Kebanyakan media massa akhir-akhir ini di ramaikan oleh iklan-iklan politik dari Calon Presiden dan Wakil Presiden. Baik media cetak, elektronik maupun media lainnya, hampir setiap hari didalamnya kita disuguhi oleh iklan-iklan politik tersebut.
Kedua pasangan Capres dan Cawapres telah menghabiskan dana Rp 123,54 milyar untuk beriklan di media. Pada awalnya, kita mungkin melihat iklan-iklan politik ini hanya mengandung unsur ajakan, coblos ini coblos itu, tetapi seiring dengan semakin mendekatnya momentum pencoblosan, iklan-iklan tidak hanya bersifat ajakan atau mengarahkan mana yang harus dicoblos, melainkan sudah dalam tempo saling serang.
Iklan politik tentu saja sangat efektif dalam memuluskan pencitraan popularitas, apalagi melalui media elektronik seperti televisi yang daya jangkaunya ke publik 90% lebih besar dari media lainnya.
Tetapi pada kenyataannya sekarang masyarakat masih kurang begitu paham bahwa sebenarnya ada konspirasi-konspirasi para elit politik dengan media yang bermain didalamnya. Sosialisasi, pembangunan citra, janji-janji, ataupun kata-kata manis dalam iklan bisa saja hanya realitas rekayasa dari media. Masyarakat seakan-akan termakan oleh harapan-harapan semu yang diberikan oleh para politisi dalam upaya pendekatannya dengan publik.
Pada dasarnya memang iklan adalah cara pragmatis untuk menaikkan rating atau kepopuleran dari seorang figur politisi, tetapi sebaiknya iklan tetap mengandung etika yang harus dipenuhi. Misalnya, tingkat kejujurannya, benar, berani bertanggung jawab, bersaing secara sehat dan melindungi dengan menghargai publik, tidak melanggar hukum negar, nilai-nilai agama, adat, susila, ataupun golongan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H