Mohon tunggu...
Fizzahrah Fizzahrah
Fizzahrah Fizzahrah Mohon Tunggu... -

Inisiatif warganegara merupakan sebuah bentuk kepedulian terhadap keterlibatan individu dalam kapasitasnya sebagai warganegara yang mencakup isu - isu kesadaran hukum, Hak Asasi Manusia dan demokrasi, kebijakan publik, dan kewarganegaraan (termasuk kewarganegaraan ganda). Inisiatifwarganegara juga bisa di temukan di www.ppkgindonesia.org

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Suatu Hari di Kantor Pemerintah

20 Februari 2012   11:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:25 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13297458602000762149

[caption id="attachment_172370" align="aligncenter" width="640" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption] Seperti di ceritakan oleh pelaku dengan olah bahasa yang di sesuaikan. Seorang Ibu dengan anak berusia hampir dua tahun datang ke kantor pemerintahan untuk mengurus suatu dokumen. Melihat tampang anak yang imut, para pegawai awalnya berkomentar " Wah....anaknya cakep.....pasti ada keturunan bulenya". Si Ibu, dengan gamblang mengatakan ' kebetulan iya'. Akhirnya percakapan berkembang menjadi argumentatif, yang diawali dengan pertanyaan staff pemerintahan terhadap status hukum si Ibu dan anak, "Ibu WNI atau WNA nih?" Si Ibu menjawab " Saya masih WNI". Mereka meneruskan " Loh, bukannya bila menikah dengan orang asing maka Ibu biasanya juga mendapat Kewarganegaraan suami?". Si Ibu menjawab " Tidak pak, saya masih cinta  Indonesia". Di satu pihak si Ibu menyadari akan kelemahan pengetahuannya di bidang hukum. Di lain pihak, dengan hidup di negara asing di mana segala sesuatu di ukur dengan penegakan supremasi hukum, maka demi pertahanan diri sendiri, si Ibu harus mau tidak mau, peduli pada upaya peningkatan pengetahuan individualnya akan aspek hukum, baik di Indonesia maupun di negara di mana dia tinggal. Percakapan menjadi lebih tegang, ketika status legal anak di pertanyakan oleh staff pemerintahan tersebut. " Jadi anak Ibu ini kewarganegaraannya apa kalau gitu?" Berbekal pengetahuan akan UU 12/2006 dan peraturan pemerintah tentang Affidavit, si Ibu dengan tegas mengatakan " Dwi Kewarganegaraan", yang justru mengundang kontra pendapat. Hal ini di alami beberapa kali dalam kunjungan si Ibu ke berbagai institusi, termasuk dalam pembicaraan kasual si Ibu dengan 'tetangga' nya. Pendapat mereka " Ibu, ini ilegal, anak Ibu tidak bisa memiliki dua warga negara, anak ibu bisa di deportasi". Jelas si Ibu berang dan balik menyerang staff tersebut dengan menyebut dasar hukum dari pelaksanaan Dwi Kewarganegaraan ganda-terbatas pada anak subyek perkawinan campuran. Staff tersebut minta di tunjukkan instrumen hukum terkait (sesuatu yang amat ironis-sudah seharusnya mereka lebih terdidik dan tahu tentang produk hukum dan kebijakan  kenegaraan di banding rakyat biasa). Kali lain, ketika si Ibu harus berurusan dengan pihak medis karena si anak sakit, si ibu menjadi lebih protektif terhadap status kewarganegaraan anak, bahkan terhadap asal - usul biologis si anak ketika banyak orang yang melihat si anak yang imut itu berkomentar " pasti ada keturunan bule-nya" dan sejenisnya. Si Ibu menjadi trauma dengan stigma -stigma tersebut. Di lain pihak, asas dari kewarganegaraan, baik tunggal ataupun ganda adalah, adanya ikatan asli antara si subyek dengan negaranya baik melalui hubungan darah (ikatan biologis dari ayah dan ibu) atau ikatan tempat lahir yang di kategorikan kedalam ikatan budaya dan norma. Di satu pihak, ada sebagian aspirasi masyarakat Indonesia terdidik yang secara terbuka berusaha menyambut baik perubahan ke arah Hak Asasi Manusia, Penegakan demorasi dan Hukum, di lain pihak ada sebagian masyarakat, entah atas inisiatif sendiri atau karena ketidak sadaran dan tahuan, seolah -olah mereka seperti menjadi 'orang- orang yang tertinggal'. Tertinggal di sini berarti tidak mengikuti arus perkembangan zaman yang dalam konteks kenegaraan di pengaruhi oleh dinamika Hubungan Internasional, baik antar negara maupun kawasan (ASEAN) atau global. Kestabilan suatu negara salah satunya bisa di penuhi dengan kelenturan negara terkait mengikuti aspirasi dunia Internasional. Aspirasi Kewarganegaraan Ganda merupakan salah satu bentuk dinamika global yang positif terhadap kemanusiaan di mana pengakuan akan Hak Asasi Manusia memiliki dimensi yang bersifat kultural dan biologikal. Dimensi kultural ini merupakan suatu perkembangan tersendiri dalam konteks HAM, bahwa manusia juga harus di lihat tidak hanya berdasar kebutuhan dasarnya untuk hidup, berkembang biak, bebas dari diskriminasi dan tekanan, namun juga harus di akui identitas kulturalnya sebagai sesuatu yang mutlak, bukan pilihan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun