Innayah WulandariÂ
1406621043
Sosiologi
Universitas Negeri Jakarta
Akhir-akhir ini kasus kekerasan remaja di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Terdapat sejumlah kasus kekerasan yang dilakukan remaja, mulai dari kekerasan fisik, verbal, maupun seksual yang dapat berakibat trauma, stigma, depresi, sampai kematian pada korban. Bahkan hingga masuk ke tahap kriminalitas, seperti tawuran antar kelompok pelajar, perundungan fisik, penyerangan menggunakan senjata tajam, penyerangan seksual sampai pembunuhan.Â
Hal tersebut sangat merugikan dan membahayakan dirinya sendiri dan masyarakat sekitar. Apalagi di dunia maya, semakin seringkali muncul kasus kekerasan yang dilakukan oleh remaja. Beberapa contoh kasus yang sedang marak dibahas di dunia maya adalah pelaku klitih di Yogyakarta, kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak seorang pejabat Direktur Jendral Kementrian Keuangan, dan pembacokan siswa di Bogor.Â
Karakteristik remaja yang sedang dalam tahap pencarian identitas menjadi rentan terhadap timbulnya permasalahan, termasuk melakukan kekerasan. Secara psikologis, remaja adalah masa-masa krusial karena emosinya yang tidak stabil, belum dapat menentukan benar dan salah, sehingga mereka mudah untuk dipengaruhi.Â
Kekerasan remaja (peer violence) didefinisikan sebagai tindakan kekerasan fisik, emosional, atau seksual yang dilakukan oleh teman sebaya di usia sekolah. Kekerasan remaja dapat berkembang dengan cara berbeda.Â
Beberapa anak menunjukkan perilaku bermasalah pada usia dini yang secara bertahap meningkat menjadi bentuk agresi yang lebih parah dari sebelum dan selama masa remaja. data dari kekerasan.kemenpppa.go.id sebanyak 13,5% merupakan pelaku kekerasan dengan usia 13-17 tahun dan sebanyak 17,2% berusia 18-24 tahun. Dari 5.574 kasus kekerasan 1.067 memiliki hubungan saudara atau teman. Â
Remaja yang melakukan tindak kekerasan dilatarbelakangi dengan berbagai faktor-faktor, baik dari internal maupun eksternal. Faktor internal biasanya datang dari karakteristik remaja yang pada dasarnya peralihan dari masa anak-anak ke dewasa dimana adanya ketidakmampuan remaja dalam mengenali dirinya sendiri atau krisis identitas.Â
Dengan perubahan fisik dan psikologis yang terjadi pada masa remaja tersebut cenderung membuat mereka tidak mengetahui jati dirinya. Sehingga hal tersebut mendorong mereka untuk melakukan segala hal yang belum pernah dirasakan dan diketahui. Selanjutnya para remaja sangat rentan akan kontrol diri karena memiliki wawasan yang terbatas dan sifatnya cenderung emosional yang meledak. Sehingga remaja pun berubah menjadi pribadi yang melakukan sesuatu tanpa berpikir.
Faktor eksternal yang memicu tindakan kekerasan remaja, dapat dilihat dari lingkungan, keluarga, instansi pendidikan, dan bahkan media massa. Keluarga dapat menjadi faktor pendorong utama dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh remaja. Hal tersebut dikarenakan orang tua berperan penting dalam pembentukan sikap dan perilaku anak.Â
Perilaku orang tua terhadap anak berkontribusi besar terhadap kompetensi sosial, emosi, dan kemampuan kecerdasan atau intelektual anak. Anak yang diabaikan ataupun terlalu dikontrol orang tua, tanpa disadari dapat membuat anak melakukan hal-hal negatif selama di luar rumah. Kondisi keluarga yang tidak baik berdampak pada anak sehingga anak pun merasa tidak dilindungi, tidak aman, serta kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya.Â
Kemudian, terdapat faktor yang datang dari dampak kekerasan orang tua di rumah terhadap anaknya (child abuse). Sehingga anak tersebut dapat menjadi pelaku kekerasan karena tidak adanya fungsi keluarga ideal yang terbentuk sejak kecil. Child abuse dipandang sebagai sebuah siklus dimana anak-anak yang menjadi korban kekerasan di rumah memungkinkannya menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari.Â
Faktor lain yang juga penting adalah dari lingkungan, seperti faktor teman sebaya, budaya masyarakat setempat, dan instansi pendidikan. Lingkungan pertemanan sangat mempengaruhi kepribadian remaja karena remaja tidak dapat membedakan mana perilaku buruk dan baik yang pada akhirnya membuatnya gampang terbawa arus pertemanan. Sehingga jika lingkungan pertemanannya buruk dan banyak melakukan kegiatan negatif, maka kepribadian remaja tersebut akan buruk juga. Instansi pendidikan pun dapat membuat remaja melakukan kekerasan.Â
Sekolah menjadi tempat menghabiskan waktu cukup banyak untuk beraktivitas bagi anak. Dimana sekolah merupakan tempat adanya interaksi antar teman sebaya dan pengajar.Â
Cara pengajaran guru atau dosen pun dapat mempengaruhi kepribadian seorang individu. Beberapa kasus ditemukan pengajar melakukan tindak kekerasan terhadap muridnya, baik verbal maupun nonverbal. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekerasan juga dilakukan dan dicontohkan oleh pengajar kepada peserta didiknya yang mana akan membentuk kepribadian anak tersebut.Â
Media massa turut berperan dalam persebaran kasus kekerasan remaja. Kebebasan dalam mengakses berbagai informasi yang ada internet pun membuat remaja terpapar dampaknya, baik negatif maupun positif. Konten-konten negatif yang seharusnya tidak ditiru malah menjadi acuan, rujukan, serta contoh bagi para remaja sebagai audiens untuk melakukan hal yang demikian juga. Tidak jarang konten negatif tersebut berkaitan dengan kekerasan. Namun, ada manfaat lain dari media massa. Media massa dapat dijadikan platform untuk menyebarkan tindak kekerasan remaja yang sehingga para korban pun mendapat dukungan dari banyak orang.
Selanjutnya ada faktor dari budaya setempat. dapat diketahui bahwa wilayah pinggiran Jakarta dan sekitarnya memiliki budaya tawuran antar kelompok masyarakat maupun pelajar. Mereka menilai hal tersebut sebagai tradisi yang sudah lumrah dilakukan padahal merugikan banyak pihak. Tidak hanya itu, fenomena klitih di Yogyakarta awalnya hanya kegiatan di luar rumah, seperti bermain atau jalan-jalan di luar rumah namun malah berubah ke konotasi negatif. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi permasalahan sosial yang menghambat kemajuan negara.
Dalam hal pembangunan sosial, maraknya kekerasan remaja berpengaruh pada keberhasilan pembangunan suatu negara. Adanya kekerasan remaja dianggap menjadi hambatan bagi masyarakat untuk maju mengarah kesejahteraan.Â
Hal tersebut dikarenakan remaja merupakan penerus bangsa yang seharusnya membekali dirinya dengan pengetahuan dan ilmu, sehingga menjadi pribadi berkualitas tinggi demi masa depan bangsanya. Namun, kenyataan malah sebaliknya, kekerasan remaja semakin marak dilakukan dan hal tersebut dapat merusak generasi bangsa.Â
World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa kekerasan remaja berdampak seumur hidup pada fungsi psikologis dan sosial seseorang yang mana berpengaruh pada pertumbuhan anak atau remaja tersebut di masa depan.Â
Artinya, pelaku kekerasan seksual apalagi korbannya akan mengalami dampak untuk masa depannya dan berpengaruh pada kualitas SDM guna menyongsong bangsa yang terpelajar dan berkualitas. Bagi pelaku akan dikenai hukuman yang akan mencoreng namanya di daftar saat memasuki dunia kerja, sedangkan bagi korban akan mengalami masalah psikologis bahkan ada beberapa kasus yang menghilangkan nyawa. Para pelaku kekerasan secara tidak langsung merenggut masa depan para korban.Â
Maraknya kasus kekerasan remaja menjadi suatu masalah sosial yang harus diperhatikan. Oleh karena itu, perlu adanya perencanaan program sosial untuk  menyelamatkan masa depan generasi bangsa dan pembangunan sosial suatu negara. Pada konteks pembangunan sosial, strategi untuk mencegah kekerasan remaja dapat dilakukan melalui tiga strategi pendekatan, antara lain:
Social Development by Individual, yakni remaja secara mandiri dalam membentuk usaha pelayanan masyarakat guna memberdayakan.
Social Development by Community, yakni kelompok masyarakat mengembangkan komunitas yang berfokus pada remaja untuk kegiatan saling bercerita, memberi solusi, dan menjadi lingkungan pertemanan yang positif.
Social Development by Government, yakni adanya kebijakan-kebijakan atau program memberantas kekerasan remaja yang dilakukan oleh lembaga-lembaga atau organisasi pemerintah.
Strategi-strategi tersebut harus dijalankan dengan konsistensi dan kolaborasi berbagai pihak agar tepat mencapai tujuan. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan sosial dalam bentuk perundang-undangan untuk mempertegas larangan tindak kekerasan remaja, yakni dalam Pasal 351 KUHP, Undang-Undang No. 11 Tahun 2021 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bagi anak atau remaja pelaku kekerasan, dan sebagainya. Selain itu, pemerintah bekerja sama dengan LSM melakukan berbagai macam program pembinaan dan pelayanan sosial.Â
Program pembinaan untuk tiap individu perlu dilakukan untuk membentuk kepribadian yang baik. Contohnya Pembinaan Kemandirian yang bertujuan sebagai sarana penyaluran untuk mengembangkan bakat dan keterampilan karya binaan remaja ke arah positif. Lewat program tersebut, remaja dapat mengembangkan keterampilan dengan membuat program binaan seperti kerajinan dan lainnya. Selanjutnya dapat dilakukan dengan Program Kepribadian secara psikologis, moralitas, spiritual, dan kerohanian.Â
Hal tersebut berguna agar remaja dapat mengontrol dirinya agar lebih tenang, mendapat penanganan kondisi mental, dan membentuk kepribadian yang bermoral. Spiritual berguna untuk keseimbangan dalam hidup, agar membangun hubungan manusia dengan penciptanya, sehingga remaja dapat memahami arti hidup sesungguhnya.
Selanjutnya, pada faktor keluarga dapat dilakukan Program "Keluarga Tangguh" dengan tujuan pengembalian 8 fungsi utama keluarga agar sosialisasi yang diterima anak berjalan baik sehingga mengurangi kekerasan remaja yang penyebabnya dari keluarga. Keluarga juga perlu menerapkan pola asuh yang tepat sesuai dengan karakteristik anak.Â
Sedangkan, dalam instansi pendidikan perlu adanya Sosialisasi Pencegahan Tindak Kekerasan Remaja. Instansi pendidikan harus dapat bersikap tegas terhadap segala bentuk tindak kekerasan dalam lingkup sekolah/kampus, mulai dari peserta didik, tenaga pengajar, dan staf pekerja dalam instansi tersebut. Pemerintah juga membuat program pembinaan pada remaja putus sekolah lewat program "Satu Desa, Satu Paud" dengan tujuan meningkatkan akses pada layanan pendidikan anak yang kurang mampu, sehingga meningkatkan pengetahuan anak.Â
Kemudian, mengenai budaya masyarakat setempat yang berpengaruh terhadap kekerasan remaja. Pemerintah harus berperan dalam mensosialisasikan bahaya kekerasan khususnya yang dilakukan remaja dan penafsiran mengenai budaya yang salah. Hal yang berkaitan dengan budaya pasti memerlukan waktu bagi pemerintah untuk dapat diterima oleh masyarakat setempat. Pemerintah dapat melakukan diskusi dengan masyarakat setempat untuk kemudian ditemukan pembinaan yang menyesuaikan nilai dan norma secara umum dengan nilai yang dianut oleh suatu budaya.
Program-program sosial tersebut perlu dilakukan demi tercapainya tujuan suatu bangsa akan cita-citanya untuk membentuk generasi muda yang berkualitas dan dapat memberikan kemajuan serta kesejahteraan pada negara kedepannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H