Mohon tunggu...
Rinnelya Agustien
Rinnelya Agustien Mohon Tunggu... Perawat - Pengelola TBM Pena dan Buku

seseorang yang ingin menjadi manfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar di Pelatihan Sokola (2)

10 Oktober 2017   21:13 Diperbarui: 14 Oktober 2017   12:50 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan sebelumnya ada di Belajar di Pelatihan Sokola (1)

PENDIDIKAN DAN SELF DETERMINATION

Pertanyaan pembuka dari Kak indit meningkatkan level jetlegku malam itu "apa yang membuat kamu masuk dan bertahan sampai saat ini di dunia volunteer, khususnya pendidikan ?"itulah pertanyaan pembuka pelatihan Sokola Institute. "Kemudian beri nilai dirimu sendiri selama kamu melakukan kegiatan volunteer, khususnya pendidikan" dan itu adalah soal keduanya. Aku mencoba menenangkan isi kepalaku yang saat itu masih dalam kondisi jetleg, karena sesi perkenalan lanjut ke sesi pertama. Setelah minum air bergelas gelas dan makan kejetleganku lumayan mereda. Mungkin si jetleg tahu bahwa aku harus focus di pelatihan ini.

Pertanyaan yang diajukan Kak Indit pernah kubahas bersama dua teman yang juga candu menjadi relawan pendidikan. Waktu itu setelah kegiatan Kelas Inspirasi Agustus lalu, kami berdiskusi seru di ranah media social WA.

"Kenapa ya kita masih bertahan disini (Kelas Inspirasi), sementara beberapa teman justru menghilang setelah KI (Kelas Inspirasi), lalu diganti dengan beberapa teman lainnya datang mengerumuni kegiatan ini yang entah sampai kapan mereka bertahan ?"kataku. "Apa yang membuat kita bertahan ? apakah kegiatannya ataukah orang orang yang terlibat di dalamnya ?"sambungku. "Kalau bertahan karena orang orang yang terlibat di dalamnya, malah bikin capek dan segera pergi. Ada berantem sedikit langsung menyingkir. Padahal kegiatannya jauh lebih urgent"jawab kusendiri

" karena memang ini kesukaan kita, meskipun aku tidak tahu apa ini yang dinamakan passion. Aku menjalaninya karena suka. Itu yang aku tau"jawab temanku

"suka dengan anak anak bukan passionku. Meskipun diganti dengan lansia pun aku tetap suka"sahutku

"lalu apa yang membuat kita bertahan?"tanya temanku

" mungkin memang kita tidak butuh alasan kenapa sampai sekarang bisa bertahan. Kalau memang sudah cinta yan cinta saja. Tidak perlu pakai alasan"jawab temanku

"kadang kalau ditanya kenapa mau ngerjain kegiatan ini ? aku tanya balik deh kenapa mesti gak mau (ngerjain kegiatan volunteer) ? emangnya gak gelisah ya dengan kondisi saat ini ? emang gak pengen ngelakuin sesuatu ? emang enak ya Cuma diam saja ?"kata temanku mengajukan pertanyaan balik

"iyap bener banget, emang gak resah ya ?, emang tenang ya hidup hanya dengan diri sendiri saja ?"sahut temanku lainnya

" semua hal yang kukerjain (kegiatan volunteer) adalah buah dari keresahan2ku, yang aku Coba jawab dengan caraku sendiri, yang belakangan aku paham ternyata gak semua keresahan bisa selesai dengan jawaban lalu selesai begitu saja. Ternyata ada keresahan yang jawabannya itu dalam wujud proses, gerak, yang bahkan mungkin juga gak akan terjawab sampai mati, karena jawaban itu bukan berupa materi, tapi esensi"jelas temanku

" iya sebenanrnya kita adalah orang orang resah yang ebrtemu untuk merawayakan keresahan kita"balas temanku

"yang resah dan terus bergerak. Dan akhirnya malah kita memanage keresahan kita (terhadap dunia pendidikan)"tambah temanku

" hahaha ya begitulah kita" kata temanku mengakhiri diskusi sore itu

Pertanyaan dari Kak Indit begitu sering aku ajukan berkali kali ke diriku sendiri "ada apa dengan diriku, sampai memutuskan untuk ikut pelatihan Sokola, apa yang membuatku berjalan sampai sejauh ini ?, apakah ini benar atau tidak ?" terkadang kita tidak perlu bertanya untuk beberapa hal yang memang kita sukai. Tapi menemukan jawaban kenapa kita mau melakukannya itu penting untuk meyakinkan diri bahwa apa yang kita lakukan ini benar.

Aku menjawabnya klise sekali "apa yang membuat kamu masuk dan bertahan sampai saat ini di dunia volunteer, khususnya pendidikan ?" lalu aku menjawab "karena aku suka perasaan bahagia yang timbul setelah melakukan kegiatan volunteer". Ah...kata ini lagi muncul "bahagia". Entah kenapa belakangan ini aku suka sekali menggunakan kata "bahagia". Menurutku bila orang sudah bahagia, maka dia tidak akan menjawil jawil hidup orang lain. Seperti apa yang terjadi pada bangsa ini. Maraknya intoleransi dan berita penuh kebencian, mungkin karena mereka tidak bahagia. Aku tidak mau seperti mereka.

Berbicara "bahagia" Aku jadi teringat cerita dari Bang Andi, pentolannya IMJ (Institut Musik Jalanan) saat ada orang yang mau berdonasi ke kegiatannya "ini bang kita kesini (markas IMJ) untuk berbagi kebahagiaan" kata orang itu. "Siapa yang gak bahagia, kita disini bahagia kok. Lu kali yang gak bahagia" jawab bang Andi lugas. Alamak telak kali jawaban itu! kalau aku yang dibegitukan langsung balik kanan pulang. Memang terkadang kita mengukur bahagia itu dari kacamata kita, padahal bahagia itukan relative. Ukuran bahagia itu subjektif. Seperti contoh teman saya yang miris melihat rumah di bantar gebang dibangun dari tumpukan sampah, dan banyak orang yang hidup di sekitarnya. Mungkin kita yang melihat mereka, berasumsi mereka tidak bahagia. Padahal kata mereka, sampah inilah yang menghidupi mereka. Atau seperti kegiatan berdonasi yang marak dilakukan ke daerah daerah, berbagi barang A barang B, berdonasi A berdonasi B, apakah yakin dengan kehadiran barang A dan B mereka jadi bahagia ? seringkali itu hanya penilaian diri sendiri.

Pemateri pertama adalah Kak Dilla yang membahas Filsafat Pendidikan. Dia membahas jawaban kami, "Mengapa semua peserta menjawab pertanyaan pertama dengan menggunakan kata "aku" "kata kak Dilla. "Berarti apakah semua yang telah kita lakukan ini untuk kita sendiri ?" sambungnya lagi.

Aku tercenung mendengar perkataannya, dan kembali bertanya ke diriku "apakah semua ini memang mengenai diriku sendiri yang masih dalam kategori resah, atau masih mencari bahagia"

Kak Dila meneruskan kembali pertanyaannya "sebenarnya apa makna kegiatan yang kalian lakukan untuk mereka ?" kegiatan yang dimaksud tentunya kegiatan yang biasanya dilakukan relawan pendidikan entah itu mengajari mereka baca tulis hitung, membacakan dongeng, mendirikan sekolah non formal, mengajari ulang pelajaran di sekolah, dan lain sebagainya yang berbasis literasi.

Beberapa dari kami menjawab "agar mereka bisa baca tulis", lalu ada yang menjawab "agar mereka bisa pintar", kemudian ada yang menjawab "agar mereka bisa menjadi apa yang mereka cita citakan", temanku menimpali "agar mereka bisa bermanfaat". Lalu kak dilla membalas kembali jawaban jawaban yang kami lontarkan "manfaatnya apa kalau mereka bisa baca tulis ? memang kalau tanpa kehadiran kalian, mereka tidak jadi bermanfaat dan apakah tanpa kehadiran kalian mereka tidak bisa mencapai cita cita?" tanya kak Dilla kepada kami yang masih melongo. Kami diajak untuk terus menerus bertanya kenapa dan kenapa ke diri sendiri.

Aku jadi ingat pertanyaan2 yang begitu sering kuajukan ke diriku sendiri setiap mengikuti Kelas Inspirasi. Benarkah aku ini menginspirasi mereka? ataukah hanya sebagai penyumbang tawa mereka sehari saja. Apakah ada makna yang mereka tangkap dari apa yang kuceritakan selama 40 menit kepada mereka (anak anak SD)? Ataukan yang teringat hanya tepuk Semangat atau goyang baby shark. Apakah kehadiranku hanya sebagai melepas penat mereka dari kumpulan kata yang setiap hari harus mereka eja dan hapal ? ataukah sebagai pembangkit semangat mereka sekolah ? Aku dengan lantang di depan kelas menyerukan semangat sekolah, meskipun aku tahu bahwa dari sekolah lah para remaja dan orang dewasa terikat geraknya memaknai kehidupan. Lalu sebenarnya ini untuk siapa ? untuk mereka yang menyandang generasi penerus bangsa ? ataukah untukku sendiri sebagai bukti bahwa aku pernah berkontribusi kepada bangsa ini ?

Setahun yang lalu, aku menjadi relawan pendidikan selama 6 bulan mengajar anak anak di kampung Rumput Laut Manggar, dan cerita mengenai merekalah yang menjadi bahan essay yang kukirimkan mengikuti seleksi Pelatihan Sokola. Aku menulis dalam essayku mengenai ketidaktahuanku tentang metode belajar mengajar non formal. Menurutku alangkah menjemukannya pagi hari sudah harus belajar formal, kemudian di hari libur belajar lagi mengenai hal sama. Aku tidak habis pikir kepada orang tua yang "memaksa" anaknya ikut les pelajaran, padahal dunia tidak butuh manusia yang pintar akademisi saja, dan aku yakin kaum orang tua yang suka "memaksa" paham akan hal itu. Metode pengajaran kami di kampung rumput laut Manggar lebih kepada bermain dengan memanfaatkan lingkungan sekitar. Enam bulan berhasil aku ikuti tanpa sekalipun absen, aku mengamati setiap anak anak yang ada di sana. Bentrokan budaya terjadi pada aku (pengajar) dengan anak anak disana, aku menilai dari kacamataku mereka nakal nakal karena susah sekali diatur, kemudian tidak bisa antri, sering berebutan dan pandangan negative lainnya. Dan akhirnya pikiranku mengarah ke SARA. Sementara anak anak ini semakin aku kesal, semakin mereka tertawa riang. Wah bener bener ngeselin kan. Setiap aku dan teman teman berbicara lebih nyaring satu oktaf, mereka diam sedetik lalu ribut lagi dengan tingkatan oktaf lebih tinggi selama ratusan detik. Dan pada akhirnya kami berdamai, aku dan teman teman menyadari bahwa kami yang harus mengikuti mereka bukan mereka yang mengikuti kami.

Namun demikian aku bertanya dalam hati, apa makna dari semua yang kulakukan ini ke mereka ? bagiku sendiri aku mendapatkan perasaan bahagia setelah pulang dari sana, dan itu adalah bentuk aktualisasi diri ku. Tapi bukankah begitu sering setiap kegiatan kerelawanan (khususnya pendidikan) didengung2kan dengan slogan "kita membantu mereka", "kita menolong mereka", "berbagi kebahagian", namun apakah yang kita lakukan memang itulah yang mereka butuhkan? Penilaiannya selalu dari kaca mata penolong, dan bukan dari kaca mata yang ditolong.

Pertanyaan kak Dilla selanjutnya adalah "apa makna pendidikan bagi mereka? Haruskah mereka mengenyam sekolah formal dan menjadi sarjana seperti kita ?" . Mereka yang dimaksud adalah murid murid di Sokola Rimba. "apakah anak anak yang kalian ajar harus mengenyam sekolah formal?, apakah itu tujuan kita?" sambung kak dilla. Kejetleganku membuat semangatku loyo, terkadang aku merasa isi kepalaku goyang ke kiri dan kanan. Padahal pembahasan kak Dilla seru sekali. Aku mencoba fokus dengan minum air putih segelas penuh.Pendidikan yang kita lakukan untuk mereka sejatinya sebagai self determination, jelas kak dilla. Apakah self determination itu ? Seseorang mampu membuat pilihan untuk dirinya sendiri, belajar memecahkan masalah dan mengambil kendali untuk kehidupannya sendiri itulah makna self determination. Motivasi dari dalam diri sendiri merujuk pada situasi dimana individu memulai dan melakukan suatu aktivitas untuk dirinya sendiri karena dirasa melakukan aktivitas tersebut adalah hal yang menarik dan dapat mencapai kepuasan tersendiri. Motivasi dari dalam diri individu tidak sepenuhnya berasal dari dalam diri, terdapat juga motivasi dari luar yang telah terinternalisasi pada diri individu. Terdapat empat komponen yang menentukan self determintion yakni ; otonomi, pengaturan diri, pemberdayaan psikologi dan realisasi diri. Dalam pandangan humanistik sendiri, self-determinationadalah sesuatu yang aktif dimana didalamnya terdapat self aware egodan memiliki kesadaran diri (self consciousness). Sedangkan menurut Freud seorang yang mampu atau sukses dalam mendeterminasikan dirinya (determinator) adalah sebagai berikut:

  1. (Risk taker) ; Seorang yang melakukan self-determination tidak pernah menyerah dan selalu membangkitkan semangat anak buah serta mampu mendelegasikan tugas kepada anak buah tetapi tidak akan pernah mau untuk lepas tanggung jawab. Dia berani mengambil resiko demi kemajuan organisasi
  2. (Decision making) ; Seseorang yang melakukan self-determination dituntut mampu dalam mengambil keputusan secara cepat dan tepat, serta mampu mempertanggungjawabkan semua keputusannya. Individu tersebut cenderung membesarkan harapannya dari pada tantangannya, sehingga memiliki kesabaran yang tinggi dalam menghadapi sesama dan bukan sesama (peralatan dll
  3. (Inisitaif) ; Seseorang yang melakukan self-determinationmrmpunyai keinginan untuk melakukan hal yang lebih dan mencapai hal yang lebih demi kemajuan perusahaan atau hal lain yang diinginkan. Peluang-peluang selalu diambil dalam mengembangkan tindakan inisiatifnya.
  4. (Higher order communication) ; seseorang yang melakukan self-determinationmampu menterjemahkan komunikasi dari atasannya yang berupa perintah atau tugas yang biasanya singkat, menjadi informasi yang dijabarkan seluas-luasnya dengan mengkomunikasikan ke bawahannya.

(Schneider, K & Pierson, J F. The Handbook of Humanistic Psychology: Leading Edges in Theory, Research, and Practice. Sage Publication, 2001.)

Bentuk pendidikan yang bagaimana yang cocok diterapkan di suatu daerah itu sangatlah kontekstual, harus melihat dari konteks waktu, konteks lingkungan dan konteks manusianya. Setiap daerah memiliki cirinya sendiri, sehingga tidak bisa disamakan satu daerah dengan daerah lainnya. Itulah mungkin kenapa pembahasan kurikulum pendidikan kita tidak pernah selesai, karena tidak pernah kontekstual. Apabila anak anak Sokola Rimba diharuskan sekolah formal, mungkin hutan mereka dalam hitungan tahun sudah habis. Karena harus menunggu sampai lulus SMA atau sarjana baru mereka bisa "berguna". Padahal pembalok liar setiap saat selalu datang mengambil kayu kayu dari hutan. Pendidikan bagi mereka sebagai senjata untuk melawan pembalok liar. Melalui pendidikan, mereka bisa melawan, mereka bisa audiensi dengan pemerintah pusat dan akhirnya mampu mempertahankan rumahnya.

Niat baik tidaklah cukup. Kedatangan relawan ke suatu daerah tidak selalu bisa mengatasi masalah yang ada, malahan terkadang membuat masalah baru. Seringkali para relawan datang ke suatu daerah membawa seongok asumsi di kepalanya bahwa "mereka perlu dibantu", "posting di media sosial biar segera ditolong", "mereka tidak bahagia, jadi perlu donasi kebahagiaan", "mereka tinggal di daerah terbelakang, terpencil, ter...ter...lainnya". Begitu banyak istilah yang mendiskriminasikan, seakan orang yang tinggal di desa, di dalam hutan, di kampung dekat laut itu adalah mereka yang harus dikasihani, dan dibantu. Label label inilah yang akhirnya membuat kebijakan di negara ini harus menyamaratakan bahwa semua harus sama seperti kaum ibukota, memakai baju lengkap, memakai sepatu, menggunakan sabun, makan beras, dan bahkan harus beragama yang diakui pemerintah saja. 

Dan akhirnya masyarakat adat merasa bahwa budayanya kampungan, ketinggalan jaman, buruk dan itu semua karena stigma yang diciptakan orang orang kota. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Setiap daerah memiliki budayanya sendiri. Mereka yang menjadi petani di Jawa terbiasa dengan menabung karena tidak setiap hari mereka panen beras. akan tetapi mereka yang tinggal di papua, yang hidupnya mengandalkan hasil hutan terbiasa instan. mau makan tinggal ambil hasil hutan saja, jadi wajar bila tidak ada istilah menabung bagi mereka. Seperti cerita kak Butet mengenai donasi sepatu untuk anak anak di papua, mereka bukan tidak mampu beli sepatu menurutku, tetapi karena sepatu bukanlah kebutuhan mereka. 

Atau mereka yang dianggap udik karena tidak pakai baju lengkap, bukan karena mereka miskin dan tidak mampu, tetapi karena memang tempat tinggal mereka yang membuat budaya mereka seperti itu. Ada cerita miris, gegara makanan instan mereka para masyarakat adat kadar asam uratnya meningkat, kemudian juga gigi mereka lebih rapuh berbeda dengan kaum tua yang giginya masih kuat. Diduga karena pemanis dari makanan instan dan belum terbiasa gosok gigi. Biasanya pemanis yang mereka konsumsi dari madu. Belum lagi sampah plastik, nrelawan datang dengan niatan berbagi, membawa banyak sekali bantuan yang berbungkus plastik, mereka yang terbiasa dengan sampah organik belum paham bahwa sampah plastik susah sekali terurai. kebayang kan kalau akhirnya sampah plastik itu dibuang sembarangan, apalagi kalau dibuang ke laut. Dan itulah kenapa sebelum jadi relawan memang harus belajar dulu, bukan hanya bermodal niat baik, dan punya uang.

Lalu apa makna pendidikan untuk mereka ? apakah pendidikan malahan mengasingkan anak petani dari cangkul dan sawahnya padahal dari sawahlah ia bisa sekolah ? apakah pendidikan membuat anak malu menjadi nelayan karena teman temannya mengatakan itu cita cita tidak keren ? apakah pendidikan yang membuat orang pergi dari daerahnya dan tidak pernah kembali ? Padahal bila benar benar dikalkulasi mereka yang punya sawah, berkerja di laut, hidup tergantung dari hutan, merekalah yang kaya. Justru kita yang berjuang setiap bulan dengan kreditan yang harus dibayar yang harus dikasihani. Pendidikan seharusnya mampu membuat anak didiknya bangga dan berkuasa penuh atas pilihan yang telah dipilih. Tetapi yang terjadi kan tidak, sekolah ya karena harus sekolah, kuliah ya daripada nganggur.

Namun orang orang jahat yang melirik hutan, sawah mereka memanfaatkan ketidaktahuan mereka. Mereka dibodohi, diberikan harga murah untuk kayu yang untuk menanamnya harus menunggu puluhan tahun. Mereka membeli sawah dengan iming iming harga murah. Dan umumnya petani dan masyarakat adat tidak punya bargaining yang kuat karena apa ? yap karena mereka tidak punya pendidikan. Aku kebayang bila hutan dan sawah menjadi daerah daerah privat, lalu kita makan dari mana ? lalu kita minum dari mana ? Pendidikan seharusnya mampu menjawab itu semua. Pendidikan bagi mereka seharusnya menjadi senjata untuk melawan arus kapitalis, bukan malah melemahkan. Kalau kata paulo freire pendidikan itu memerdekakan. Namun dimanakah letak pendidikan yang memandirikan, membebaskan, memerdekakan individu bila akhirnya kita malah menjadi ketakutan untuk hidup.

Dalam mendirikan bentuk pendidikan non formal, memang seharusnya relawan dan masyarakat harus mengadakan dialog, dalam hal ini relawan menempatkan diri di masyarakat, mendengarkan dan merasakan. Relawan harus live in saat melakukan pengkajian (dilakukan sebelum kegiatan) kata bang Dodi. Pendidikan juga harus kontekstual dan dengan asas humility (tidak merasa paling benar ). dan tentu mengajak peserta didik berpikir kritis (bertanya kenapa dan mengapa), dan juga konstruktif mencari tahu apa yang benar benar dibutuhkan masyarakat.

bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun