Baru kali ini saya merasakan kembali, setelah bertahun-tahun. Tahun? Ya. Rasa apa? Rasa nikmat yang sesungguhnya dari membaca. Tanpa harus ‘rusak’ karena saya penasaran dan bolak-balik dari halaman belakang-depan-tengah-agak belakang-kata pengantar-depan-dst. Tak goyah dengan berbagai interupsi. Menikmati setiap jalinan kata, yang sungguh amat sangat sederhana dan begitu mudah dicerna.
Buku yang tidak sengaja saya temukan di Gramedia 3 hari lalu ini, membuat saya seperti tersihir. Membacanya sejak jam 23.00 sampai jam 01.00, di saat hujan mulai mereda, sembari mendengarkan winamp yang ‘tidak terdengar’.
Cokelat selalu eye catching bagi saya. Begitu pula dengan novel dengan cap Best Seller ini. Sungguh begitu terlihat ‘Lezat’.
“Mowwning, Ibuuu!”
“Tapi, kelincinya nggak punya ayah dan ibu…”
“Nggak mau sama Ibu. Nggak mau sama Ibu. Nggak. Mau. Sama. Ibu!” Razsya berteriak tanpa henti.
“Pak Kyai, pak Kyai.” Tak kuasa Hannah bersenandung geli. Betapa senangnya ia menggoda Wigra yang hatinya seputih kapas dan mampu menggerakkan dirinya untuk juga merengkuh kapas itu sedikit demi sedikit.
Wigra berbisik di telinganya. “You have earned it, Han. You finally earned it.”
Seperti Cokelat, ada manis, ada pahit, terkadang sangat manis, terkadang pahitnya lebih dominan. Sesekali ada gerenjel. Wow! Ada mete, almond, kismis di sana. Sesekali terasa tercium aroma susu. Pernah juga terasa hangat dan pedas, seperti cokelat monggo rasa jahe dan cabe. Ada yang sangaaaatttt murah dan mudah di dapat. Hemmm… tentu saja kita semua tahu, bahwa ada juga cokelat yang sangaatttt mahal dan begitu sulit dijangkau.
Warnanya pun begitu. Ada yang begitu gelap, hitam. Ada cokelat susu, ada cokelat muda. Sampai ada yang berwarna putih.
Begitulah yang tergambar. Seperti gambar kehidupan kita sehari-hari, menempel rapat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H