Terdapat tiga faktor penyebab kemiskinan terkait literasi yakni akses, konten dan human. Yang artinya tidak adanya/ terbatasnya akses informasi, konten informasinya yang memang tidak ada, dan sumber daya manusia yang terbatas pengetahuan dan kemampuannya. Begitu kesimpulan yang saya bisa dapatkan dari penjelasan Dr. Djoko Santoso, M.Hum selaku Kepala Biro Hukum dan Perencanaan Perpustakaan Nasional RI dalam sebuah acara Pertemuan Dinas Perpustakaan dan Bappenas (saya lupa nama acaranya apa). Saya hadir waktu itu sebagai undangan pegiat Taman Baca Masyarakat. Â
Dalam kurun waktu dua bulan Pena dan Buku, ruang baca yang saya kelola, mendirikan 2 pojok baca di Rusunawa Sepinggan dan di sebuah TPA (Taman Pendidikan Alquran) di daerah Lamaru, Balikpapan. Kami juga membantu menyuplai buku buku ke 2 rumah belajar yakni Rumah Belajar Garuya Klandasan dan Taman Baca di Desa Liang Buaya, Kutai Kartanegara. Dalam perjalanan mendirikan pojok baca, saya mengamati ketiga faktor tersebut yakni :
1. Â Akses buku/informasi
Saat saya berkunjung pertama kali ke TPA, beberapa remaja sedang latihan rebana untuk tampil di acara Maulid, sementara anak anak yang lain tampak asyik dengan gawainya. Saat itu TPA belum berlangsung, karena saya datang di pagi hari sedangkan TPA dimulai setelah maghrib.Â
Ketika saya mulai mengeluarkan buku buku dari dalam tas saya. Anak anak yang sedang bermain gawai melirik sebentar ke buku buku yang saya keluarkan. Satu anak mendekat dan mulai membuka halaman demi halaman buku. Diikuti anak lainnya dan akhirnya semua anak yang asyik dengan gawainya melepas gawainya dan beralih ke buku.Â
Seorang ibu datang mencari anaknya untuk diajak pulang, dia melihat anaknya sedang asyik membaca buku. Dia terharu dan berkata "akhirnya bisa lepas juga dari Hp".Â
Saya tersenyum senang mendengarnya. Minggu depan saya berkunjung lagi untuk membaca buku novel remaja titipan para remaja di desa tersebut. Pengelola TPA melaporkan kalau buku buku anak yang saya bawa sudah ludes dipinjam sama anak anak. Alhamdulillah kata saya.Â
Hasil  survey online Pena dan Buku mengenai buku adalah  sebanyak 76% responden memilih meletakkan buku di rak buku pribadi setelah membaca sementara itu 83% mengalami kesulitan mencari buku.Â
Dari hasi survey tersebut terlihat kesenjangan antara kebutuhan buku dengan akses terhadap buku. Oleh karenanya upaya pendirian pojok baca harus diperbanyak agar akses terhadap buku sama mudahnya seperti akses ke gawai.Â
2. Konten/informasi
Buku anak kita masih didominasi oleh buku buku anak terjemahan. Terdapat perbedaan konten antara buku anak Indonesia dengan buku anak dari negara lain.Â
Ada beberapa hal seperti norma dan budaya Indonesia yang seharusnya bisa dimasukkan dalam buku cerita anak yang tentu tidak ada di buku dari luar negeri.Â
Seperti sopan santun terhadap yang tua, salim cium tangan, membungkukkan badan bila bertemu orang tua, gotong royong dan lain sebagainya.Â
Beberapa orang tua yang tidak memiliki pengetahuan parenting karena keterbatasan waktunya dan informasi lebih memilih membiarkan anaknya anteng dengan gawai. Â Ibu adalah kunci utama dalam pendidikan bagi anak.
Ibu yang literat fungsional anaknya memiliki peluang 5-6 kali menyelesaikan sekolah daripada yang tidak. Data menyatakan bahwa 50% orang dewasa yang iliterat fungsional hidup d bawah garis kemiskinan.
 Oleh karenanya kebutuhan literasi tidak melulu dijejalin ke anak anak. Kaum dewasa juga harus mulai belajar membaca, belajar menulis dan belajar berpikir kritis.Â
 Dari perjalanan ini saya mengiyakan pemaparan materinya Pak Djoko bahwa literasi dan kemiskinan kaitannya erat sekali.  Bila ingin bebas dari kemiskinan maka kita harus menjadi literat terlebih dahulu.Â
Tabik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H