Selamat ulang tahun Anisa.
Aku merindukan rangkaian Kalimat sederhana itu. Ucapan selamat tepat di hari ulang tahunku. Aku tahu dan teringat pesan Bunda. Bahwa ulang tahun tidak lebih dari sekedar bertambahnya usia, serta tanda bahwa kita semakin dekat dengan takdir kematian. Walaupun begitu, bagiku ulang tahun adalah hari yang istimewa. Hari di mana perjalanan kehidupanku dimulai.
Bunda bercerita bahwa ketika aku lahir, suasana sedang hujan deras. Namun tepat setelah melahirkan aku, hujan perlahan berhenti dan sinar matahari menyembul keluar menghiasi langit yang tadinya gelap. Lalu dari balik jendela kamar rawat Bunda, ada pelangi pudar muncul. Bagi Bunda aku adalah cahaya yang membuat dia merasa tenang dan bahagia.Â
Aku masih ingat dengan perayaan ulang tahunku ketika masih di bangku sekolah dasar. Bunda membuat kue coklat kesukaanku dan kami mengadakan pesta kecil-kecilan. Aku mengundang beberapa teman ke rumah. Tidak banyak, hanya sekitar lima orang. Kami bernyanyi, bermain dan menari bersama-sama. Lalu mereka semua makan kue cokelat buatan Bunda yang sangat lezat. Bunda memang sangat pandai membuat kue dan memberikan aku resepnya supaya kelak aku bisa membuatnya sendiri.
Ketika aku beranjak remaja, aku merasa Bunda jadi lebih khawatir denganku. Aku sering pulang malam karena asyik bermain bersama teman-teman. Kadang aku sibuk dengan kerja kelompok dan kegiatan ekstra di sekolah sehingga semakin jarang aku bisa bicara dengannya. Meski demikian, Bunda tetap berusaha menunjukkan perhatiannya padaku. Di ulang tahunku yang ke 15, Bunda menghadiahkan sebuah blus biru cantik dengan sepatu kets putih. Blus yang indah sekali hingga membuat teman-temanku iri. Aku makin sayang pada Bunda dan berniat memberikan sebuah hadiah kejutan di hari ulang tahunnya.
Sambil menenteng keresek hitam, aku tersenyum sepanjang jalan. Ini adalah hadiah untuk Bunda. Mukena baru berwarna putih dengan renda berwarna biru di sepanjang pinggirannya sangat cocok untuk Bunda. Kebetulan mukena Bunda sudah lusuh dan aku tak sengaja menangkap sinar mata Bunda saat pertama kali melihat mukena ini di pasar. Aku menabung uang jalanku seminggu penuh demi hadiah kejutan untuk Bunda.
"Kuharap Bunda menyukainya," gumamku.
Aku ketuk pintu agar Bunda terbangun. Satu menit, dua menit Bunda belum juga menampakkan diri. Tanpa menunggu lama lagi aku langsung masuk dan tersenyum. Baru saja mulutku hendak berteriak selamat ulang tahun, aku dikejutkan dengan tubuh Bunda yang terbujur di lantai dekat kamar mandi. Kugoyangkan tubuhnya, kupanggil namanya berulang kali tetapi Bunda tidak menjawab.
"Bunda... Bangun Bunda..."
Air mata mulai mengalir dari sudut mataku. Ragaku lemah dan tidak percaya akan kenyataan ini.