Rintik belum juga berhenti, laksana membawa cinta dan segenggam harapan yang ingin bahagia. Rembulan berparas samar, lusuhkan angan membuat rasa terisak menjadi lara. Awan mendung hadirkan pilu, bersimpuh luluh terdiam termenung di antara gemuruh yang datang. Sepi semakin sunyi, tatkala langit gelap terpenjara akan lamunan dingin resah. Lalu embun pagi merajut kisah, sepasang doa dan tatapan mata ternodai oleh kepalsuan atas nama cinta dan kerinduan.
Dalam lembayung senja yang temaram, perempuan paruh baya melintasi waktu, menyatu dengan rindu akan rasa yang semestinya. Pagi-pagi sekali ia pergi ke dapur, mencari jawaban kisah indah janji kampanye dari balik tungku. Di atas bara api, ia menemukan iklan menyala sensasi, pencitraan dan kebohongan cerita hidup dalam buku-buku sejarah perjuangan.
Di bawa kolong-kolong haru, Mama rela menghapus kejujuran tutur kata demi sebuah merdeka. Di ingatan yang malang, Mama mencoba mengecap sejarah sebuah bangsa yang dibikin amnesia. Mama menguras air mata dalam sunyinya suasana bahagia yang dusta. Ia menuangkan angan, melahirkan senyum kepalsuan di tiap-tiap susunan kata.
Di remang-remang pelita, mata-mata penuh isak dan suara penuh kaku, Mama menghantarkan kembali pesan kepada anaknya; "Nak, ingatlah, merdeka hanya milik mereka yang menyandang jabatan." Air mata Mama membuncah hampir tumpah di sudut waktu yang kelabu.
Saat gerimis jingga membasahi pipi, pinta Mama lagi kepada anaknya; "Ketika politisi memberi seratus alasan untuk tidak menyerah, tunjukkan pada mereka bahwa kau memiliki seribu pertanyaan untuk tetap maju dan melawan." Terbelenggu semu jalan hidup menahan detak yang hampir sekarat.
Dari bilik suara, Mama menatap gelap kelam tanpa terang merajut jutaan aksara. Dari bilik suara, Mama menikmati kesepian mematikan impian yang mau ia lahirkan dari cita-cita yang luhur. Dan dari bilik suara, Mama menangis mematahkan harapan penuh kesedihan melukis cerita hari-hari. Juga dari bilik suara, Mama mendapatkan banyak omong kosong belaka atas memakmurkan sesama di atas syair kehidupan lautan manusia.
Menuangkan asa di secawan luka, dengan sekuat tenaga Mama memikul banjir ke sungai dan ia menimbun tanah ke bukit serta lantang menyuarakan perasaan tentang datang bertamu lalu berpaling, hilang dari pandangan mata. Hening malam membuat kelabu, melengkapi hiruk-pikuk jiwa yang masih saja enggan menepi dari ketidakwarasan hati nurani.
Lagi dan lagi, Mama mengoyak sepi dan meringkuk sunyi di ujung hari dan bertanya ke anaknya; "Nak, pemilu masih lama tapi kenapa baliho sudah menutupi jalan raya?" Eh ia, kan baliho-baliho pejabat jangankan di jalan di lokasi bencana saja banyak. Imbuhnya kembali, penuh gelora menghempas sedih, perih dalam penantian merapal doa suka duka.
Lalu Mama memastikan, dalam puisi kita segalanya dan dalam sepiring nasi kita hidup selamanya. Dengan cinta mendamaikan, kasih sayang menentramkan dan dengan perasaan penuh peduli menenangkan. Mama dan bilik suara menyentuh hati penuh rasa luka pada puluhan kata-kata bermain dengan mesra tanpa makna berlalu.
_Oepura, 4 Februari 2023_
Oleh : Syarwan Edy || @paji_hajju
#masyarakat #antek #kenangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H