Perempuan itu bernama Bitu
Di ingatan desember yang masih kelabu, gerimis akhirnya bunyi lalu menggigil nafas tersengal-sengal yang pernah kucuri dari bibirmu. Ku sampaikan rasa hangat ini melalui angin-angin malam, lewat sajak penenang, pada musim puisi yang rindang. Pada dermaga sepi tak berpenghuni, aku masih menyairkan puisi, tentang semburat jingga di langit senja, tentang kita dan aku ingin kau ada disini. Semilir angin datang menerpa raga, membawa rindu yang menggila lalu menembus sukma yang terluka di atas perihnya kenangan yang ada. Merinduimu adalah menemu sunyi, seperti detak pada tubuh sajak, serupa bunyi; rima yang tak henti-henti menyeru namanya sendiri. Resah ku di dalam hati meronta-ronta, seperti nada-nada yang terluka dengan lirik derana bercerita tentang kita. Kau segenap arah, kau merekat jarak yang patah. Tetaplah jadi kopi pada cangkirku yang sepi dan tetaplah jadi puisi pada tiap sedih yang singgah di sudut hati.
Bitu adalah rindu, dari dasar hati yang paling cumbu. Seperti Bitu, puisi terdiam lalu mati dalam kerinduan. Di temaram rona jingga, angin senja memeluk kita dengan lembut. Dalam keremangan, senyummu adalah cahaya yang memandu langkahku, membuat hari-hari yang mendung menjadi harapan di antara jejak-jejak kenangan. Saat senja jatuh di pelupuk mata, mengukir nama, mungkin semua telah di rayakan di Watohari. Kita barangkali tak pernah saling rindu maka aku memilih memuisikanmu. Sebab, di penghujung waktu, aku tak ingin kisah kita berlalu. Bitu, namamu adalah puisi terindahku yang belum sempat ku tunjukkan padamu. Satu hal yang perlu kau tahu perihal melupakanmu, aku tak mampu. Karena ingatan tentangmu serupa sang mentari walau ia terbenam hari ini, ia akan datang lagi di keesokan harinya. Tetaplah engkau dalam setia, nantikan aku di gerbang waktu. Tanpa aku, engkau hanyalah kumpulan puisi dan lirik-lirik sendu. Tanpa kau, aku hanyalah kumpulan rasa hampa dalam palung dada.
Aku rindu pada minuman surgawi yang di tuang dalam senyumanmu. Aku hanya ingin pulang, ke pelukanmu yang pernah ku dekap utuh. Kau membawakan ku catatan-catatan dari bulan, tersurat antara kita yang mana cinta tak pernah berhenti berkata hingga sinar fajar membangunkan kita dari dekap mesra lamunan panjang. Bitu, kau tau bahwa; dunia akan baik-baik saja selama masih ada kopi, kretek, semerbak wangi parfummu dan foto selfie kepala miringmu. Aku terdiam menerawang sesaat, debu dan jasad tertinggal di pusara kemudian di batu nisan namamu akan tetap abadi. Tapi kucari namamu lagi dan lagi sepanjang usia nyawa. Pada lembaran dini hari menuju pagi, aku mengira namamu tersemat diantara hangat mentari, melukiskan asa yang tak henti mencari hadirmu, hanya dirimu pun kucari lagi namamu. Aku ingin jatuh cinta kepadamu setiap hari, agar yang tertulis melalui jemari ini hanyalah puisi bukan kata-kata caci maki.
Perempuan itu bernama Bitu, seperti apa pun penampilannya, dengan atau tanpa riasan, kau tetaplah dirimu. Apapun yang kau lakukan, apapun yang kau pikirkan, perasaanku padamu takkan pernah berubah. Di tubuhmu aku menemukan jejak sejarah yang tak terlacak, sejarah terciptanya kenangan yang jadi gema dalam hati. Segala tentang kita, aku ingin menamaimu sebagai rumah, sampai pada akhirnya kau kunamai menjadi surga. Di matamu Bitu, kehidupan begitu tenang dan senang. Kau adalah guru yang menafkahi pengetahuan dengan tabah sekalipun ragamu sudah begitu lelah. Mengeja helaan nafasmu adalah keindahan tak terperi, dibanding sekumpulan diksi, fiksi yang tak aku mengerti. Memelukmu adalah anugrah, yang tak pernah sudah. Aku bukan siapa-siapa, aku tidak punya apa-apa, tapi aku hanyalah Paji, penikmat sepi di tikam sunyi, lalu aku hanyalah kepingan kata yang bebas kau tafsirkan sesukamu.
Bitu, aku rindu hadirmu saat senja lagi temaram-temaramnya. Jika dimungkinkan, aku ingin menghabiskan waktuku lebih lama bersamamu. Kau membacakan buku untukku; tentang penjajahan negara, pelanggaran hak asasi manusia, pembunuhan budaya asli, rasisme sistematis, seksisme dan hak-hak perempuan. Berada di sampingmu, malam bukan lagi perihal mesin waktu dan jam bukan lagi tentang hari ini. Tapi ada yang bahagia pada kata-kata; kau perempuan paling berisik dalam sajak-sajakku. Kau adalah buku yang ku pinjam di sela tidurmu, selalu ku baca tanpa kau tahu. Setelah kemarin, aku tak ingin kehilanganmu lagi. Jika dengan puisi tak sanggup ku lukis tawamu, dengan senja mana lagi kupuisikan senyummu? Masih kusimpan renyah tawamu dalam lipat kenangan purba, maafkan aku, yang sampai kini masih setia memupuk rindu.
Kukutip sepenggal puisi tentang namamu dari buku tempat paling liar di muka bumi. Dari kegelapan hingga menuju terang, dari terjatuh hingga bangkit kembali dan dari kesedihan hingga kembali tersenyum, aku ingin bersamamu selalu bahkan setelahnya. Jika cinta serupa dengan puisi, aku akan menjadi kata-kata yang tidak pernah kehilangan makna untukmu. Barangkali jika cinta serupa tanah, aku akan menjadi air agar ia tumbuh subur untukmu. Maka atas segala yang tak mampu dibicarakan oleh bibir. Biarkan rindu berkata bahwa aku mencintaimu hingga nanti, sampai mati. Maaf, jika rinduku membuatmu terganggu. Tapi rindu, terus saja menggerutu memintaku menyapamu. Suaramu ialah jalan pulang yang ku kenali, binar matamu seindah pelangi, raut pesona wajahmu bak purnama berseri dan kaulah penghibur jiwa, penghias sukma. Bitu.
-Kupang, 2023 (Kamar Kost)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H