1. Bagaimana prediksi para pengamat politik dan pembuat Undang-Undang ketika UU ITE disusun dan disahkan. Popper dalam hal ini mengkritik pengamatan palsu karena baru beberapa tahun diberlakukan UU ITE itu, akhirnya harus masuk ke dalam zona geliat revisi.Â
Menurut Popper langkah untuk merevisi itu adalah bagian dari respon para ilmuwan untuk terus menguji teori atau (pasal hukum) berdasarkan pengalaman. Karena itu, geliat revisi UU ITE harus disertai dengan penelitian ilmiah dan bukan hanya dengan pernyataan-pernyataan revisi dan hapus pasal karet.
2. Jika revisi UU ITE itu berhasil dilakukan dan menghasilkan pasal yang sudah diperbarui, pertanyaannya: Apakah setelah itu tidak ada wacana tentang bagaimana dengan pihak-pihak yang sudah terkena pasal yang kita cerca sekarang ini? Siapakah mereka harus kita namakan: Korban UU ITE yang lama? Dimanakah keadilan? Apakah ada juga remisi untuk pihak-pihak yang terkena pasal UU ITE itu sendiri sebelumnya?
Geliat revisi UU ITE boleh memasuki pintu wacana di tanah air. Namun, kajian-kajian kritis yang didukung dengan data, pengalaman, teori dan prediksi tetap menjadi pegangan ketika bicara tentang revisi nanti.
Ruang digital Indonesia akan bersih, sehat, beretika dan produktif, jika tanpa kepalsuan yang terus menyangkal kesatuan kita di tengah keberagaman yang ada di Indonesia. Revisilah dengan hati dan pikiran yang jernih untuk kemajuan bangsa ini.
Ino,18.02.2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H