Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... Mahasiswa - @paji_hajju
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Syarwan Edy, sangat suka dipanggil dengan nama bang Paji. Si realistis yang kadang idealis | Punya hobi membaca, menulis dan diskusi | Kecintaannya pada buku, kopi, dan senja | Didewasakan oleh masyarakat dan antek kenangan.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Suara Perempuan: Women from Rote Island

14 Maret 2024   15:26 Diperbarui: 14 Maret 2024   15:29 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara-suara perempuan dewasa ini banyak sekali digunakan untuk sebuah lelucon-lelucon atau bahkan kepentingan semata bagi kalangan atau pihak tertentu. Suara perempuan yang selama ini tidak didengar karena ditekan oleh ganasnya patriarki yang mendominasi segala aspek. 

Perempuan dilihat sebagai objek bukan subjek dan ketimpangan relasi kuasa dalam hubungan pun kian subur adanya yang mengatasnamakan agama dan budaya. 

Perempuan yang menjadi korban pelecehan pun masih disalahkan karena seolah 'memancing' perilaku tersebut. Adat istiadat pun telah menenggelamkan hak-hak perempuan dalam kehidupannya dengan segala doktrin yang kebablasan.

Sekali lagi perempuan cuma dilihat sebagai 'tema' yang bisa dikooptasi, bukan subyek yang setara dalam perjuangan untuk memenuhi kebutuhannya. Dan di dalam budaya perkosaan, perempuan dilihat sebagai objek dan komentar serta lelucon seksual yang mendiskriminasi dianggap lucu. 

Miris, bukan? Menjadi perempuan berarti menjadi perawat kehidupan. Menjadi perempuan juga berarti hidup dalam dilema. Ia dipuja dan dibutuhkan, namun dijajah sepanjang jalan kenangan. Tubuh perempuan bukan komoditas, tapi perempuan berhak mengatur sendiri apa yang akan dia lakukan dengan tubuhnya. 

Ester Lianawati dalam bukunya 'Akhir Pejantanan Dunia' ia mengatakan bahwa laki-laki mereduksi perempuan dalam tiga esensi paradoksal: perawan, ibu dan pelacur. Perawan untuk menjamin kemurnian dari keturunannya, ibu untuk memberinya keturunan, dan pelacur untuk memberi kenikmatan seksual.Apakah memang benar adanya? Perempuan adalah pilar kekuatan, kecerdasan, dan kelembutan. Juga Ester menulis dalam buku terbarunya 'Dari Rahim Ini Aku Bicara' ia mengemukakan sesuatu yang berbeda yakni; tubuh perempuan menyimpan sejarah, menyimpan cerita. Sebab itu, tubuh ini bisa bicara, dan hendaknya dibiarkan bicara.

Hak-hak perempuan mesti sepenuhnya untuk diperjuangkan sampai tuntas. Bukan berarti membenci dan merendahkan pihak lainnya. Dan tidak juga untuk menuntut bahwa perempuan lebih tinggi derajatnya daripada laki-laki. Tapi disini, yang terpenting menginginkan perempuan dilihat sebagai manusia. Manusia yang dimanusiakan dan juga hadir kepermukaan sebagai wujud manusia yang merdeka seutuhnya. 

Namun sayangnya, perempuan dalam iklan kerap melanggengkan eksploitasi yang bersembunyi di balik dalil ekplorasi. Kebebasan ekspresi yang diperjuangkan justru menjadi ladang mengeksploitasi perempuan. Manipulasi dan dehumanisasi perempuan lagi marak-maraknya hingga muncul juga dalam perfilman yang hadirnya sebagai sosok yang menakutkan.

Baca juga: Dan Selesai...

Lalu Nadya Karima Melati dalam bukunya 'Membicarakan Feminisme' ia dengan lihai menggambarkan bahwa viktimisasi dan kriminalisasi yang dilakukan terhadap korban kekerasan seksual menghasilkan hantu perempuan yang kejam dan menakutkan. 

Sundal bolong adalah korban perkosaan yang dicap sebagai pelacur, kuntilanak adalah seorang ibu yang terusir dari tanahnya akibat pembangunan kota Pontianak, wewe gombel menculik anak orang lain karena dia kehilangan anaknya akibat pernikahan di usia dini dan hamil muda. 

Hantu-hantu perempuan adalah kenyataan terpendam dari tragedi-tragedi ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan dan hantu perempuan tidak butuh diatur, tetapi dijamin haknya atas rasa aman oleh negara dan masyarakat.

Apa iya setiap karakter dalam film itu harus selalu happy in the end & "menang"? Women From Rote Island, film yang seharusnya kita lihat adalah dalam menyuarakan kesetaraan dan inklusi gender secara mendalam bukan bias gender. 

Film ini juga menyadarkan bahwa pelecehan dan kekerasan seksual bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja, bahkan orang terdekat sekalipun. Film ini memang ingin menampilkan realita bahwa tidak semua perempuan bisa melawan dan mendapat kebebasan. 

Sangat sulit mencari tempat yang aman bagi perempuan, apalagi mencari keadilan bahkan atas tubuhnya sendiri karena adanya kekosongan hukum. Menjadi perempuan seakan sebuah kutukan; diperkosa, disalahkan, dan bahkan diasingkan ditengah hegemoni budaya patriarki yang kuat.

Women From Rote Island, film ini berkisah tentang perempuan-perempuan pulau Rote yang menghadapi berbagai dilema hanya karena mereka terlahir sebagai perempuan. Menceritakan Orpa, seorang istri yang baru ditinggal suami dan harus menghadapi diskriminasi yang dialami Martha, anaknya sebagai korban kekerasan seksual. Orpa terus berjuang dan mencari keadilan, tapi apakah ia akan mendapat akhir yang tidak lagi tragis? 

Dari film ini kita bisa mengambil benang merahnya ialah pemahaman yang lebih baik lagi terhadap isu kekerasan seksual, pendorong untuk aksi nyata dan perubahan sejarah jalan kenangan perempuan, peningkatan kesadaran dan juga  sama-sama dari kita mencegah kekerasan seksual serta mengubah budaya yang mendukung kekerasan berbasis gender dalam masyarakat adat.

Paji Hajju 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun