Mohon tunggu...
Pelangi Terindah
Pelangi Terindah Mohon Tunggu... Lainnya - motret pake pena

Maka tentang segala tentang tumpah ruah di sini. Habis katarsis sepah habis, plooong!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wartawan: Kingkong Kok Dilawan!

20 Februari 2012   12:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:25 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tepatnya “Kingkong dilawan!”, begitu keyword sebuah iklan kendaraan niaga yang dibintangi Benyamin Sueb beberapa puluh tahun lalu. Kingkong memang susah dilawan dan niscaya tak bakal adajenis binatang lain sanggup mengalahkannya. Ia besar, tangguh, dan buas. Rasanya tepat untuk menggambarkan ketangguhan pers Indonesia dewasa ini dengan figur Kingkong yang besar, kuat dan nyaris tak terkalahkan.

Selain itu yang membuat pers Indonesia semakin kuat adalah adanya kuatnya solidaritas diantara mereka. Korps wartawan. Gejala solidaritas korps ini, sebenarnya sama saja dengan semangat membela korps pada lembaga-lembaga lainnya macam Kepolisian, Kejaksaan, dan lain sebagainya.

Pers Indonesia dan wartawannya sesungguhnya belakangan ini sedang menikmati kebebasannya. Sejalan dengan perekembangan pers yang bebas, banyak peristiwa menunjukan bahwa atas kebebasannya itu terjadi beberapa gesekan dengan pihak lain. Sesuatu yang sebenarnya lumrah. Namun karena profesi wartawan (baca: Pers) dianggap sebagai pilar keempat demokrasi. Maka ketika ada pihak-pihak diluar pers/wartawan mengritiknya, meminjam istilah Sutan Bathoegana, “jadi sensitif itu barang”

Fenomena Jeremy Setiawan

Kasus imbauan Ketua Biro Bidang Hukum dan HAM Partai Demokrat Jemmy Setiawan yang menyerukan boikot terhadap media yang mengadu domba kader partainya, sebenarnya bukan yang pertama. Sebelumnya, Dipo Alam, mantan aktivis zaman Orba, yang kini menjabat sebagai sekfretaris kabinet SBY, pernah pula mengajak lembaga pemerintahan memboikot media yang bernada sinis. Imbauan Dipo tersebut membuat MetroTV tersinggung dan memperkarakannya di pengadilan. Belum selesai kasus Dipo Alam vs MetroTV, kini muncul masalah serupa. Pers yang merasa dihambat fungsinya berreaksi. “Ramailah itu barang” (Sutan Bathoegana : mode On).

Mencoba menganalisis dari sisi berbeda dengan arus mainstream, saya hanya bisa ketawa kecil melihat perseteruan ini. Setidaknya ada beberapa kesimpulan dari masalah ini :


  • Bahwa, yang mengeluarkan siaran pers tersebut adalah seorang ketua Biro Hukum dan HAM PD. Tentu ia cukup punya alasan mengeluarkan statement itu.

  • Bahwa memang akan konyol akibatnya jika berseteru langsung dengan pers. Sekali lagi karena pers pegang kendali informasi yang bersifat masif.

  • Bahwa Jeremy Setiawan bukan tak menyadari risiko itu. Bedanya dengan Dipo Alam, Jeremy memang tak menyebut nama media yang diimbau untuk diboikot. Sehingga PD sebagai badan atau pun Jeremy Setiawan bisa lolos dari guagatan hukum pers dengan dalih menghalang-halangi kerja insan pers.

  • Bahwa jika lepas dari jeratan gugatan, paling banter Jeremy Setiawan dan PD bakal tambah jadi bulan-bulanan pers dalam beberapa bulan ke depan. Elektabilitas partai Demokrat akan anjlog, karena membongkar sendiri bantalan-bantalan yang selama ini menyangga dan membesarkan nama partai Demokrat.

  • Bahwa Imbauan Jeremy itu sebuah keberanian luar biasa. Nyali Jeremy besar sekali. Atau barangkali ia sedang melempar sinyal kepada masyarakat bahwa ada orang yang berani atas tirani pers selama ini. Suka atau tidak Pers memang sering bertindak diluar aturan. Dan nyaris tanpa kritik. Jika benar asumsi ini, fenomena Jeremy ini akan jadi preseden baik. Akan muncul banyak orang-orang yang menggugat pers karena terganggu dengan pembritaan yang tidak seimbang.

Pers memang amat dibutuhkan dalam kehidupan demokrasi. Saya menjadi melek hukum dan masalah-masalah sosial lainnya semata karena peran pers yang hebat. Untuk itu dalam kesempatan ini terimakasih pada profesi wartawan. Namun segala sesuatu yang bersifat dominan sungguh tidak baik. Tidak adil. Badan pengontrol Pers---Dewan Pers---sering tidak berfungsi optimal dalam mengarahkan pers yang benar-benar sehat. Sehingga tanggung jawab pers benar-benar harus dicermati oleh insan pers sendiri.

Teringat kasus selebritis Desi Ratnasari yang beberapa tahun lalu pernah dimusuhi wartawan lantaran ia selalu mengatakan “no comment” saat wartawan mengusik soal pribadinya. Sejatinya Aksi Desi itu bisa disebut sebuah bentuk perlawanan atas pemberitaan dirinya yang merugikan.

Tentu saja tak semua wartawan yang suka adudomba, malah mereka cuma komunitas kecil diantara banyaknya wartawan-wartawan andal profesional. Perseteruan Partai Demokrat akan semakin ramai, menaikkan tiras media cetak dan rating televisi. Masyarakat juga terkena imbasnya. Ujung-ujungnya nanti bakal adem ayem juga. Sementara energi sudah terkuras. Perseteruan ini selalu membawa berkah tersembunyi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun