Saya menjadi sadar betapa berartinya aktivitas membaca itu sendiri. Sebuah aktivitas pre dari segalanya untuk sampai kepada pengenalan dan pengetahuan. Tidak heran kalau di Jerman misalnya ada begitu banyak filsuf dan teolog, bahkan orang tua renta dengan kursi roda pergi ke mana saja membawa buku dan membacanya.Â
Budaya membaca suatu bangsa bisa menjadi ukuran kecerdasan bangsa. Saya pikir logika seperti itu berlaku untuk semua hal bahkan dalam konteks hidup penganut agama. Orang tidak mungkin mengenal dengan baik ajaran Kitab Suci agamanya, kalau orang itu tidak pernah membaca Kitab Sucinya. Tentu berbeda dengan orang Yahudi, mereka pergi ke mana-mana bukan handphone yang dibawa serta, melainkan Torah. Bahkan menunggu di terminal bus saja, ibu-ibu Yahudi menunggu sambil membaca Torah.Â
Di Jerman jauh lebih unik lagi. Orang bisa membaca buku di mana saja dan kapan saja. Bahkan di pojok, di sudut, lorong dan jalan-jalan disediakan lemari yang berisikan buku-buku bacaan apa saja. Orang bisa saja mengambil buku-buku itu untuk dibaca bahkan untuk menjadi milik pribadi. Saya begitu terkejut di rumahku memiliki perpustakaan dengan jumlah buku lebih dari 28.000 judul buku. Uniknya adalah mereka mendesain ruang perpustakaan mereka di lantai dasar. Terkesan seakan-akan memberikan gambaran tentang suatu posisi keberadaan bahwa kita di rumah ini berdiri di atas dasar buku-buku. Sebuah gambaran dan juga gagasan yang bersanding rapat dengan logika orang-orang Yunani.
Kapan iklim dan logika seperti itu hidup di negeriku Indonesia?Â
Ino, 7.02.2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H