Setiap orang pasti memiliki data pribadi karena data pribadi merupakan suatu identitas yang melekat pada setiap orang yang bersifat sensitif. Data pribadi harus dilindungi karena merupakan hak privasi setiap individu. Hak privasi merupakan hak konstitusional milik warga negara yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Hak konstitusional adalah wujud dari kewajiban suatu negara terhadap warga negara.Â
Di Indonesia telah terjadi banyak permasalahan hukum yang menyalahgunakan data pribadi seseorang untuk kepentingan individu, tetapi hingga saat ini penanganan permasalahan hukum tersebut belum maksimal karena kekosongan norma dalam perlindungan hukum terkait data pribadi.Â
Rentetan kasus terkait kebocoran data pribadi kerap kali terjadi. Pada awal tahun 2022, terdapat dua dugaan kasus kebocoran data, yaitu data milik Kementerian Kesehatan dan pelamar anak perusahaan Pertamina. Pada 6 Januari 2022, data pasien yang diduga milik Kemenkes bocor dan dijual di situs yang kerap menjual data pribadi. Selang beberapa hari, terdapat 160 ribu data pelamar kerja di perusahaan Pertamina yang disebarkan secara cuma-cuma di situs tersebut.
Adanya fenomena kebocoran data masyarakat Indonesia pada dua lembaga besar di tahun 2022 merupakan kejadian yang sangat disayangkan karena menunjukkan bahwa keamanan siber di Indonesia masih tidak memadai. Terlebih data yang bocor berjumlah cukup banyak, sehingga kasus kebocoran data ini menjadi peringatan bahwa Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU-PDP) segera harus disahkan.
Berdasarkan pendapat dari Pakar Keamanan Siber dari Vaksin.com, Alfons Tanujaya mengungkapkan bahwa berbagai lembaga pemerintahan masih ketinggalan dalam adaptasi pengelolaan data, terutama karena lembaga negara atau pemerintah saat ini masih gagap dalam merespons kemajuan zaman ke arah digital. Situasi ini membuat Indonesia menjadi santapan empuk untuk peretasan. Padahal, data yang dikelola masyarakat itu mahal harganya. Masyarakat mau tidak mau akhirnya harus memberikan data pribadi ke lembaga pemerintah guna kepentingan birokrasi, namun lembaga pemerintahan kerap abai mengelola data yang mereka kumpulkan dengan baik. Potensi kebocoran data bisa dipicu oleh masifnya program digitalisasi akibat pandemi. Selain itu, banyak juga program pemerintah yang banyak beralih ke ranah digital.
Dengan demikian harus ada perbaikan mendasar yang bisa memaksa semua pihak berbenah dan memperbaiki standar keamanan siber di lembaga masing-masing. Mengingat kembali dari kasus yang terjadi pada tahun lalu, terdapat sederet insiden kebocoran data masyarakat. Insiden itu didominasi oleh lembaga pemerintah, seperti data BPJS Kesehatan, data KPU, dan data Kemenkes. Dengan sederet kasus kebocoran data yang tak henti-hentinya terjadi, dapat diprediksi bahwa rintangan kejahatan siber dalam aspek keamanan data akan sering terjadi di tahun 2022.
Indonesia mengalami kekosongan norma dalam perlindungan hukum data pribadi, sehingga sampai saat ini tidak dapat melindungi data pribadi warga negara Indonesia secara maksimal. Oleh karena itu, dibutuhkan pengesahan RUU-PDP guna pengelolaan data pribadi masyarakat oleh suatu lembaga atau perusahaan dapat lebih berhati-hati dan tidak sembrono dalam mengelola data. Selain itu, dengan melakukan pengesahan RUU-PDP, pelaku pembocoran data pribadi masyarakat dapat diadili secara hukum dan mendapatkan sanksi yang setimpal.
Referensi:
Ikhsan, M. (2022, 13 Januari). Kebocoran Data Pribadi yang Tak Berujung di RI. [Cnnindonesia.com]. Diakses pada 8 Juli 2022, dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20220112191045-185-745842/kebocoran-data-pribadi-yang-tak-berujung-di-ri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H