulan ini, saya juga melihat bagaimana cara kompasiana lainnya menolong penulis pemula dengan cara yang santun dan terbuka. Sekali lagi itu semua adalah cara penulis berbagi kasih dan inspirasi.

Bagaimana cara penulis Kompasiana berbagi kasih dan inspirasi? Saya mencatat ada 4 cara:

1. Mereka memberikan komentar yang positif meskipun artikel itu sendiri tidak dipilih.

2. Mereka menulis untuk menolong penulis pemula agar menjadi lebih matang lagi dalam menulis dan cara berpikir melalui artikel-artikel hari berikutnya.

3. Mereka mengajarkan kesederhanaan tutur, tetapi juga jujur dan realistis melalui tulisan mereka dengan bahasa ibarat bercerita dengan sahabat, bahasa yang mengalir tanpa sisa.

4. Mereka telah menunjukkan cara terbaik untuk hidup di era digital dengan wawasan persaudaraan universal melalui etika menulis yang baik dan tidak melupakan dimensi manfaat praktis untuk pembaca.

Demikian beberapa catatan dan refleksi kecil setelah sebulan menulis di Kompasiana. Ternyata menulis itu bukan untuk mencari nama, melainkan cara berbagi kasih dan inspirasi (7 alasan) yang telah saya utarakan di atas. Saya tetap yakin bahwa masih banyak lagi alasan, mengapa orang menulis dari pengalaman pribadi masing-masing penulis.

Ino, 28.02.2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun