Kajian Teori Sosiologi Pemuda dalam Perspektif Teori Struktural Fungsional
Ketika kita mendengar Bhinneka Tunggal Ika, siapa yang tak kenal dengan semboyan bangsa kita ini? Sebuah frasa semboyan bangsa yang  jelas telah mendarah daging dalam benak sanubari setiap masyarakat Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan Sebuah semboyan yang digunakan untuk mempersatukan bangsa Indonesia dari berbagai pulau suku dan budaya. Semboyan dengan berlandaskan konsep keberaagaman ini lahir dari bahasa sangsekerta pada masa Kerajaan Majapahit dan dengan jelas semboyan yang digunakan untuk mempersatukan nusantara.
Akan tetapi, bagaimana nasib semboyan Bhinneka Tunggal Ika di zaman dan era  yang semakin majemuk dan milenia ini.  Negara kita  bukan lagi didiami oleh satu atau dua agama, kelompok, ras, etnik atau suku saja seperti pada masa lahirnya "Bhineka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa" pada masa itu? Masihkah kita  mempertahankannya?Â
Tentunya tidak hanya sebatas lisan semata,  tetapi dihayati, diresapi, dan diimplementasikan dalam tindakan kita sehari-hari. Terlebih kita tahu bahwa  tahun 2019 lalu kita sebut sebagai tahun politik. Isu agama, suku, ras, agama mewarnai panggung politik negeri.
Ini mungkin sebuah pertanyaan retoris yang menjemukan. Sudah sering kita mendengarkan bahkan kita pun sampai bosan. Tapi,  apakah kita pantas merasa bosan bila jawaban konkretnya yang  terjadi di lapangan untuk saat ini, tentu saja Tidak.
Karena setiap hari ada saja tersiar kabar konflik saling menyerang antaragama, kelompok-kelompok radikal yang terus mengehembuskan teror-teror mengadu domba untuk saling menyerang. Ekspolitasi isu terkait agama, ras, suku dan antar golongan (SARA) tak menjadi sarapan di pagi hari.
Seringkali kita mendengar berita terjadi Konflik kesukuan diberbagai daerah, tentu hal ini merupakan persoalan yang sangat mengkhawatirkan di Indonesia.Â
Keharmonisan dalam masyarakat seakan-akan terancam oleh keberagaman budaya yang dimiliki oleh Indonesia, hal yang seharusnya menjadi kebanggaan berubah menjadi sesuatu yang membahayakan, terutama bagi masyarakat multikultural (masyarakat majemuk) di negeri ini.
Seperti pepatah yang mengatakan "berdiri sama tinggi, duduk sama rendah".Â
Penulis sangat yakin,  tidak ada satupun  golongan yang paling indah di antara suku, agama, bahasa, maupun ras. Karena semua itu sejatinya adalah kekayaan bangsa yang luhur  dan adi luhung.Â