Mohon tunggu...
Inneke Tiara Pratiwi
Inneke Tiara Pratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ekonomi Pembangunan

A learner

Selanjutnya

Tutup

Financial

Mengapa IHSG Mengalami Fluktuasi yang Signifikan Sesudah Adanya Pandemi?

27 November 2023   08:04 Diperbarui: 27 November 2023   08:12 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasar modal menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan perekonomian suatu negara karena menyediakan pendanaan bagi perusahaan sehingga perusahaan mampu memperluas skala bisnisnya yang dapat meningkatkan lapangan pekerjaan dan pendapatan masyarakat. Salah satu instrumen pasar modal adalah saham. Indeks yang digunakan untuk mengukur kinerja harga semua saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia disebut Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). IHSG menunjukkan pergerakan rata-rata seluruh saham yang ada di dalam bursa efek. Jadi, jika IHSG meningkat berarti rata-rata saham di BEI menguat dan apabila IHSG melandai berarti rata-rata saham di BEI melemah. Ketika IHSG memiliki tren meningkat, investor disarankan untuk menjual saham agar mendapatkan keuntungan. Selain itu, investor juga dapat memilih untuk melakukan hold (simpan dan tidak menjual), dengan harapan harga saham akan terus meningkat dan memberikan keuntungan yang lebih besar.

IHSG sebelum pandemi

Kinerja IHSG selama tahun 2018 mengalami minus 2,54% jika dibandingkan dengan tahun 2017 yang justru memberikan return 19,99% dan 2016 dengan return 15,32%. Sepanjang Januari-Desember 2018, selain mencatatkan kinerja negatif, sejumlah sentimen dalam negeri dan luar negeri mendorong investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) mencapai Rp45,65 triliun di pasar regular. Kapitalisasi pasar pada tahun 2018 sebesar Rp7.023 triliun yang mana turun 0,41% dibandingkan tahun 2017. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara-negara lain di seluruh dunia. Pergerakan ini salah satunya dipicu oleh sentimen AS dan China yang seolah akan memulai perang dagang. Pada penutupan perdagangan 2018, IHSG menguat 0,062 persen dengan nilai 6.194,498. Angka ini sudah mencapai target tahun 2018 yaitu di atas 6.000. Inarno Djajadi, Direktur Utama BEI menyebutkan bahwa pertumbuhan positif perekonomian Indonesia dan inflasi yang stabil di angka 3,5% telah memberikan rasa percaya investor asing untuk menahan dana di Indonesia.

IHSG perlahan meningkat di tahun 2019 dan IHSG ditutup di nilai 6.299,54, mengalami penguatan 1,7% dibanding IHSG 2018. IHSG bergerak cukup fluktuatif sepanjang tahun 2019. Pada 6 Februari, IHSG menyentuh nilai tertingginya sepanjang tahun 2019 dengan nilai 6.547,88. Namun, merosot di level paling rendah sepanjang 2019 dengan nilai 5.828,86 pada bulan Mei. Ada 55 perusahaan melakukan Initial Public Offering (IPO) sepanjang tahun 2019. Kenaikan jumlah perusahaan tercatat diikuti dengan pertumbuhan dana yang dihimpun dari IPO, yakni Rp 16,01 triliun, naik 68 persen dari 2017 yang sebesar Rp 9,5 triliun. Selain itu, jumlah investor pemilik saham meningkat 222.096 menjadi 851.093 SID.

IHSG Setelah Adanya Pandemi

Pandemi telah membatasi aktivitas ekonomi yang berdampak terhadap menurunnya produksi dan terbatasnya distibusi barang. Hal ini telah meningkatkan ketidakpastian pasar yang mampu menurunkan kepercayaan investor untuk menahan dananya. Akibatnya, volume investasi semakin turun. Pada awal penyebaran COVID-19, Februari 2020, IHSG mengalami penurunan drastis hingga persentase -13,44% dengan angka akhir 5.452. IHSG terus melandai dan mencapai 5.361 saat dikemukakannya kasus COVID pertama di Indonesia. IHSG tersungkur lebih dari 14 persen sepanjang perdagangan 16-20 Maret 2020. Penurunan tersebut semakin terjadi sampai menyentuh level 3.937 pada 24 Maret 2020. Pada bulan Juni, IHSG akhirnya menguat 0,35% ke indeks 4.942. Penguatan ini disebabkan adanya program pembelian obligasi ke The Fed yang mendorong kepercayaan investor global. Tren ini cukup stabil sampai September 2020 dan kembali jatuh 7,03%. Fluktuasi signifkan sepanjang tahun 2020 sangat sering terjadi dan akhirnya ditutup di level level 5.979,07.

Pada tahun 2021, IHSG mulai bangkit dan pulih dari keterpurukan. Pada tahun 2021, rerata frekuensi perdagangan harian saham mengalami kenaikan sebesar 91,1% (yoy) menjadi 1,29 juta transaksi per hari. Frekuensi perdagangan harian saham mampu menyentuh rekor tertinggi sepanjang sejarah BEI, yaitu 2.141.575 kali transaksi pada tanggal 9 Agustus 2021. Selain itu, rerata volume perdagangan harian Saham juga mengalami kenaikan sebesar 81,4% (yoy) menjadi 20,6 miliar saham per hari. IHSG 2021 terakhir ditutp di level 6.581,5 atau naik 10,1% disbanding tahun 2020. Inarno Djajdi selaku Direktur Utama BEI menyebutkan bahwa peningkatan jumlah investor menjadi pendorong meningkatnya IHSG di tahun 2021. Jumlah investor saham melonjak 103% menjadi 3,45 juta investor.

IHSG melesat 0,75% pada Januari 2022, di mana per 31 Januari, IHSG berada di level 6.631,15. Bahkan pada Januari, IHSG berhasil mencetak rekor terbarunya di level 6.726,37 yang tercipta pada 21 Januari 2022. Hal ini diduga dampak dari January Effect di mana masyarakat AS menggunakan bonus akhir tahunnya untuk membeli saham di pasar modal. Sepanjang tahu 2022, IHSG hanya meningkat 2,93%, lebih rendah dibanding tahun lalu yang mengalami peningkatan 10,1%. Pertumbuhan yang kurang maksimal ini disebabkan oleh adanya lonjakan inflasi, kenaikan suku bunga, dan perang Rusia-Ukraina.

Proyeksi IHSG tahun 2024

Manuel Adhy Purwanto, Head of Research and Investment Connoisseur PT Moduit Digital Indonesia, memproyeksikan IHSG akan mengalami peningkatan mencapai nilai 8.000 pada tahun 2024. Pendapat tersebut didasari oleh perkiraan mulai berhentinya tren suku bunga tinggi atau "higher for longer" pada kuartal II 2024. Hal tersebut dapat menyebabkan dolar Amerika Serikat melemah terhadap mata uang negara lain. Melemahnya dolar Amerika Serikat dapat mendorong para investor asing untuk mencari kawasan potensial di Asia, termasuk Indonesia. Selain itu, IMF juga memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi global di 2024 hanya 3 persen. Sedangkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan sekitar 4,9-5 persen yang mana sudah cukup menarik bagi investor asing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun