Terpaut menetap mentari yang kelabu, meneriaki sebuah kepalsuan tuk mengusir gulita. Terjerat deru haru ombak, terpasung rasa terbang jauh seirama langkah rasa sakit. Pada malam hanya kesepian yang menyapa, melangkah tanpa jejak untuk segala resah. Mendung merekah air mata, menikmati setiap pilu dalam kesendirian semu. Awan hitam tinggalkan kenangan manis, semoga bisa sembuh melupakan indah sinar rembulan.
Di setiap bias jejak, purnama kedinginan dari sudut yang terasing tersusun rapi. Saat pagi tiba, musim-musim pelik terus mengulang meski waktu dan jarak telah terentang. Dari balik tawa Bapak, terdengar suara cangkul bercerita di antara bebatuan dan tanah. Dari balik keringat Bapak, tergambar impian-impian di ujung bahagia. Luka dalam diam, Bapak menyimpan milyaran harapan tanpa sekedar kiasan. Di riuhnya ilalang, Bapak mendamba pengungkapan yang lalu bukan hanya sebatas kenangan. Dan di sudut kata-kata, Bapak menanggih janji-janji kampanye yang dulu begitu raung merdunya.
Akankah beribu air mata menetes begitu saja dengan sia-sia?
Rumah siapa yang sedang kita bangunkan?
Perut yang mana yang sekarang kita makmurkan untuk tenang?
Siapa yang lindungi siapa?
Merdeka seperti apa yang di maksudkan?
Toleransi yang mana telah kita lakukan?
Luka siapa yang sudah kita sembuhkan?
Pelik yang mana yang telah kita peluk?
Sudahkah kita tawa dengan bebas?
Badan siapa yang mau kita gemukkan?
Akankah badai ini pasti berlalu?
Akankah ada bahagia di ujung senja?
Semesta merangkak perlahan, merayakan kesendirian lalu mencintai diri sendiri. Purnama penuh gelisah, menanak cerita-cerita pilu dari bilik tungku kehidupan. Angin sesekali melukis keheningan, kelam merajut desirnya yang teramat miris. Dingin menghempas tanpa tepi, gerimis mengusik hari-hari sepi. Bapak di koyak-koyak lelah, lemah tak berdaya mencari keadilan kesana-kemari. Bapak mati di bunuh sepi, letih dalam hampa mencoba membayangkan demokrasi yang sehat di negeri sendiri.
Mungkinkah nasib kita akan berubah saat kita sudah menjualkan harga diri?
Mungkinkah hidup kita akan damai saat kita sudah menjadi budak belia?
Mungkinkah diri kita akan bebas saat kita sudah menjadi penjilat yang berkelas?
Mungkinkah cita-cita kita akan nyata saat kita sudah mengabdi kepada penguasa yang baik hati tapi mati nurani?
Mungkinkah mimpi kita akan terwujud saat kita sudah menjaja laku kebohongan?
Mungkinkah kebebasan kita akan dapatkan saat kita sudah bekerjasama?
Menuai mimpi, menggema dalam kehampaan jiwa menjerit batin tertikam kejamnya takdir. Bapak adalah diksi dan keadilan adalah ilusi. Bapak adalah kekuatan dan kemerdekaan adalah ketakutan. Hujan air mata juga belum reda kemudian di berikan kehilangan yang begitu rumit. Jam berdetak, waktu membawa patah hati panjang. Bunga-bunga layu, rerumputan kering, hutan-hutan penuh malang, sawah-sawah menerima nasib, kumbang-kumbang kelaparan dan kerinduan hanya tinggal kerinduan.
Omong kosong apa yang sedang kita sama-sama perankan?
Drama seperti apa yang sedang kita pertontonkan di hadapan khalayak?
Sandiwara yang mana yang mau kita mainkan di episode berikut?
Kejahatan yang mana yang mau kita lepaskan dari bumi ini?
Keegoisan yang mana yang mau kita jalankan di kehidupan?
Keadilan yang mana yang mau kita gadaikan untuk menghidupi keluarga?
Serakah yang mana yang mau kita hidupkan? Apakah merdeka untuk kalangan atas dan merana untuk yang kelas bawah?
Keringat mengucur, membasahi tubuh yang lelah perihal janji-janji yang telah di ucapkan musim lalu. Air mata yang berdarah, menulis kisah-kisah getir di ingatan jantung hati. Di bawa atap yang kumuh, menanti kejujuran lalu mengharapkan kepastian. Ingat Nak, suatu saat engkau akan mengerti apa itu arti ketulusan setelah engkau merasakan yang namanya kehilangan bertubi-tubi. Lalu pesan Bapak kepada anaknya: "Terbanglah, melayanglah sejauh mungkin dan jadilah apapun yang engkau suka, cintai dan engkau inginkan. Tapi satu hal yang harus kau ingat, Nak, Jangan pernah jadi penindas. Tetap ramah dan jangan marah-marah. Tetap berkhidmat dan jangan berkhianat." Dan pada akhirnya kita akan berakhir sama itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa tak ada perbandingan, perhitungan di dunia ini.
Bumi Cendana, 7 Februari 2023
Oleh : Syarwan Edy || @paji_hajju
#masyarakat #antek #kenangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H