Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... Mahasiswa - @paji_hajju
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Syarwan Edy, sangat suka dipanggil dengan nama bang Paji. Si realistis yang kadang idealis | Punya hobi membaca, menulis dan diskusi | Kecintaannya pada buku, kopi, dan senja | Didewasakan oleh masyarakat dan antek kenangan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Pasar, Tawa dan Hiruk-pikuknya

3 Desember 2023   14:34 Diperbarui: 3 Desember 2023   15:00 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bawah atap langit yang terik, rahim-rahim yang kuat tak kenal lelah menukar harapan sembari menunggu datangnya malaikat pembawa kebahagiaan. Dari fajar menyingsing hingga terbenam, lelaki itu sedang menerkah, berkah, menafkahi hidup walaupun bermandikan keringat. Wajah-wajah kokoh, raga-raga makin rentah dan masih ada jiwa-jiwa serta doa-doa memilih tinggal walaupun dari ingatan yang terbuang. Canda tawa, haru tangis, menjelma dalam satu wadah selaksa sebait kisah teruntai-juntai mengikuti setiap langkah, sedih, senang, damai bersitegang dengan kehidupan malang, gersang.

Pasar Lili, tawa dan hiruk-pikuknya laksana setiap langkah seperti beban yang tak tertahankan, hidup bagaikan kutukan yang takkan pernah berakhir dan kehampaan yang tak berujung serta obrolan-obrolan yang mengalir bebas lalu mengumumkan keraguan dan penderitaan yang tak terlukiskan. Pasar sebagai bagian kehidupan  namun bagai daun layu, melemah kuning mengering lalu menunggu lapuk tanpa di pupuk. Tawa telah pudar, tersisa hanya senyap dan perihal nasib, entah dari engkau yang pernah bersumpah megah.

Tatapan mata penuh peluh, mulut tidak banyak bicara, percayalah kita habis dibantai oleh pikiran kita sendiri. kulihat orang-orang memainkan banyak peran, merengkuh bayang keluh kesah, kemudian berusaha penuhi ringis bertempa harapan. Ia tak peduli duri hujan dan luapan panas hanya untuk mengurai haru biru keinginan dari riuhnya omong kosong penguasa negeri pasar rakyat. Bersama gelap, butuh waktu lebih lama untuk menyendiri, merenung. Tetap berperang dengan isi kepala, tetap lanjut melawan atau menyerah untuk pulang.

Baca juga: Perihal 365 Days

Pasar rakyat, kehidupan, gotong-royong dan tolong-menolong masih tersungging di senyum yang agak binar, miring terlepas pandangan tuan-tuan birokrasi yang kala bersafari. Tentang cinta dan rindu, kota terasa sunyi dari nyanyian-nyanyian riang, haru dari jalanan yang tak lagi tentram. Di bawah ratapan Ibu dan kebohongan terbesar Ayah untuk anaknya, tetaplah tenang, tabah meskipun telah lelah di selingkuhi di atas ranjang hotel yang mahal untuk permainan yang jurang, curang.

Kemanapun akhirnya arah takdir cerita ini menepi, semoga masih ada bagian baik tak turut pergi, tetaplah jadi kopi pada cangkirmu yang sepi. Kau bisa tulis semua kebutuhan pada selembar tanah yang bernama pasar karena pasar adalah tambang harapan dari rasa cemas dan ragu yang kaku. Dari seteguk rasa gelas dalam kehidupan ataupun seperti biasanya tentang sandiwara, Tuhan selalu menunggu rayuan kita.

Oleh : @paji_hajju

-Kupang, 2023 (Kamar Kost)

Baca juga: Hujan Musim Pemilu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Baca juga: Dalam Nama Birahi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun