Haru dan sedih ketika pertama kali menyaksikan wajah pembangunan di NTT, secara khusus di Kabupaten Ende, desa Kerirea. Pertanyaan sederhananya: Proyek Embung mangkrak yang sama sekali tidak berdampak pada kehidupan masyarakat desa dianggap biasa oleh pihak pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan kecamatan.Â
Ada apa dibalik diam dari pemerintah dan bahkan KPK? Entahkah cuma karena tidak pernah mengetahuinya, atau sudah tahu tetapi diam karena sudah ditutupi dengan kompromi politik lainnya?
Proyek era pemerintahan Jokowi rupanya berhasil cuma sejauh dikontrol langsung dari pusat, sedangkan wilayah-wilayah terpencil yang jauh dari lirikan pemerintah pusat seperti di pelosok desa-desa di NTT, sejujurnya bisa dikatakan sungguh mengecewakan.Â
Bahkan inilah bukti ketidakadilan yang terjadi ketika presiden berbicara tentang pemerataan pembangunan dengan kucuran dana ratusan juta bahkan milyaran, namun nir kontrol dan pemeriksaan sampai ke tingkat akar atau desa-desa.
Bukan hal baru lagi kalau provinsi yang terkenal terbelakang adalah NNT salah satunya. Mengapa terjadi demikian, apakah kucuran dana pembangunan desa yang tidak merata? Ataukah karena adanya satu epistemologi ketidakadilan dibalik keterbelakangan itu karena merasa jauh dari pusat, maka sama dengan jauh dari kontrol dan pemeriksaan.Â
Konsekuensi logisnya, pengelola anggaran bisa berpikir nakal, korupsi pun tidak apa-apa. Siapa yang tahu semuanya. Kalau dikatakan itu karena salah kelola, maka tetap dituntut pertanggungjawabannya.
Proyek dari dana APBN tahun anggaran 2018 itu digunakan untuk pembangunan Embung Desa dengan ukuran: 20x26x2,25 M, bertempat di Aerewa, Desa Kerirea, dengan total anggaran sebesar 270.000.000,00. Bangunan itu resmi dengan tanda tangan kepala Desa pada masa itu sebagaimana tertera pada gambar prasasti embung itu. Resmi meski tanpa tanda tangan Bupati pada masa itu juga.
Apa artinya sebuah prasasti kalau bangunan itu sama sekali tidak berfungsi? Apa artinya pemerataan pembangunan kalau proyek mangkrak di desa-desa tanpa dipersoalkan sama sekali. Di manakah peran institusi terkait seperti bagian desa tertinggal. Apakah Desa-desa yang tertinggal harus dibiarkan tetap tertinggal sambil menunggu kucuran dana pembangunan berikutnya?
Korupsi di desa-desa terpencil masih marak dan sampai kapan lingkaran setan itu bisa berakhir? Bukan cuma itu, di desa yang sama dan pada tahun yang sama ada pembangunan satu embung lagi yang jauh lebih besar dengan menghabiskan dana yang lebih besar, cuma terdengar lebih dari satu miliar. Namun sayangnya, tidak ada prasasti, terkesan suatu pembangunan yang belum selesai. Apakah benar bahwa keadaan seperti ini bukan termasuk indikasi korupsi?
Desaku, mungkin satu-satunya bukan yang terburuk di NTT, tetapi sudah pasti ada ketidakberesan dalam mekanisme pengelolaan anggaran desa. Siapakah yang bertanggung jawab terkait hal ini? Sampai kapan NTT bisa berubah kalau rakyatnya tidak berani berbicara, kompromi-kompromi tidak sehat itu terus merajalela, virus egoisme dan serakah itu merasuk jiwa pengelola anggaran pembangunan desa.Â
Bahkan yang salah seharusnya tidak boleh diangkat ke permukaan untuk dibahas. Mentalitas pejabat desa bisa saja menjadi penghambat rencana pembangunan Indonesia maju, jika pada kenyataannya proyek mangkrak diterima sebagai hal wajar. Prasasti atau korupsi tetap menjadi misteri yang dibungkus wajah ambivalensi. Itulah paradoks pembangunan Embung desa di NTT dan secara khususnya di Kabupaten Ende (Desa Kerirea). Pertanyaan terakhir: Kapan KPK yang punya taring anti kompromi itu memburu dan menangkap pelaku-pelaku yang tidak bertanggung jawab atas salah kelola dana pembangunan embung desa?