Mohon tunggu...
Gamal Albinsaid
Gamal Albinsaid Mohon Tunggu... Dokter - Wirausaha Sosial dan Inovator Kesehatan

Wirausaha Sosial dan Inovator Kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Belajar dari Pandemi Tahun 1918-1919

18 Juni 2020   16:03 Diperbarui: 18 Juni 2020   16:09 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi influenza pada tahun 1918-1919 adalah salah satu bencana manusia yang paling mematikan dalam sejarah peradaban manusia. Pada saat itu, diperkirakan sekitar 40 juta orang meninggal di seluruh dunia dan 550.000 diantaranya adalah penduduk Amerika Serikat.    Pertanyaannya kemudian adalah pelajaran apa yang bisa kita ambil dari pandemi 1918-1919 dalam rangka memaksimalkan upaya penanganan pandemi covid-19 saat ini. Kita bisa belajar dari penelitian yang dilakukan oleh Markel H. et al. dengan judul nonpharmaceutical interventions implemented by us cities during the 1918-1919 influenza pandemic. 

Pada bagian ini saya akan mereview berbagai temuan-temuan, hasil, dan kesimpulan dari penelitian tersebut. Penelitian ini menilai intervensi non farmakologi yang telah diterapkan di 43 kota di Amerika Serikat sejak 8 september 1918 hingga 22 februari 1919. Periode penelitian ini telah mencakup pandemi dari semua gelombang kedua (september-desember 1918) dan 2 bulan pertama dari pandemi gelombang ketiga (januari-april 1919). Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk menentukan apakah variasi kematian antar kota berhubungan dengan waktu, durasi, dan kombinasi dari intervensi non farmakologi. Intervensi non farmakologi dikelompokkan ke dalam 3 kategori utama, yaitu penutupan sekolah, larangan pertemuan publik, isolasi dan karantina.

Hubungan antara public health response time dengan excess death rate

Gambaran penyebaran pada gambar 1a, gambar 1b, dan gambar 1c menunjukkan hubungan antara PHRT (public health response time) dan 3 variabel dependen.

Gambar 1a menunjukkan hubungan antara phrt (public health response time) dalam hari dan waktu untuk puncak pertama edr (excess death rate), kota yang menerapkan intervensi non farmakologi lebih awal memiliki penundaan lebih besar dalam mencapai puncak kematian.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Gambar 1b juga menunjukkan hubungan antara phrt (public health response time) dan besarnya puncak pertama edr (excess death rate), kota yang menerapkan intervensi non farmakologi lebih awal memiliki tingkat puncak kematian lebih rendah.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Gambar 1c menggambarkan hubungan antara phrt (public health response time) & beban total kematian, kota yang mengimplementasikan intervensi non farmakologi lebih awal mengalami total kematian lebih rendah. terdapat hubungan yang signifikan secara statistik.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Gambar 1c dan 1d menunjukkan hubungan antara penerapan intervensi non farmakologi awal, berkelanjutan, dan berlapis dan total kelebihan jumlah pneumonia dan influenza di 43 kota. gambar 1d menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik antara peningkatan durasi intervensi non farmakologi dan penurunan beban kematian total.

Pentingnya penerapan intervensi non farmakologis sejak awal dan berkelanjutan.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Gambar di atas menampilkan kurva mortalitas 4 kota khusus, termasuk EDR excess death rate) setiap pekan, intervensi non farmakologi yang diimplementasikan beserta tanggal aktivasi dan deaktivasinya untuk ST. Louis, New York City, Denver, dan Pittsburgh. Secara keseluruhan, kota-kota yang menerapkan intervensi non farmakologi lebih dini mengalami penundaan terkait pada waktu ke puncak kematian, pengurangan pada besarnya puncak kematian, dan penurunan pada beban total kematian.

Intervensi non farmakologi merupakan penyebab perbedaan edr (excess death rate) pekanan di kota-kota tersebut. secara spesifik, kombinasi intervensi non farmakologi termasuk penutupan sekolah dan larangan pengumpulan massa memiliki hubungan paling signifikan dengan EDR (excess death rate) pekanan.

Pemahaman dan temuan pertumbuhan eksponensial dari pandemi influenza memberikan asumsi bahwa waktu intervensi merupakan faktor terpenting. Pemahaman tersebut sesuai dengan realitas biologis yang ditemukan pada pandemi Tahun 1918, dimana PHRT (public health response time) merupakan faktor penting dalam keberhasilan penerapan intervensi non farmakologi.

Belajar dari New York City pada pandemi 1918-1919

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

 Intervensi terlambat, terlepas dari durasi, hampir selalu berkaitan dengan hasil yang lebih buruk. namun, waktu saja tidak secara konsisten berkaitan dengan keberhasilan. kombinasi & pilihan intervensi non farmakologi juga penting seperti yang dikonfirmasi model multivariat.

 PHRT (public health response time) NYC adalah 11 hari dan edr (excess death rate) adalah 0/100000 populasi pada saat pelaksanaan intervensi non farmakologi. NYC merespon kasus influenza pertamanya dan tingkat keparahan epidemi di kota-kota sekitarnya tanpa menunggu tingginya angka kematian oleh karena itu, intervensi non farmakologis harus dimulai sedini mungkin.

Sebagai contoh, new york city bereaksi paling awal terhadap pandemi influenza, terutama dengan menerapkan prosedur karantina dan isolasi wajib yang terus berlanjut (10 pekan mulai 19 september 1918) dan ketat, bersamaan dengan peraturan jam kerja yang bergiliran mulai dari 5 oktober hingga 3 november 1918. selama pandemi ini, departemen kesehatan new york city terkenal secara internasional karena kebijakannya yang inovatif dari kewajiban pelaporan kasus dan prosedur isolasi dan karantina yang ditegakkan dengan keras.

Di new york city, orang dengan diagnosis influenza diisolasi di rumah sakit atau fasilitas darurat, sedangkan yang diduga memiliki kontak dengan orang yang sakit dikarantina di rumah mereka dengan plakat resmi yang menyatakan bahwa lokasi harus di karantina. New York City memasang respon awal & berkelanjutan terhadap epidemi & mengalami tingkat kematian terendah di pesisir timur, namun tidak melakukan respon berlapis. Beban kematian kumulatif New York City, 452/100.000, berada di peringkat 15 dari 43 kota yang diteliti.

Belajar dari Pittsburgh

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Sebaliknya, Pittsburgh, dibawah perintah departemen kesehatan Pennsylvania, menerapkan larangan pengumpulan massa pada 4 Oktober 1918. Tetapi pejabat kota menunda hingga 24 Oktober sebelum melaksanakan penutupan sekolah. Seminggu kemudian, pada 2 November, negara bagian menghapuskan larangan pengumpulan massa. Kota menerapkan intervensi non farmakologi terlambat dan terpisah. Beban kematian kumulatif pittsburgh (edr 807/100.000) peringkat 43 dari 43 kota selama periode penelitian.

Belajar dari St. Louis

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Kota-kota yang bertindak tepat waktu & secara komprehensif tampak mendapat manfaat paling besar dalam pengurangan total edr (excess death rate). Misalnya, St. Louis yang menerapkan strategi intervensi non farmakologi awal, strategi berlapis (penutupan sekolah & pembatalan pertemuan publik), & mempertahankannya sekitar 10 minggu, tidak mengalami wabah yang hampir merusak seperti 36 komunitas lain dalam penelitian ini.

Belajar dari Denver

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Pengalaman 1918 menunjukkan bahwa intervensi non farmakologi yang berkelanjutan sangat bermanfaat & harus aktif selama puncak pandemi di wilayah tersebut. Puncak gelombang kedua sering mengikuti serangkaian aktivasi, deaktivasi, dan reaktivasi dari intervensi non farmakologi. Hal ini dikarenakan intervensi non farmakologi memiliki sifat protektif sementara dan membutuhkan respon yang berkelanjutan.

Misalnya, Denver (edr = 631/100.000 populasi) merespon dua kali dengan intervensi non farmakologi yang lebih panjang, termasuk larangan pengumpulan massa, penutupan sekolah, isolasi & karantina, & intervensi tambahan. Tindakan ini tercermin sementara pada 2 puncak kurva mortalitas. Kota dengan dua puncak, aktivasi intervensi non farmakologi diikuti oleh penurunan kematian, dan, biasanya, ketika intervensi non farmakologi dinonaktifkan, tingkat kematian meningkat.

Hasil dan Kesimpulan

Penelitian itu menunjukkan berbagai upaya intervensi non farmakologi berupa jaga jarak sosial berperan dalam menunda puncak mortalitas (kematian), menurunkan tingkat puncak mortalitas (kematian), dan menurunkan total kematian. Hasil dari penelitian itu juga menunjukkan bahwa kota-kota yang menerapkan intervensi non farmakologi lebih awal dapat menunda puncak kematian lebih lama, tingkat kematian puncak yang lebih rendah, dan total kematian yang lebih rendah. Terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara peningkatan durasi intervensi non farmakologi dan penurunan total kematian.

Penelitian iini menyimpulkan bahwa temuan-temuan ini menunjukkan hubungan yang kuat antara penerapan intervensi non farmakologi awal, berkelanjutan, dan berlapis dengan mitigasi konsekuensi dari pandemi influenza 1918-1919 di Amerika Serikat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun