Mohon tunggu...
Rinnelya Agustien
Rinnelya Agustien Mohon Tunggu... Perawat - Pengelola TBM Pena dan Buku

seseorang yang ingin menjadi manfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar di Pelatihan Sokola (1)

10 Oktober 2017   10:19 Diperbarui: 14 Oktober 2017   12:45 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Maraknya kata literasi apalagi dengan duta bacanya mba najwa yang kece badai, membuat orang ramai berbicara kata literasi, tetapi sebenarnya apa dan bagaimana literasi bisa membantu kehidupan secara aplikatif dan secara langsung. Itu juga yang menjadi pertanyaanku selama ini.

Beruntunglah aku memiliki kebebasan waktu dan jumlah kreditan yang masih mampu ku toleransi. Karena bagaimanapun juga harus realistis, bagaimana mungkin menolong orang sementara berdiri dengan kaki sendiri saja goyah dan lemah. Aku mengamini apa yang disampaikan oleh penggerak literasi di Sulawesi, dia berkata "bila ingin menjadi seperti saya (seluruh waktunya menjadi relawan penggerak literasi) berkeluargalah dahulu kemudian harus "mampu" dulu baru lah jadi relawan". Yang kutangkap dari perkataannya penuhilah kebutuhan dirimu sendiri dulu, dan keluargamu baru menolong orang lain. Bila sebagai ayah, maka nafkah keluarga terpenuhi dulu, bila sebagai istri kebutuhan suami dan anak anak tercukupi.

Kamis sore sekitar jam 3 aku sampai di Cico dalam keadaan jetleg. Turun dari angkot aku merasa isi kepalaku goyang goyang dan mau jatuh. Kakak Sokola yang pertama kali ketemu adalah kak Indit. Beruntunglah aku datang lebih awal, jadi masih bisa istirahat dahulu. Sepertinya aku benar benar jetleg, setelah semua moda transportasi aku naiki, mulai dari pesawat, bis damri, gojek, commuterline dan angkot. Isi kepalaku kayak melorot ke bawah. Aku harus tidur pikirku. Beruntungnya aku sempat tidur sebelum acara perkenalan dimulai. Tetapi ternyata jetleg ku belum selesai hingga malam sesi perkenalan peserta.

Dalam kondisi jetleg, aku mengikuti sesi perkenalan. Karena bertemu teman teman baru, jetlegku hilang. Baru datang kembali ketika sesi perkenalan selesai. Jetleg sepertinya paham betapa seriusnya dan semangatnya aku mengikuti acara ini. Terdapat 16 peserta yang mengikuti pelatihan Sokola, yang paling jauh dari Papua, dan yang paling dekat dari Depok. Kelima belas peserta yang mengagumkan, teman sekamar ku pernah mengikuti program SM3T menjadi pengajar di Papua selama setahun, bagi saya ini sangat keren sekali. Teman sekamarku gadis Batak yang fasih bahasa Papua. Ada yang dari Tidore, dia bersama teman temannya aktif di komunitas literasi di daerah kampung bobo. 

Kemudian ada yang menjadi penggerak kesadaran lingkungan di kampungnya, temanku ini tinggal di kaki gunung dimana pabrik air kemasan lebih berkuasa atas air tanah daripada warga yang puluhan tahun hidup disitu. Kehausan di sumber air mungkin itulah kata yang tepat. Lalu ada yang pernah menjadi pengajar muda di Rote dan sekarang volunteer mengajar di kawasan Bantar Gebang. Dia bercerita bagaimana warga disana tidak menganggap sampah sebagai suatu hal yang harus dihindari, namun sampah adalah suatu hal yang menjadi hidup dan kehidupan mereka, dari sampah mereka bisa tidur dan makan. 

Lalu siapa yang bilang itu masalah ? selama mereka yang tinggal disekitarnya nyaman saja. Bingung kan ? lalu ada temanku yang datang dari kampung Inbati Timor, kampungnya itu kalau digambarkan di perbatasaan Timor Leste. Temanku ini cerita bahwa dia sedang berjuang agar tradisi adat dan budaya sukunya tidak punah, oleh karenanya dia lagi gencar melakukan pemberdayaan masyarakat. Saat berkenalan dia mengenakan selendang tenun khas Timor, duuuh cantik banget warnanya. Lalu cerita temanku lainnya yang menjadi kepala sekolah Rumpin, sekolah non formal yang ada di Kab Bogor. Seluruh peserta memang pernah dan sedang menjadi relawan pendidikan di kotanya masing masing ada yang di Jogja, Semarang, Porong Sidoarjo, Jakarta, Bandung. Yang paling menarik adalah teman yang dari Bandung yang mendirikan klub olahraga untuk anak anak geng motor, lalu peserta termuda dan paling mungil, yang ternyata anak Keperawatan UI, yang ingin buat jamban buat masyarakat Pandeglang, dan peserta terjauh yang terbang dari Agats Papua, yang mendedikasikan 1,5 tahun dalam hidupnya (mungkin seterusnya) untuk suku Asmat. Bahkan dia dengan bangganya mengatakan sudah memiliki KTP sana. Ini mah gokil banget!!.

Semua peserta saling menceritakan pengalamannya menjadi relawan pendidikan. Aku kagum dengan mereka. Mereka sangat rendah hati dan menyenangkan. Dan mereka semua tidak ada yang cuma ngomong doang, mereka semua adalah penggerak pendidikan di kotanya masing masing.

bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun