Mohon tunggu...
Fizzahrah Fizzahrah
Fizzahrah Fizzahrah Mohon Tunggu... -

Inisiatif warganegara merupakan sebuah bentuk kepedulian terhadap keterlibatan individu dalam kapasitasnya sebagai warganegara yang mencakup isu - isu kesadaran hukum, Hak Asasi Manusia dan demokrasi, kebijakan publik, dan kewarganegaraan (termasuk kewarganegaraan ganda). Inisiatifwarganegara juga bisa di temukan di www.ppkgindonesia.org

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan: Antara Teori dan Praktek

21 Februari 2012   15:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:22 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini di turunkan, terkait dengan beberapa peristiwa individual mengenai perkawinan campuran, kewarganegaraan ganda dan instrumen hukum yang mengatur keduanya terkait dengan pemahaman publik dan aparatur pemerintah dan sosialisasi instrumen hukum terkait.
Sejak di undangkannya Undang-Undang 12/2006 tentang kewarganegaraan ganda  enam tahun silam, seharusnya sosialisai instrumen hukum tersebut sudah merambah ke berbagai jenjang aparat pemerintahan. Akan tetapi, secara khusus, beberapa peristiwa masih membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih belum memahami adanya perubahan ketata-negaraan dalam bidang kewarganegaraan (ganda-terbatas) pada anak hasil perkawinan campuran. Secara umum, kinerja dan koordinasi antara departemen terkait dengan administrasi publik perkawinan campuran juga masih terlihat kurang harmonis.

Salah satu contoh peristiwa yang baru saja di alami oleh seorang pelaku kawin campur terjadi ketika yang bersangkutan berurusan dengan aparat pemerintah untuk mengurus salah satu keperluan dokumen terkiat dengan administrasi publik. Dari pembicaraan yang terjadi antara staff tersebut dengan yang bersangkutan mengindikasikan adanya 'stigma' terhadap pelaku kawin campur. Stigma yang pertama adalah 'gebyah uyah'  atau generalisasi bahwa setiap subyek pelaku kawin campur  secara otomatis atau berkecenderungan memiliki kewarganegaraan lain yang di indikasikan dengan kepemilikan lebih dari satu paspor. Stigma yang kedua adalah, anak hasil perkawinan campuran pastilah memiliki kewarganegaraan ayah-karena beberapa faktor. Stigma lain adalah, menikah dengan orang Asing identik dengan 'cari perkara' karena faktor kesulitan yang tinggi dalam urusan administrasi publik di Indonesia dan ketidak-berpihakan instrumen hukum Indonesia terhadap keduanya (orang asing dan orang Indonesia pelaku kawin campur).

Peristiwa yang terjadi secara terpisah-yang di alami oleh si pelaku kawin campur tersebut pada akhirnya mengarah pada satu generalisasi, bahwa mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia, (terutama yang tidak terpapar oleh kultur lain selain kultur daerahnya, atau kendati telah terpapar oleh kultur lain, karena sesuatu dan lain hal sebagian dari mereka lebih memilih untuk bersikap tertutup),  tidak menyadari sepenuhnya akan dinamika sosial dan politik Indonesia paska krisis 1997-1998. Ketidak-pahaman ini berimbas kepada ketidak-tahuan mereka terhadap perkembangan kebijakan pemerintah, khususnya yang menyangkut minoritas ( Pelaku kawin campur dalam hal ini di kategorikan sebagai minoritas). Salah satu kebijakan pemerintah yang mendasar akibat dari perubahan arah dan trend dalam Hubungan Internasional paska perang dingin dan krisis 1997-1998 adalah penegakan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum, yang salah satunya di wujudkan dengan revisi UU tentang Kewarganegaraan.

Aspek lain terkait dengan kesimpang-siuran interpretasi suatu instrumen hukum dapat di temukan di salah satu situs LBH pada bagian paragraf terakhir terkait dengan konsekuensi kawin campur- status kewarganegaraan anak mengikuti ayah (tanpa ada referensi lebih jauh ke produk hukum terbaru, UU 12/2006).

Umumnya kita semua menyadari dan bahkan memberikan toleransi tertentu antara kesenjangan yang terjadi pada teori dan praktek ( dalam hal ini, teori adalah instrumen hukum  UU 12/2006, dan praktek adalah penerapan di lapangan oleh berbagai kelangan termasuk pengetahuan, pemahaman, interpretasi dan sosialisasinya). Akan tetapi, tentu saja bukan kesenjangan yang sama sekali berlawanan seperti di tunjukkan pada kasus tersebut dan banyak kasus lainnya yang tidak di ekspos ke publik. Dalam bahasa kerennya, fenomena seperti ini bisa di katakan sebagai sebuah bentuk 'ignorance' atau ketidak pedulian dan kelalaian secara simultan, dari kedua belah pihak ( Pemerintah pada level atas dan bawah).

Sebelum akhirnya seseorang terlibat dengan berbagai aktivitas negatif entah itu diskriminasi, hate speech and act dan aktivitas kriminal lainnya, keadaan psikologis seperti ' ignorance' lah yang mendominasi mentalitas seseorang, hingga dirinya bisa bertindak lebih jauh secara negatif. Jika Indonesia identik dengan masyarakat yang religius ( dulunya spiritual) maka jelas, kualitas lalai dan tidak peduli sama sekali tidak mendukung pengembangan identitas tersebut.

Sejak di gulirkannya isu 'Petisi Kewarganegaraan Ganda' dan UU 6/2011 tentang Keimigrasian maka aspek pengawasan terhadap WNI yang berada di luar negeri semakin meningkat yang juga berbanding lurus dengan peningkatan pengawasan orang asing. Hal ini wajar dalam peluncuran kebijakan publik yang seringkali menggunakan prinsip "stick and carrot'. Aksi staff pemerintahan seperti di singgung pada reportase ini, di sinyalir sebagai salah satu upaya dalam peningkatan pengawasan tersebut. Ah, sayangnya mereka tidak di bekali pengetahuan yang cukup, agar pengawasan tersebut bersifat positif dan progresif.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun