Mohon tunggu...
Rinnelya Agustien
Rinnelya Agustien Mohon Tunggu... Perawat - Pengelola TBM Pena dan Buku

seseorang yang ingin menjadi manfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lorong Pasar Klandasan Balikpapan

8 November 2016   12:40 Diperbarui: 8 November 2016   13:04 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mabrur di gitar, abi di vokal sekaligus penabuh kursi, kakim peniup saxophone

Jumat 4 November 2016

"gimana jadi gak ?"

" jadi dong "

"mulai jam berapa kita"

"jam 8 ya"

"okey siip laksanakan"

Sabtu 5 November 2016, jam 8 malam

Alunan musik sudah terdengar hingga di lahan parkir, aku bergegas menghampiri kios "pena dan buku", takut ketinggalan acaranya. Ternyata belum dimulai, syukurlah.

Tampak di dalam kios "pena dan buku", Mabrur sudah bersiap dengan gitarnya, Kakim dengan saksofonnya dan Abi di vokal. Lantunan lagu yang sudah tidak asing lagi di telingaku, entah sudah berapa kali aku mendengar mabrur mengcover lagunya Sinyo IMJ (Institut Musik Jalanan). Tiada bosannya ia dengan lagu itu. Aku sampai hapal dibuatnya

Malam itu dia mengulangi lagu itu untuk kesekian puluh kalinya, lagu penjaga cinta mengalun syahdu diiringi deburan ombak. "karena ku yakin kita tak mungkin bersama, setidaknya aku telah menjagamu cinta. Namun kuberharap kita kan slalu bersama, ingatlah aku pernah menjagamu cinta" . Lirik reff yang menyayat hati, yang disukai para pecinta yang hatinya terluka. Pertama kali ku tonton video klip penjaga cinta, air mata ku menetes. Ahh.. betapa cinta itu luas, melebihi dari namanya. Cinta itu milik semua orang, mencintai adalah fitrah manusia dicintai adalah anugrah yang indah.

rara sedang membacakan puisi diiringi petikan gitar yang dimainkan oleh kakim
rara sedang membacakan puisi diiringi petikan gitar yang dimainkan oleh kakim
Malam itu lorong antara kios "pena dan buku" dan "kopi sahabat" mendadak riuh dan ramai. Sekitar 15 orang duduk di sepanjang koridor, menyaksikan gelaran seni yang mengambil tempat di kios "pena dan buku". Kedua kios ini bersebelahan, tetangga dekat yang selalu akur. Bila sedang di Balikpapan, mampirlah sebentar ke kedua kios ini. Letaknya di bekas kebakaran, begitu kata orang balikpapan memberi ancer ancernya. Letak kedua kios tersebut di dekat parkiran yang selalu becek bila hujan, kios "pena dan buku" beralamat I 123 dan I 124. Di depan kios "pena dan buku" ada warung makan jualan ayam lalapan, dan kios kosmetik menjual beraneka macam lipstik, bedak hingga jamu kuat.  Di sebelah kanan ada kios kopi sahabat, warna kiosnya kuning patah hati. Ku sebut demikian karena suasana di kios itu begitu temaram, dengan lampu lampu kuning 5 watt dan goresan hitam di beberapa bagian. Bila sedang patah hati dan kamu ada di Balikpapan, mampirlah ke kopi sahabat. Pesan segelas espresso. Rasakan pahitnya, dan kamu segera tersadar bahwa pahitan kopi dari hidupmu. Ah sudahlah kenapa jadi melantur kata kataku.

Kios "pena dan buku" yang malam itu kebagian menjadi tempat penyelenggaraan gelaran seni merupakan pendatang baru di pasar klandasan. Kios ini baru buka akhir Oktober kemarin. Seperti namanya, fokus kios ini adalah buku dan buku. Kios ini menjual dan membeli buku bekas. Selain itu menurut empunyanya, kios ini juga bisa difungsikan sebagai ruang baca bagi warga pasar dan sekitarnya, juga sebagai tempat penitipan buku. Apa itu maksudnya tempat penitipan buku? Di rumah pasti ada buku buku yang sudah lagi tidak kita baca bahkan banyak yang hanya menjadi hiasan lemari, daripada sia sia informasi yang ada di dalam buku itu, lebih baik kita jodohkan dengan pembaca baru buku itu. Begitu penjelasan dari empunya kios "pena dan buku". Hmm.. benar juga di rumahku banyak sekali buku yang tidak aku baca lagi, sungguh aku begitu pelit tidak mau berbagi dengan yang lain. Besoknya aku membawa puluhan bukuku untuk dititipkan ke kios "pena dan buku". 

Gelaran seni malam itu berjudul "Lorong Pasar", sebuah acara sederhana penuh makna yang diinisiasi oleh Abi pemilik kopi sahabat dan Ambar gadis baik hati penggiat literasi.  Ada sekitar 15 orang yang hadir, setiap yang hadir bergantian membacakan karya seni entah itu puisi ciptaannya atau puisi dari penyair idolanya, membacakan monolog, atau mendendangkan sebuah lagu. Malam itu ditemani dengan suara deburan ombak, kami khusyuk menyimak bait demi bait yang dilantunkan.

Ambar membacakan puisi di malam seni lorong pasar klandasan
Ambar membacakan puisi di malam seni lorong pasar klandasan
Monolog Abi malam itu bercerita kegelisahannya mengenai bangunan mall yang satu persatu berdiri di Balikpapan, kokoh di lahan reklamasi  tanpa peduli dengan kondisi tetangga sebelahnya yaitu pasar tradisional klandasan, mengenai anak muda modern yang hidup dari gadgetnya. Hidup untuk gadget, gadget untuk hidup. 

Kehidupan modern memang menjauhkan kita dari akar budaya kita. Mulai dari makanan yang dimasak tidak lagi dengan rempah rempah negeri ini tapi cukup dengan saos saos keju ala barat. Minuman yang diseduh layaknya puyer untuk bayi. Semua berbentuk serbuk, instant dan praktis. Inilah yang terjadi saat ini, ada jurang yang terlalu dalam dan jauh antara yang punya banyak akses dan uang, dengan yang minim akses dan modal. 

Di setiap kota identik dengan ramainya pembangunan ruko, katanya bisa untuk investasi masa depan. Investasi untuk dirinya sendiri, tapi tidak mengindahkan kondisi sekitar. Di Balikpapan, sudah kejadian pembangunan ruko yang menyebabkan jalan menjadi ambles. Egois. Ruko hanya bisa diakses oleh pedagang yang punya modal besar, lalu bagaimana yang minim modal. Sama seperti halnya supermarket yang hanya bisa ditembus oleh pemilik kebun yang lahannya puluhan hektar, lalu bagaimana dengan pemiliki kebun rumahan yang ingin menjual hasil kebunnya demi membeli seragam anaknya. 

Sebuah daerah bisa maju dan ramai bukankah dimulai dari sebuah area dimana ada transaksi jual beli, yaitu pasar. Saling mencari dan memenuhi kebutuhan hidup. Yang punya kebun menjual hasil kebunnya kepada pemilik tambak, yang satu menjual sayur dan buahnya untuk membeli ikan, yang satu menjual ikannya untuk membeli sayur. 

Pasar tradisional semakin dilupakan, semakin ketinggalan, semakin terpinggirkan. Padahal di pasarlah roda perekonomian sebuah kota selalu berputar.Ironi.

Di lorong pasar klandasan malam itu, mereka melawan dalam lantunan puisi syahdu, mereka menyuarakan ketimpangan dalam dendangan lagu, mereka berpendapat dalam sebuah monolog berisikan pemikiran nyata. Mereka bergerak dan terus bergerak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun