“Kakak...” Ridho terbangun karena Rani sengaja mengelus rambutnya.
“Iya dek.”
“Kak Rani Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kenapa kakak mau tinggalin Ridho sendirian kak. Ridho mohon jangan pergi.”
“Kakak sudah tidak sanggup dek. Kakak mau mati saja daripada harus hidup di tengah penderitaan begini. Kakak mau ketemu sama ayah dan mama.”
“Lalu... Kakak mau meninggalkan Ridho di dunia ini sendirian? Jangan menyerah begitu kak. Ayo... kita pergi saja. Kita keluar dari rumah Tante Hana dan hidup mandiri. Hanya ada kakak dan aku.”
“Kamu yakin dek? Meskipun kita berdua bekerja tapi gaji kita sangat kecil. Apa kamu berani? Kita akan tinggal sendirian dan harus menjauh dari semua saudara-saudara kita.”
“Sekarang coba lihat realitanya kak. Meskipun kita sedang kesusahan begini, apakah ada saudara yang mau membantu kita? Paling cuma Tante Hana. Itu juga dengan rasa terpaksa dan tidak ikhlas. Ayo kita pergi saja.”
Rani mengangguk. Meskipun sekarang ada ribuan pertanyaan dan keraguan yang melanda hatinya, sorot mata Ridho membuat Rani akhirnya yakin. Bahwa meski hanya berdua, mereka bisa bertahan menghadapi kekejaman dunia ini.
Awalnya Rani dan Ridho mengira Tante Hana akan keberatan akan keputusan mereka. Namun ternyata raut wajah Tante Hana terlihat begitu cerah. Rona wajahnya terlihat sangat bahagia seolah sudah sejak lama Tante Hana menunggu kedua anak ini untuk pergi dari rumahnya.
Padahal sejujurnya, rumah itu adalah rumah milik almarhum orangtua Rani. Ketika keduanya meninggal, Tante Hana berpura-pura peduli dan iba kepada keponakannya, dengan tujuan yang sebenarnya sangat jahat. Tanpa sepengetahuan Rani dan Ridho, semua harta milik orangtua mereka sudah dipindahkan atas nama Tante Hana.
Rani dan Ridho tidak diberikan satupun hak harta orangtua mereka. Dengan tatapan nanar dan sedih, Rani dan Ridho keluar dari rumah itu. Rumah penuh kenangan indah yang kini harus mereka tinggalkan demi kehidupan yang lebih baik.