Mohon tunggu...
Rinnelya Agustien
Rinnelya Agustien Mohon Tunggu... Perawat - Pengelola TBM Pena dan Buku

seseorang yang ingin menjadi manfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar di Pelatihan Sokola (1)

10 Oktober 2017   10:19 Diperbarui: 14 Oktober 2017   12:45 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sayang rasanya bila apa yang kualami, apa yang kupikirkan, apa yang kurasakan setelah mengikuti pelatihan SOKOLA INSTITUTE 22-23 September 2017 tidak  kutulis.Semoga bermanfaat bagi yang membacanya

JETLEG DAN TEMAN BARU

Terminal kedatangan 1 B Bandara Soekarno Hatta masih sepi, saat aku keluar dari pintu kedatangan. Pesawatku landing on time jam 7 lewat 10 menit di pagi hari waktu Indonesia bagian barat. Tampak beberapa pengunjung sudah berdiri di belakang pagar pembatas menantikan sanak saudaranya keluar dari pintu kedatangan. Wajah wajah bahagia yang bertemu dengan keluarganya terpancar jelas dari wajah mereka. Rindu memang harus dibayar tuntas, mungkin itu caption yang tepat untuk menggambarkannya. Namun ada juga pengunjung yang keluar dari pintu kedatangan dengan wajah datar seperti mukaku, lha iya mau senyum sama siapa coba. Adekku hari itu kebetulan pas waktunya jaga, mama tidak mungkin kuminta tolong jemput, walhasil aku harus naik Trans BSD. 

Aku keluar dengan langkah pasti menuju counter pemesanan Trans BSD, aku disambut senyum ramah dan ucapan selamat pagi dari petugasnya. Lumayan setidaknya pagi ini ada yang memberikanku ucapan selamat pagi, tidak masalah meskipun dari orang yang tidak kukenal. Saat itu hari libur tepatnya Kamis tanggal 21 September bertepatan dengan tahun baru Islam, bisa dibilang hari kejepit karena sabtu sudah libur (bagi yang kerja senin-jumat). Pantesan harga tiket meroket tinggi, lumayan shock juga ketika melihat harga tiket PP Balikpapan Jakarta yang menembus harga lebih dari 1,2 juta dengan maskapai bergambar singa merah. Apalagi maskapai berwarna biru ya. Kalau bukan karena Sokola Institute aku berpikir ratusan kali berangkat pas hari libur dan mengambil jatah cutiku 3 hari. Beginilah nasib pekerja yang kerja 6 hari kerja.

Aku memutuskan naik Damri tidak jadi naik Trans BSD, aku baru tahu sekarang sudah ada Damri ke Tangerang, dan lucunya info tersebut aku dapatkan dari petugas Trans BSD yang sepertinya melihat keraguan di wajahku menunggu sejam bila mau naik Trans BSD. "Naik damri aja mba, kalo kelamaan nunggu" kata petugasnya. "Wah terimakasih banyak mas infonya" jawabku, aku segera menuju counter Damri setelah diberi info oleh mas nya. Aku naik Damri jurusan mall WTC Serpong. Selama perjalanan aku ketiduran, saat terbangun aku kaget karena ternyata Damrinya masuk tol karang tengah. Walah beruntung sekali diriku bisa turun di Rest Area. Lebih cepat sampai rumah.

Mama kaget melihatku turun dari ojek, "lha kamu udah sampai aja, tadi bilangnya masih di bandara" "hehehe surprise ma" jawabku ketawa. Aku pulang dulu ke rumah, sekalian makan siang gratis di rumah, sayang tidak ada oncom padahal itu kesukaanku karena di balikapapan tidak ada oncom. Pelatihan Sokola dimulai pukul 4 sore, setelah makan siang, aku segera meluncur ke stasiun pake gojek. Wah katro banget deh aku, sekarang tidak lagi menggunakan karcis dan ngantre depan loket kayak biasanya aku di stasiun UI. Sekarang pake mesin dan pake kartu, mirip di luar negeri. Untungnya masih ada petugas yang bantuin, kalau tidak aku bakalan bingung. Ini sama kagetnya ketika aku melihat penumpang bayar trans Jakarta pake kartu debit, kemudian petugasnya membawa alat gesek kartu debit. Wuiiih Cuma 3500 aja pakai gesek. Gilaa. Nah yang kayak gini ini seharusnya daerah lain meniru Jabodetabek, jangan niru macetnya, tapi mencontoh sistem transportasi publik yang berteknologi. Kebayang kalau commuterline mengelilingi Balikpapan, Samboja dan Samarinda.

Sampai di stasiun Bogor, aku melongo terkesima melihat stasiun Bogor yang beda banget . Pangling aku. Lebih tertata, lebih bersih, lebih rapi dan lebih bikin bingung. Hahaha gegara mau naik angkot nomer 3 yang seharusnya aku tidak perlu menyebrang jembatan penyebrangan, karena angkot nomer 3 melintas di depan stasiun, ini aku malah nyebrang jalan. Walhasil aku bolak balik menyusuri jembatan penyebrangan. Baru naik sebentar aku turun lagi untuk oper angkot nomer 5. Murah euy naik angkot cuma 3500 sudah sampai di depan Cico, tempat pelatihan sokola.

Liburanku kali ini berbeda. Liburan bermutu begitulah yang aku katakan ke teman temanku. Seperti mimpi bisa terpilih mengikuti pelatihan Sokola Institute. Nama Butet Manurung dan Sokola Rimba sudah tidak asing di telingaku, sejak masih kuliah di Surabaya aku sudah mengikuti kisahnya. Tidak disangka setelah ratusan purnama berlalu, aku bisa berkenalan lebih jauh dengan sokola rimba dan bertatapan langsung sepuasnya dengan kak Butet.

Kadang aku merenung betapa sebenarnya manusia adalah magnet bagi siapapun dan apapun yang dipikirkannya. Aku masih ingat buku pertama mengenai korban perang yang kubaca adalah buku catatan harian seorang anak korban perang Bosnia-Serbia. Dan aku pun masih ingat betul sebuah kata yang kutuliskan dalam buku harianku "CARE" "PEDULI" dan puluhan tahun setelah itu aku menjadi perawat, menjadi seorang yang bermisi Caring, dan kemudian sekarang menceburkan diri lebih dalam ke ranah sosial dan pendidikan.

Dan akhirnya hari itu Kamis 21 September 2017 sampailah aku di pelatihan Sokola Institute. Aku gembira luar biasa ketika dinyatakan lolos dari seleksi pelatihan pendidikan Sokola. Hampir dua tahun otakku digelayuti pertanyaan mengenai volunteering dan literacy. "Kenapa aku harus resah dengan kondisi di sekitarku ?", "kenapa aku harus melakukan semua ini, padahal tidak ada sepeser pun bayaran ?" "kenapa aku malah jauh lebih maksimal bekerjanya, dan lebih enjoy mengerjakannya padahal sejatinya ini bukan tanggung jawabku, ini urusannya bapak ibu guru ini urusan bapak ibunya ini urusan pemerintah. Seharusnya aku lebih focus ke program kehamilan, focus ke karir perawat atau karir menjadi dosen bukan sibuk dengan kegiatan seperti ini ?"

Maraknya kata literasi apalagi dengan duta bacanya mba najwa yang kece badai, membuat orang ramai berbicara kata literasi, tetapi sebenarnya apa dan bagaimana literasi bisa membantu kehidupan secara aplikatif dan secara langsung. Itu juga yang menjadi pertanyaanku selama ini.

Beruntunglah aku memiliki kebebasan waktu dan jumlah kreditan yang masih mampu ku toleransi. Karena bagaimanapun juga harus realistis, bagaimana mungkin menolong orang sementara berdiri dengan kaki sendiri saja goyah dan lemah. Aku mengamini apa yang disampaikan oleh penggerak literasi di Sulawesi, dia berkata "bila ingin menjadi seperti saya (seluruh waktunya menjadi relawan penggerak literasi) berkeluargalah dahulu kemudian harus "mampu" dulu baru lah jadi relawan". Yang kutangkap dari perkataannya penuhilah kebutuhan dirimu sendiri dulu, dan keluargamu baru menolong orang lain. Bila sebagai ayah, maka nafkah keluarga terpenuhi dulu, bila sebagai istri kebutuhan suami dan anak anak tercukupi.

Kamis sore sekitar jam 3 aku sampai di Cico dalam keadaan jetleg. Turun dari angkot aku merasa isi kepalaku goyang goyang dan mau jatuh. Kakak Sokola yang pertama kali ketemu adalah kak Indit. Beruntunglah aku datang lebih awal, jadi masih bisa istirahat dahulu. Sepertinya aku benar benar jetleg, setelah semua moda transportasi aku naiki, mulai dari pesawat, bis damri, gojek, commuterline dan angkot. Isi kepalaku kayak melorot ke bawah. Aku harus tidur pikirku. Beruntungnya aku sempat tidur sebelum acara perkenalan dimulai. Tetapi ternyata jetleg ku belum selesai hingga malam sesi perkenalan peserta.

Dalam kondisi jetleg, aku mengikuti sesi perkenalan. Karena bertemu teman teman baru, jetlegku hilang. Baru datang kembali ketika sesi perkenalan selesai. Jetleg sepertinya paham betapa seriusnya dan semangatnya aku mengikuti acara ini. Terdapat 16 peserta yang mengikuti pelatihan Sokola, yang paling jauh dari Papua, dan yang paling dekat dari Depok. Kelima belas peserta yang mengagumkan, teman sekamar ku pernah mengikuti program SM3T menjadi pengajar di Papua selama setahun, bagi saya ini sangat keren sekali. Teman sekamarku gadis Batak yang fasih bahasa Papua. Ada yang dari Tidore, dia bersama teman temannya aktif di komunitas literasi di daerah kampung bobo. 

Kemudian ada yang menjadi penggerak kesadaran lingkungan di kampungnya, temanku ini tinggal di kaki gunung dimana pabrik air kemasan lebih berkuasa atas air tanah daripada warga yang puluhan tahun hidup disitu. Kehausan di sumber air mungkin itulah kata yang tepat. Lalu ada yang pernah menjadi pengajar muda di Rote dan sekarang volunteer mengajar di kawasan Bantar Gebang. Dia bercerita bagaimana warga disana tidak menganggap sampah sebagai suatu hal yang harus dihindari, namun sampah adalah suatu hal yang menjadi hidup dan kehidupan mereka, dari sampah mereka bisa tidur dan makan. 

Lalu siapa yang bilang itu masalah ? selama mereka yang tinggal disekitarnya nyaman saja. Bingung kan ? lalu ada temanku yang datang dari kampung Inbati Timor, kampungnya itu kalau digambarkan di perbatasaan Timor Leste. Temanku ini cerita bahwa dia sedang berjuang agar tradisi adat dan budaya sukunya tidak punah, oleh karenanya dia lagi gencar melakukan pemberdayaan masyarakat. Saat berkenalan dia mengenakan selendang tenun khas Timor, duuuh cantik banget warnanya. Lalu cerita temanku lainnya yang menjadi kepala sekolah Rumpin, sekolah non formal yang ada di Kab Bogor. Seluruh peserta memang pernah dan sedang menjadi relawan pendidikan di kotanya masing masing ada yang di Jogja, Semarang, Porong Sidoarjo, Jakarta, Bandung. Yang paling menarik adalah teman yang dari Bandung yang mendirikan klub olahraga untuk anak anak geng motor, lalu peserta termuda dan paling mungil, yang ternyata anak Keperawatan UI, yang ingin buat jamban buat masyarakat Pandeglang, dan peserta terjauh yang terbang dari Agats Papua, yang mendedikasikan 1,5 tahun dalam hidupnya (mungkin seterusnya) untuk suku Asmat. Bahkan dia dengan bangganya mengatakan sudah memiliki KTP sana. Ini mah gokil banget!!.

Semua peserta saling menceritakan pengalamannya menjadi relawan pendidikan. Aku kagum dengan mereka. Mereka sangat rendah hati dan menyenangkan. Dan mereka semua tidak ada yang cuma ngomong doang, mereka semua adalah penggerak pendidikan di kotanya masing masing.

bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun