Mohon tunggu...
Inong Islamiyati
Inong Islamiyati Mohon Tunggu... Penulis - Gadis pemimpi dan penyuka anime

See the world with a different style and finding happiness

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Ayah

14 Mei 2023   06:00 Diperbarui: 14 Mei 2023   06:07 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tidak tahu bagaimana rupa ayahku. Rasanya dicintai oleh seorang ayah, dilindungi dan dibanggakan oleh sosok yang bisa kita percayai pundaknya. Aku merindukan sosok ayah, meski hanya bisa sebentar saja bersamanya.


Ayana. Itu adalah nama yang diberikan ayah untukku. Menurut cerita ibu, ayah sendiri yang ingin sekali menyematkan nama itu pada putri pertamanya, yakni aku. Dulu ketika aku akan lahir, ayah rela berhutang  untuk bisa menebus biaya rumah sakit agar aku dan ibu bisa pulang ke rumah. Ayahku pintar sekali. Kata ibu, ayah dijuluki sebagai ahli mesin di kampung kami. Ayah bisa memperbaiki kulkas, motor, kompor, mesin cuci juga kipas  rusak. Ayah pun membuka bengkel yang selalu laris didatangi. Namun ketika aku menginjak usia tiga tahun, ayah mulai sakit. Sakitnya parah hingga dada ayah terasa sesak.


Ibu bilang ayah sudah berjuang keras untuk melawan penyakitnya namun tidak kunjung sembuh. Ibu juga merasa sedih karena ayah ternyata sudah lama menyimpan rahasia ini dari ibu. Ayah sudah lama sakit. Tetapi ayah selalu saja berbohong dan bilang kalau dia baik-baik saja. Hingga akhirnya tiba saatnya ayah pergi meninggalkan kami untuk selamanya. Saat itu aku mulai berusia lima tahun.


Tumbuh menjadi gadis kecil tanpa ayah, membuatku iri pada teman-temanku. Meski aku masih memiliki seorang ibu, tetapi tidak ada yang bisa menggantikan sosok seorang ayah. 

Sebenarnya kenanganku dengan ayah juga tidak banyak. Karena ayah meninggalkan aku saat usiaku masih sangat muda. Salah satu yang masih aku ingat, ketika ayah membelikan aku boneka beruang lucu di pasar malam karena aku merengek terus ingin memiliki boneka itu. Atau sesederhana ketika aku dijemput ayah saat hujan lalu aku naik motor dengan menggunakan jas hujan bersama ayah. Meski jelas aku tetap basah tetapi aku senang karena ada ayah di sampingku.

Setelah kepergian ayah, aku menjadi kasihan dengan ibu. Ibuku yang cantik harus rela bekerja demi menopang kehidupan kami. Aku saat itu masih belum bisa membantu ibu karena masih terlalu kecil. Masih harus sekolah dan belajar, itu tugasku. Ibu bekerja sebagai kasir di sebuah mini market di dekat rumah. Pergi pagi dan pulang ketika malam tiba. Terkadang jika ibu harus bekerja malam, ibu menitipkan aku ke tetangga sebelah rumah agar aku tidak tidur sendirian.


Sebenarnya aku sangat tidak suka jika harus tidur di rumah tetangga. Jujur tetanggaku itu baik, sering memberikan makanan kepada kami, tetapi mulutnya tidak bisa dijaga. Beberapa kali aku mendengar tetanggaku sering bertanya mengapa ibuku tidak menikah lagi saja agar aku dan ibu ada yang mengurus. Supaya ibu tidak kelelahan dan aku juga bisa mendapatkan kasih sayang seorang ayah lagi. Tetapi ibu tidak pernah kulihat marah pada mereka. Ibu hanya tersenyum dan bilang kalau dia baik-baik saja. Mirip seperti ayah. Ibu selalu berkata baik-baik saja dan bersembunyi dalam senyumannya agar tetap terlihat kuat. Agar aku tidak khawatir.


Ibu juga selalu bercerita mengenai kebaikan-kebaikan ayah. Salah satu pesan ibu yang melekat di benakku adalah untuk tidak terlalu memikirkan omongan orang lain. Orang lain tidak tahu apa yang kita rasakan sesungguhnya. Mereka hanya bisa menerka saja. Karena itu, aku juga tidak menghiraukan omongan tetanggaku itu tentang ayah. Meski ayah tidak ada lagi di sampingku, aku selalu tahu bahwa dia menyayangiku. Bagiku, itu sudah cukup.


Hingga tiba ketika aku mulai kuliah dan menjadi mahasiswa. Ayah melihatku kan? Putri kecil ayah kini sudah besar. Aku berjanji ayah. Aku akan belajar dengan giat agar ayah dan ibu bangga. Aku akan menjadi orang yang baik dan berguna. Ketika berkuliah, aku memiliki banyak kesulitan ayah. Kuliah memang berbeda dengan sekolah. Tetapi, aku kuat. Aku berusaha dan belajar banyak. Juga bergaul dengan orang baik agar aku bisa mempelajari banyak hal. Kata ibu, ilmu ada dimana saja. Pelajari ilmu yang baik dan bermanfaat agar kamu bisa menjadi orang berguna. Ibu sering sekali bilang begitu setiap aku berangkat sekolah bahkan hingga aku kuliah. Terkadang aku juga bosan mendengarnya, walau kata-kata ibu memang benar.


Ayah hari ini tepat setelah aku selesai wisuda, seorang lelaki datang ke rumah kita. Dia kakak kelasku. Dia bilang kalau dia tertarik sejak dulu padaku ayah. Dia lelaki yang menurutku baik. Sering aku tak sengaja melihat dia, salat di musala. Atau ikut menggalang dana ketika ada bencana. Senyumannya juga manis dan dia juga pintar. Dia... Ingin menjadikan aku sebagai istrinya. Ibu sepertinya juga setuju. Tetapi aku malah bingung.


"Ayana, bagaimana sayang apa kamu mau menerima lamarannya?" ujar ibu sambil mengelus rambutku. Sementara aku berbalik arah sambil berpura-pura tidur


"Aku tidak tahu Bu. Aku takut kalau rumah tangga kami tidak berjalan baik. Ayana takut jika tidak bisa menjadi istri yang baik."


"Ayana, di dunia ini tidak ada yang sempurna Nak. Kalau kamu mencari kesempurnaan niscaya tidak akan pernah kamu dapatkan. Kalian bisa belajar bersama untuk saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jika kamu memang yakin, terimalah dia. Dia sudah berani datang untukmu, apalagi dia tidak pernah pacaran. Tetapi itu semua tergantung kamu sayang. Ibu hanya bisa memberimu saran saja.


Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiran buruk terus saja menerpa di otakku. Lalu aku memutuskan salat di malam hari. Meminta petunjuk kepada Allah atas apa yang terbaik bagiku. Kemudian akhirnya aku tertidur juga. Lalu, ketika lelaki itu datang kembali, aku memberanikan diri dan menerima lamarannya.


Aku percaya ibu, Ayah. Kalau dia adalah lelaki yang terbaik untukku. Aku tahu bahwa aku masih harus terus belajar. Tetapi aku juga perlu seorang imam untuk membimbing aku, dan aku yakin kalau dialah orangnya. Ibu menangis haru mendengar keputusanku. Lalu kami mulai menyusun acara untuk pernikahan nanti. Kami akan melaksanakan pernikahan dengan sederhana. Hanya dengan beberapa keluarga dan  tetangga saja. Tidak apa tidak terlalu mewah yang penting kami nanti bisa bahagia.

Tepat semalam sebelum ijab kabul antara aku dan dia dilaksanakan, ibu masuk ke kamarku. Menyerahkan sebuah surat yang kelihatannya sudah lama. Kata ibu, ini adalah surat yang sangat penting untuk kubaca. Setelah ibu pergi, aku mulai membaca surat aneh ini.


Untuk Ayana


Anakku, maafkan ayah. Ayah mungkin hanya bisa bersamamu sebentar saja. Sebenarnya, ayah ingin sekali bisa melihatmu tumbuh dewasa. Mengantarmu dan mengajarkan kamu banyak hal. Tetapi ayah rasa, ayah tidak sanggup Nak. Maafkan ayah karena terpaksa harus meninggalkan kamu dan ibumu. Ayah... Sungguh minta maaf.


Anakku, apa benar sebentar lagi kamu akan menikah? Ayah turut senang. Karena kamu akan mendapatkan cinta dari lelaki selain ayah. Semoga, pilihanmu adalah pilihan yang terbaik untuk kehidupanmu kelak. Ayah selalu berdoa agar putri ayah bisa selalu bahagia.


Anakku, berusahalah menjadi istri dan ibu yang baik bagi suami dan anak-anakmu kelak. Taatilah suamimu selama itu adalah sebuah kebaikan. Jangan marah karena rumah yang mungkin berantakan. Jangan marah apabila sikapnya ternyata tidak seperti yang kau bayangkan. Karena memang seperti itulah sebuah pernikahan. Kalian harus saling belajar menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.


Anakku, surat ini sengaja ayah tulis untuk kau baca sebelum pernikahanmu. Karena, ayah belum sempat bisa bersamamu namun nasihat dari ayah ada di dalam surat ini. Terima kasih sudah tumbuh dengan baik anakku. Terima kasih atas cinta yang kau berikan untuk ayah dan ibu. Ayah dan ibu akan selalu mendoakan kebahagiaan untukmu.

Salam cinta dari ayah.


Air mataku tak berhenti mengalir. Ayah, terima kasih untuk nasihatmu yang berharga. Aku berjanji akan hidup bahagia ayah. Aku akan berjuang agar bisa menjadi istri dan ibu yang baik kelak.


Suara riuh dari tamu terdengar. Aku duduk di samping ibu sambil gemetar mendengar suara calon suamiku. Hingga akhirnya satu kata sah, menyatukan hatiku dan dia. Ayah melihatku kan? Aku berjanji akan hidup bahagia ayah. Terima kasih atas cintamu, ayah.

Biodata penulis

Dokumen pribadi 
Dokumen pribadi 

Inong Islamiyati. Seorang gadis yang menyukai animasi, musik dan mulai tertarik dengan dunia kepenulisan. Suka menulis hal yang menarik dan menyentuh hati. Untuk menemukannya, silahkan klik akun Instagram @inong_islamiyati atau kirim email ke @anzellasaputri70@gmail.com. sankyu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun