Film "The Rules of the World" yang dikemukakan oleh John Pilger ini sangat menarik dan perlu ditonton terkhususnya kalangan akademisi dan mahasiswa hubungan internasional . film ini tidak hanya menceritakan sejarah kelam yang kemudian mengantarkan perusahaan multinasional ini hadir di tengah masyarakat kita, dalam hal ini Indonesia.Â
Tetapi beliau juga menjelaskan hiruk pikuk keadaan masyarakat di tengah kehadiran perusahaan multinasional ini yang dirasakan oleh masyarakat hulu hilir Indonesia.
Secara tidak sadar, produk-produk yang kita kenakan dalam kehidupan sehari-hari misalnya merk Nike, GAP, Reebook, yang secara normatif kita tidak tahu bahwa dibalik produk branded yang kita kenakan itu, ternyata telah melewati proses yang tidak mudah dan mengeluarkan tetesan keringat yang keluar dari para buruh dalam memproduksi barang tersebut sehingga saat ini kita dengan mudah mengenakan barang branded dengan merk diatas.Â
Buruh yang dipekerjakan seperti layaknya mesin yang tanpa henti beroperasi, dengan jam kerja yang tidak mengenai jeda, bekerja kebut dan harus terselesaikan dengan acuan dadakan ekspor dan permasalahan terbesar adalah upah buruh yang kecil.Â
Perlindungan buruh yang gemar dikampanyekan oleh perusahaan multinasional ini sebagai kode etik mereka. Dalam kenyataannya kode etik tersebut tidak berlaku di republik ini, bahkan buruh perusahaan pun tidak mengetahui aturan perusahaan yang ia dedikasikan.Â
Ketika organisasi buruh menuntut atas substansi keadilan yang dibawa, justru tidak mendapat respon baik dari pemerintah. Aparat kepolisisan yang kemudian menindaklanjuti aksi organisasi buruh tersebut.Â
Perusahaan multinasional pun semakin leluasa untuk bertingkah sesuai keinginan dan kalkulasi kapitalisnya. Kondisi masyarakat kita yang mau tidak mau harus bekerja sebagai buruh perusahaan karena dilatarbelakangi perekonomian rumah tangga yang tidak terpenuhi.
 Menurut mereka, bekerja adalah usaha yang dilakukan untuk memperoleh uang yang kemudian dapat menghidupi kehidupan mereka. Bekerja sebagai buruh perusahaan adalah salah satu solusi dari pada harus menganggur. Mereka bekerja dengan instruksi perusahaan dan tidak ingin menentang kebijakannya karena ketakutan akan ancaman hukuman.Â
Permasalahan di atas hadir dari globalisasi yang mengantarkan kita pada ruang dunia yang Borderless, Negara maju mulai berotoritas di negara kita. Indonesia, seolah negeri ini adalah negaranya.Â
Sebagai hasilnya perusahaan negaranya yang berinverstasi di Indonesia. Masuknya perusahaan multinasional ini dapat dikatakan sebagai produk globalisasi. Ketidakberdayaan akan sumber daya alam di negara maju membuat ambisi besar dan menargetkan negara dunia ketiga untuk dikeruk hasil buminya dengan teknologi canggih yang mereka miliki, dalam hal ini Indonesia.Â
Globalisasi yang hadir di Indonesia di mulai dari rezim Soeharto dengan model kepemimpinan diktaktornya. Di dalam film ini dijelaskan bahwa Soeharto disponsori oleh Amerika Serikat dan Inggris, di mana kedua negara ini mulai membantu presiden Soeharto dalam mengeluarkan kebijakan nya dan membuat model perekonomian layaknya seperti Amerika Serikat.Â
Indonesia dibawah kepemimpinan Soeharto, melakukan investasi besar-besaran dengan membuka pintu yang selebar-lebarnya untuk para investor masuk dan sifatnya yang diktaktor terhadap masyarakat. Kapitalisasi hadir untuk memayungi para pemilik modal untuk mengulik sumber daya Indonesia.Â
Buruh pun akan selalu menjadi budak perusahaan dan harus merasakan ketidakadilan yang mereka rasakan terhadap tingkah perusahan. Perusahaan tidak hanya sebatas memperbudak buruh, tetapi juga resiko lingkungan akibat operasi produksinya pun tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Akhirnya lagi dan lagi masyarakatlah yang harus menanggung resikonya. Kuasa dipegang oleh pemilik modal negara maju, negara kaya akan semakin kaya sedangkan negara miskin akan semakin miskin. Inilah olah pikir dari globalisasi, menjadi budak di negeri sendiri, Indonesia.
Prespektif Analisis: Dapat kita ketahui bahwa sejatinya di samping dari produk branded yang sering kita pakai tersebut, ternyata dalam proses produksinya sangat panjang dan tidak mudah. Kita hanya sebagai konsumen dan penikmat komoditas tersebut hampir tidak memerdulikan bahwa terdapat tetesan keringat para buruh dalam memproduksi barang tersebut.Â
Dengan upah yang tidak selaras diberikan pada mereka, ketidakadaan jaminan keselamatan kerja yang mereka dapatkan, mereka yang dipekerjakan layaknya mesin teknologi kerja yang tanpa henti terus  bekerja 24 jam sebagaimana tuntutan perusahaan pada mereka. Hal inilah yang mereka rasakan sebagai buruh, di mana mereka harus tetap bekerja untuk perekonomian rumah tangga mereka.Â
Bekerja sebagai buruh adalah pilihan terbaik mereka dari pada harus menganggur. Dibalik pilihan mereka yang terbilang sulit ini, lagi dan lagi mereka harus tereksploitasi oleh pihak kapitalis dalam hal ini pemilik modal. Di mana mereka selalu mengampanyekan bahwa kehadiran mereka akan sangat membantu kesejahteraan masyarakat dengan mengurangi angka pengangguran dan tingkat kriminalitas. Akan tetapi hal ini tidaklah demikian.
melalui prespektif marxisme yang dipopulerkan oleh Karl Marx, di mana teori ini lahir dari kapitalisasi yang hadir. Dunia permodalan yang merajai dunia dan mampu menindas kaum di bawahnya. Marx berangkat dari kritiknya terhadap kapitalisme yang kemudian menghadirkan ketimpangan di tengah masyarakat.Â
Di mana hadirnya perusahaan tersebut mampu mengeksploitasi manusia dalam hal ini dapat kita katakan deskriminasi terhadap buruh. Disepanjang siklus tersebut hadirlah perbedaan kelas atas tindakan eksploitasi tersebut.Â
Di mana negara digerakkan oleh kepentingan kaum borjuis kapitalisme yang ekspansif, dan terciptanya pembangunan yang tidak seimbang atas prakasa kaum kapital. Dalam hubungannya dengan kasus ini, sangat terlihat bahwa kaum buruh yang tidak diperlakukan layaknya manusia pada umumnya. hal demikian tidak berhenti sampai disitu, tetapi kaum kapital mamangkas habis kehidupan buruh.Â
Kasus ini tidak hanya sebatas masalah buruh pribadi saja, akan tetapi juga berkembang pada aspek sosial dan budaya masyarakat buruh. Para pemilik modal dalam hal ini perusahaan, tidaklah memperhatikan lingkungan daerah sekitar mereka beroperasi. Padahal sesungguhnya itu merupakan tanggungjawab dari suatu perusahaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H