Dunia memang sebentar, sebagaimana kehidupan manusia yang tidak kekal. Segala sesuatu yang Tuhan berikan, akan ada waktunya Manusia kembalikan dan bukan sebagai kebetulan tapi sebagai sebuah kenyataan.
Teruntuk mereka yang masih bertatapan dan saling kuat dan menguatkan. Kepada mereka yang saling mendengarkan nasehat agar hidup memiliki suri tauladan. Ada yang masih bergandengan tangan sambil berjalan dan berlomba mencari nafkah kebaikan.Â
Ada pula yang melangkahkan kaki bergerak secara bersamaan. Lihatlah! mereka yang masih bersama saling merangkul satu sama lain dan tidak ada kemauan untuk saling melepaskan. Dan setelah itu mereka memberikan kebahagiaan yang sangat sederhana tapi mengandung kemuliaan; hanya dengan tertawa dan tersenyum sebentar dan kemudian merenungkan.
Tapi, bagaimana hal yang romantisme dan keharmonisan itu bisa kembali untuk dirasakan oleh seorang istri yang merasakan akan bebannya sebuah kehilangan. Sebuah kehilangan yang dengan kasih dan sayangnya sekalipun tidak mengembalikan kain kafan menjadi sebuah nyawa yang menghidupkan.Â
Adakah yang bertanya ataukah hanya diam berpangku tangan untuk tidak mencampuri urusan. Tentang bagaimana seorang istri yang merasakan kehilangan, bisa menjawab semua kesendirian, dan berupaya untuk tidak mengeluarkan tangisan dan tidak menghiraukan teguran alam.Â
Dari semua kesendiriannya, dia bahkan menawarkan diri kepada Tuhan agar secepatnya menyusul sebagaimana Tuhan memanggil suaminya untuk berpulang kepenghadapan.
Setelah merasakan kehilangan, seolah-olah menjadikannya untuk mengasingkan diri dari kehidupan yang sebenarnya. Bahwa kehidupan yang kini baginya tidak perlu lagi untuk diartikan, diterjemahkan, dan tidak harus untuk dimaknakan dan merasakan bagaimana terpukulnya dengan bertahan hidup.Â
Kehilangan baginya menjadikan semuanya bertentangan. Dia menolak kebersamaan, dia pun menolak kebahagiaan, dan bahkan menolak kesempurnaan sebagai aturan hidup kemanusiaan.
Dia mulai memiliki kebencian terhadap air yang menjadi pembersihan terakhir untuk suaminya. Dia mulai benci terhadap yang jauh diatas Arsy dengan semua skenario dan kehendak-Nya. Dia mulai benci dengan udara, dimana nyawa itu tidak lagi menghirup kesegaran. Dan hal yang paling ia benci adalah Tanah, sebagai tempat persembunyian suaminya.Â
Dia setelah ditimpa kehilangan tidak lagi merasakan nafkah lahir dan batin daripada suaminya. Tidak lagi merasakan apa yang dimakan dan diminum suaminya, seperti itu juga yang dimakan dan yang diminumnya, Tidak lagi merasakan apa yang dikenakan suaminya, seperti itu juga yang dikenakannya.Â