Jumat 4 November 2016
"gimana jadi gak ?"
" jadi dong "
"mulai jam berapa kita"
"jam 8 ya"
"okey siip laksanakan"
Sabtu 5 November 2016, jam 8 malam
Alunan musik sudah terdengar hingga di lahan parkir, aku bergegas menghampiri kios "pena dan buku", takut ketinggalan acaranya. Ternyata belum dimulai, syukurlah.
Tampak di dalam kios "pena dan buku", Mabrur sudah bersiap dengan gitarnya, Kakim dengan saksofonnya dan Abi di vokal. Lantunan lagu yang sudah tidak asing lagi di telingaku, entah sudah berapa kali aku mendengar mabrur mengcover lagunya Sinyo IMJ (Institut Musik Jalanan). Tiada bosannya ia dengan lagu itu. Aku sampai hapal dibuatnya
Malam itu dia mengulangi lagu itu untuk kesekian puluh kalinya, lagu penjaga cinta mengalun syahdu diiringi deburan ombak. "karena ku yakin kita tak mungkin bersama, setidaknya aku telah menjagamu cinta. Namun kuberharap kita kan slalu bersama, ingatlah aku pernah menjagamu cinta" . Lirik reff yang menyayat hati, yang disukai para pecinta yang hatinya terluka. Pertama kali ku tonton video klip penjaga cinta, air mata ku menetes. Ahh.. betapa cinta itu luas, melebihi dari namanya. Cinta itu milik semua orang, mencintai adalah fitrah manusia dicintai adalah anugrah yang indah.
Kios "pena dan buku" yang malam itu kebagian menjadi tempat penyelenggaraan gelaran seni merupakan pendatang baru di pasar klandasan. Kios ini baru buka akhir Oktober kemarin. Seperti namanya, fokus kios ini adalah buku dan buku. Kios ini menjual dan membeli buku bekas. Selain itu menurut empunyanya, kios ini juga bisa difungsikan sebagai ruang baca bagi warga pasar dan sekitarnya, juga sebagai tempat penitipan buku. Apa itu maksudnya tempat penitipan buku? Di rumah pasti ada buku buku yang sudah lagi tidak kita baca bahkan banyak yang hanya menjadi hiasan lemari, daripada sia sia informasi yang ada di dalam buku itu, lebih baik kita jodohkan dengan pembaca baru buku itu. Begitu penjelasan dari empunya kios "pena dan buku". Hmm.. benar juga di rumahku banyak sekali buku yang tidak aku baca lagi, sungguh aku begitu pelit tidak mau berbagi dengan yang lain. Besoknya aku membawa puluhan bukuku untuk dititipkan ke kios "pena dan buku".Â
Gelaran seni malam itu berjudul "Lorong Pasar", sebuah acara sederhana penuh makna yang diinisiasi oleh Abi pemilik kopi sahabat dan Ambar gadis baik hati penggiat literasi. Â Ada sekitar 15 orang yang hadir, setiap yang hadir bergantian membacakan karya seni entah itu puisi ciptaannya atau puisi dari penyair idolanya, membacakan monolog, atau mendendangkan sebuah lagu. Malam itu ditemani dengan suara deburan ombak, kami khusyuk menyimak bait demi bait yang dilantunkan.
Kehidupan modern memang menjauhkan kita dari akar budaya kita. Mulai dari makanan yang dimasak tidak lagi dengan rempah rempah negeri ini tapi cukup dengan saos saos keju ala barat. Minuman yang diseduh layaknya puyer untuk bayi. Semua berbentuk serbuk, instant dan praktis. Inilah yang terjadi saat ini, ada jurang yang terlalu dalam dan jauh antara yang punya banyak akses dan uang, dengan yang minim akses dan modal.Â
Di setiap kota identik dengan ramainya pembangunan ruko, katanya bisa untuk investasi masa depan. Investasi untuk dirinya sendiri, tapi tidak mengindahkan kondisi sekitar. Di Balikpapan, sudah kejadian pembangunan ruko yang menyebabkan jalan menjadi ambles. Egois. Ruko hanya bisa diakses oleh pedagang yang punya modal besar, lalu bagaimana yang minim modal. Sama seperti halnya supermarket yang hanya bisa ditembus oleh pemilik kebun yang lahannya puluhan hektar, lalu bagaimana dengan pemiliki kebun rumahan yang ingin menjual hasil kebunnya demi membeli seragam anaknya.Â
Sebuah daerah bisa maju dan ramai bukankah dimulai dari sebuah area dimana ada transaksi jual beli, yaitu pasar. Saling mencari dan memenuhi kebutuhan hidup. Yang punya kebun menjual hasil kebunnya kepada pemilik tambak, yang satu menjual sayur dan buahnya untuk membeli ikan, yang satu menjual ikannya untuk membeli sayur.Â
Pasar tradisional semakin dilupakan, semakin ketinggalan, semakin terpinggirkan. Padahal di pasarlah roda perekonomian sebuah kota selalu berputar.Ironi.
Di lorong pasar klandasan malam itu, mereka melawan dalam lantunan puisi syahdu, mereka menyuarakan ketimpangan dalam dendangan lagu, mereka berpendapat dalam sebuah monolog berisikan pemikiran nyata. Mereka bergerak dan terus bergerak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H