Mohon tunggu...
Rinnelya Agustien
Rinnelya Agustien Mohon Tunggu... Perawat - Pengelola TBM Pena dan Buku

seseorang yang ingin menjadi manfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Semua Anak adalah Permata bagi Orangtuanya

15 Januari 2025   10:44 Diperbarui: 15 Januari 2025   10:44 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu pengalaman masa kecilku yang buruk dan traumatis berdampak sampai aku sekarang menjadi ibu.  Aku ingat suara kerasnya tamparan itu melayang ke pipiku. Suara teriakan dan makiannya  yang diucapkan dengan kasar dan keras, yang kadang kerap muncul  menggema di telingaku sampai saat ini. "Bikin malu mama aja !!! Apa kata orang nanti kalau tahu ibunya guru". Kalimat kalimat yang menyudutkanku demi kemuliaan namanya di masyarakat. Aku sudah berkali kali bilang tidak, namun malah menuduh aku berbohong. Satu laporan dari mulut tetangga yang melihatku lari larian di halaman masjid ketika sholat tarawih. Aku berusaha menceritakan kejadian sesungguhnya, namun tidak bisa keluar dari mulutku. Dia marah begitu hebat, bahkan sampai menampar pipiku. Tatapan matanya seakan berbicara kalau kamu adalah pembuat onar yang bikin malu dan pembohong cerita. Aku saat itu kelas 4 SD, tak punya daya dan kuasa menghadapi amukan ibuku yang kalau kupikir saat itu dia memang berperan sebagai pendidik tunggal untuk anak anaknya. Yang seharusnya ada dua pendidik di dalam rumah, ada ayah dan ada ibu sehingga bisa membuat kesepakatan bersama mengenai pola pengasuhan dan mendidik anak. Namun memang di dalam rumahku, ibuku melebihi dominan dalam mendidik anak.

Peristiwa itu baginya mungkin terlupakan begitu saja tapi bagiku yang saat itu usia 9-10 tahun ternyata berdampak besar dalam mengambil keputusan. Kalimat yang diucapkannya, energi kemarahannya yang disalurkan kepadaku, tamparan kerasnya selalu membekas di pipiku, kesakitanku dituduh atas hal yang tidak aku lakukan itu meninggalkan luka yang sampai sekarang tidak pulih sempurna. Semua tertanam di alam bawah sadar. Aku cenderung bersembunyi, tidak ingin tampak kecil di mata orang. daripada dipandang sepele lebih baik sembunyi untuk tak terlihat. aku juga cenderung tidak berani  mengambil kesempatan yang menurutku itu downgrade. Padahal ya namanya hidup pasti silih berganti, tidak mungkin ingin selalu dipandang besar atau selalu mendapat kesempatan yang sempurna atau meraih paling sempurna. Terkadang kita butuh di bawah dulu untuk mencapai di atas, terkadang kita butuh ambil kesempatan yang kecil kecil dulu untuk meraih yang besar. Itulah aku dulu, aku selalu berpikir "bagaimana orang berpikir tentang aku ?". Begitu juga ketika aku curhat "bagaimana penilaian/image aku di mata orang  tersebut bila aku bercerita tentang hal ini ?", yang akhirnya aku cenderung menutup diri dan dampaknya ya kalau ada masalah menangis sesenggukan sendiri.  Jeleknya lagi adalah ketika ada orang bercerita, aku juga tipikal yang memberikan penilaian orang dan suka melabel orang.  Sedih sebenarnya trauma masa kecil ini.

Kehidupan berjalan yang akhirnya mempertemukan ku kepada banyak teman yang berkecimpung di dunia relawan. Berkenalan dan berteman dengan mereka mengubahku untuk jujur dengan diri sendiri. Menerima kekurangan kita sebagai hal yang tidak perlu untuk disesali namun harus ditertawakan (lha kok ditertawakan) iya itu maqom paling atas untuk bisa melihat kekurangan kita sbegai humor/candaan.

Dan kemudian takdir membawa ku berperan menjadi ibu. Menjadi ibu memang tidak ada sekolahnya. Kadang didikan ibu kita, ditularkan ke anak kita. Namun dengan penuh kesadaran, aku tidak akan melakukannya. Aku selalu berdoa kepadaNya agar aku dan suami diberikan ilmu untuk mengasuh anak. Tidak hanya anak yang butuh ilmu namun kita sebagai orangtua jauh lebih butuh berilmu untuk mampu menjaga titipannya.

Obrolan dengan seorang teman memberikan ilmu baru dan membuka cara pandangku melihat seorang anak.  Temanku bercerita dengan begitu jujur bagaimana anaknya yang sedang masuk ke fase phalik, yang mungkin bagi orang lain tidak perlu diceritakan. Aku menanggapi obrolannya dengan serius dan kita malah akhirnya diskusi ilmiah. Kelar ngobrol bersamanya, selama perjalanan pulang aku merefleksikan pertemuan kami tadi menjadi dukungan sesama orang tua dalam parenting dan mendidik anak. 

Cerita tentang anaknya membuka mataku bahwa orang tua itu bukan yang serba tahu mengenai anaknya. Dia juga butuh belajar, dia juga butuh teman untuk mendukungnya. Di saat aku begitu sering mendengar ibu bercerita kerberhasilan anaknya, justru temanku ini malahan bercerita sebuah realita yang bisa saja dialami oleh semua anak. Bahwa seorang ibu yang bercerita jujur mengenai anaknya ke para ibu lain  adalah cara untuk menguatkan perannya menjadi ibu. Maka yang dia harus dapatkan adalah dukungan bukan cercaan.  Bercerita itu tidak untuk saling memberikan penilaian tapi untuk saling mendukung.

Teman ku juga secara tersirat  ingin menyampaikan kepadaku, anak itu ya manusia yang akan melawati proses perjalanan hidup yang kadang mulus, terjal, berliku, curam, penuh bahaya, penuh kemudahan. Tak ada istilah perjalanan hidup seorang anak membuat malu orang tuanya karena anak masih dalam fase belajar. Dia belum paham apapun tentang dunia ini bekerja. Yang dia lakukan ya karena dia ingin tahu, dia ingin eksplorasi, dia ingin diterima oleh kelompok pertemanannya, dia ingin diperhatikan utuh oleh orang tuanya, dia ingin disayang tulus.  Otaknya masih belum sempurna, dia belum paham mengapa, apa dan bagaimana kelakuannya bisa membuat orang tua begitu malu mengenai dirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun