Transformasi Psikologis Konsumen
Krisis akan memberikan dampak psikologis yang nyata. Hal tersebut dikarenakan rasa ketakutan tertular COVID-19 dan kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi mereka. Masyarakat akan berusaha melindungi diri dari penularan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Panic buying adalah salah satu contoh perilaku yang muncul akibat ketakutan dan kekhawatiran tersebut.
Berbagai transformasi psikologis, diantaranya adalah peningkatan sensitivitas harga yang diakibatkan oleh keresahan ekonomi. Sebesar 46% konsumen AS dan 28% konsumen Cina mengatakan mereka berencana untuk mengurangi pengeluaran dalam beberapa minggu mendatang. Contoh lainnya adalah social distancing dan stay at home yang akan mendorong peningkatan keterlibatan digital.Â
Selama di rumah, masyarakat akan menggunakan berbagai teknologi digital untuk memenuhi kebutuhan, menjalankan kewajiban, bersosialisasi, hingga hiburan.
Krisis akan memberikan bekas bahkan trauma psikologis yang menetap pada masyarakat. Misalnya ketika krisis mengakibatkan mereka tidak dapat mengambil uang mereka di bank. Hal itu akan memberikan dampak psikologis berupa ketidakpercayaan dengan bank.
 Begitu juga dengan kebiasaan berada di rumah, peningkatan kesadaran pada kesehatan dan kebersihan, peningkatan penggunaan teknologi, dan kebiasaan berhemat selama pandemi akan dipertahankan setelah pandemi ini selesai. Itulah adalah perubahan-perubahan yang terjadi dan bisa dijawab.
Banyak perubahan psikologis yang masih perlu dipelajari dan dijawab. Misalnya, apakah akibat stres, tekanan mental yang terjadi, dan ketidakpastian akan meningkatkan permintaan untuk produk dan jasa yang memberikan kenyamanan? Apakah masyarakat akan memilih untuk menabung akibat pengalaman krisis atau sebaliknya membelanjakan uang untuk kenyamanan sebagai respon atas tekanan krisis?
Penurunan Pendapatan Konsumen
Â
Pandemi COVID-19 telah mengakibatkan krisis global di seluruh negeri. Sebagian masyarakat mengalami penurunan pendapatan. Banyaknya penurunan pendapatan berbeda-beda antar negara. Â
Negara-negara yang mengalami keparahan penurunan pendapatan adalah Brazil, Afrika Selatan, dan India. Bahkan di negara Cina, dimana masyarakat sudah kembali bekerja, pendapatan masih mengalami penurunan hingga 57%. Penghasilan konsumen yang lebih stabil terjadi di Jepang dan Jerman. Survei dilakukan antara 15 Maret sampai dengan 3 Mei.
Jerman menjadi negara yang terbaik dalam mengatasi kondisi ekonomi. Kita bisa belajar dari Jerman. Di Jerman, Penduduk yang terdampak COVID-19 tidak perlu membayar sewa. Mengusir masyarakat dari rumah adalah tindakan ilegal.Â
Masyarakat bisa membayar uang sewa kembali di tahun 2022 setelah kondisi membaik. Masyarakat juga tidak perlu membayar pajak. Berbagai kewajiban pembayaran ke pemerintah juga bisa ditunda hingga tahun depan. Jerman telah menganggarkan 50 miliar euro untuk membantu warga atau perusahaan yang kesulitan.
 Untuk perusahaan kecil, pemerintah akan membantu membayar gaji karyawan hingga 70% dan memberi bantuan hingga 30.000 euro untuk bertahan selama pandemi. Sedangkan untuk perusahaan besar, pemerintah menganggarkan 600 miliar euro sebagai bentuk pinjaman kepada perusahaan besar yang membutuhkan. Jerman telah membelanjakan 60% PDBnya untuk pemulihan ekonomi.
Perilaku Konsumen Di Indonesia
Penelitian McKinsey & Company menunjukkan bahwa 48% konsumen telah mencoba atau mengganti tempat belanja mereka. Sekitar 60% konsumen mengganti tempat belanja mereka dengan alasan lebih dekat dari rumah. Namun, 98% konsumen berencana kembali ke brand yang biasa mereka gunakan.
Ketika ditanya, "Apa faktor yang paling penting untuk menciptakan pengalaman belanja di toko selama wabah COVID-19?" Pertama, 62% konsumen mengatakan ketersediaan produk. Oleh karena itu, hal yang harus Anda lakukan adalah memastikan rantai pasokan terpenuhi sehingga produksi tidak terhambat dan Anda mampu menghadirkan produk dengan lebih lengkap.Â
Kedua, 59% konsumen mengatakan ketersediaan layanan higiene untuk digunakan konsumen di dalam toko. Dalam hal ini penting bagi Anda untuk memastikan ketersediaan berbagai kebutuhan kebersihan mulai fasilitas cuci tangan, hand sanitizer, pelayanan kebersihan, sarung tangan untuk karyawan, hingga menginformasikan standar kebersihan yang telah dilakukan kepada pelanggan.
Penelitian tersebut juga menunjukkan pentingnya low touch activity, dimana 31% konsumen mengatakan dapat berbelanja di toko tanpa berinteraksi dengan staf. Ini adalah bagian dari low touch service, banyak business process bahkan business model yang harus berubah dalam rangka meminimalisir proses interaksi pada upaya menghasilkan dan menyampaikan produk atau jasa ke konsumen.Â
Penggunaan berbagai teknologi digital bisa menjadi alternatif. Kemudian hal yang tidak kalah penting adalah praktek kebersihan. Dimana 30% konsumen mengatakan staf toko menunjukkan praktik kebersihan.Â
Secara praktis, data ini bisa menjadi rujukan akan pentingnya kita melatih staf untuk benar-benar mempraktikan kebersihan dan berbagai upaya pencegahan infeksi. Beberapa hal pendukung lainnya diantaranya, harga yang tetap terjangkau, komunikasi transparan tentang perubahan apa yang toko sediakan, komunikasi proaktif tentang kebijakan pembersihan toko, promosi, ketersediaan private brand, dan adanya bantuan dari staf toko.
Kecemasan Ekonomi Masyarakat Indonesia
Â
Selain itu, 26% sangat setuju, 27% setuju, dan 21% agak setuju bahwa mereka khawatir dengan pendapatan keluarga mereka akan terdampak situasi COVID-19 sampai pada tingkat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhannya.Â
Hal ini menggambarkan dan menunjukkan kekhawatiran masyarakat pada kondisi ekonomi mereka. 14% sangat setuju, 26% setuju, dan 25% agak setuju bahwa mereka berencana untuk membatalkan sesuatu yang mereka rencanakan untuk beli karena ketidakpastian dari COVID-19.
 Penelitian tersebut menunjukkan sebagian besar masyarakat takut untuk berbelanja keluar, khawatir pada kondisi ekonomi keluarganya, dan membatalkan pembelian barang yang mereka rencanakan.
Dalam situasi The Next Normal, memahami perilaku ekonomi menjadi sangat penting dan berharga sekali. Apapun posisi dan pekerjaan kita, baik pemerintah, sektor swasta, dan sektor non profit harus mempelajari perubahan psikologi ini. Terlebih lagi perusahaan, sangat perlu melacak perubahan psikologi konsumen dalam rangka menavigasi perusahaan dengan tepat pada kondisi The Next Normal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H