Indonesia adalah negara dengan beribu keberagamannya. Keberagaman suku, budaya, tradisi, hingga agama. Semboyan BhinnekaTunggal Ika “berbeda-beda tetapi tetap satu” yang menjadi pemersatu kita. Keberagaman ini membuat semua warga negaranya memiliki hak satu sama lain dalam hal mencapai hak asasi manusia-nya.
Salah satunya adalah hak dalam kebebasan memeluk agama sebagaimana tertulis pada UUD 1945 Pasal 28E ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara bebas memeluk agama dan beribadat menurut dengan agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara, dan meninggalkannya serta berhak kembali”. Lalu peran negara apa? Peran negara adalah menjamin setiap warga negara merdeka dalam memeluk agama yang diyakini.
Dengan keberagaman beragama inilah Indonesia dituntut untuk selalu bertoleransi antar agama. Terdapat sebanyak 6 agama yang secara resmi di akui oleh pemerintah Indonesia. Toleransi beragama sangat diperlukan bagi negara dengan keberagaman agama seperti Indonesia.
Namun baru-baru ini muncul berita yang disebut sebagai intoleransi agama dilingkungan sekolah. Dikatakan bahwa pada sejumlah sekolah negeri di Indonesia kerap mewajibkan siswi non-muslim agar memakai hijab. Dimana yang kita tahu bahwa memakai hijab adalah kewajiban bagi seluruh perempuan muslim. Namun bagaimana dengan siswi non-muslim? Nah dari situ muncul spekulasi bahwa terdapat intoleransi di lingkungan sekolah. Sekolah negeri yang kerap mewajibkan siswi nya memakai hijab biasanya terdapat pada lingkungan yang kental tradisi nya.
Pada salah satu berita yang saya baca, salah satu sekolah negeri di kota Padang kerap mewajibkan seluruh siswi agar memakai hijab termasuk siswi non-muslim. Walaupun pihak sekolah telah membantah akan adanya pemaksaan terhadap siswi non-muslim yang diwajibkan memakai hijab namun media sudah terlanjur memaknai hal tersebut sebagai intoleransi.
Kota Padang itu sendiri terkenal dengan kearifan lokal nya yang selalu mengedepankan tradisi. Agar budaya dan tradisi tetap terjaga maka pewajiban siswi memakai hijab atau kerudung bukanlah hal yang salah namun bagaimana dengan siswi yang bukan beragama islam? Hal itu sempat menjadi bahasan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Agama Republik Indonesia.
Bahasan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan 3 Menteri atau yang kita ketahui sebagai SKB 3 Menteri (02/KB/2021; 025-199 Tahun 2021; 219 Tahun 2021) mengenai penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Surat keputusan bersama ini memutuskan bahwa pemerintah daerah dan sekolah hendaknya memberikan kebebasan kepada peserta didik, pendidik, serta tenaga kependidikan untuk berhak memilih seragam atau atribut yang digunakan di lingkungan sekolah tanpa kekhasan agama tertentu atau dengan kekhasan agama tertentu namun tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Namun Mahkamah Agung memutuskan bahwa SKB ini tidak sah serta tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dilansir dari Kompas.com, Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan bahwa MA menilai SKB ini bertentangan dengan sejumlah pasal-pasal dalam UU No.23 Tahun 2014 mengenai Pemerintahan Daerah. Lalu SKB ini dinilai juga melanggar UU No.23 Tahun 2002 mengenai Sistem Pendidikan Nasional.
Sejak dikeluarkan SKB ini mengundang banyak sekali pro dan kontra. Bagaimana tidak, hal ini bisa dikatakan sebagai bahasan yang sensitif. Bagi beberapa pihak yang pro akan SKB ini, berpendapat bahwa ini adalah negara Pancasila bukan negara agama manapun. Segala macam peraturan berdasar kepada Pancasila, UUD 1945, serta Bhinneka Tunggal Ika. Hak untuk tidak memakai atribut yang menunjukkan ciri khas agama tertentu harusnya juga merupakan hak setiap warga negara.
Dalam hal ini, menilik dari kasus siswi non-muslim yang diwajibkan memakai hijab di salah satu sekolah negeri di kota Padang. Namun ada pula pihak dengan kontradiksi akan SKB 3 Menteri ini. Terdapat pihak yang berpendapat bahwa sekolah bukan hanya tempat untuk mentransfer ilmu namun juga tempat untuk membangun karakter dan kepribadian jadi penggunaan atribut-atribut keagamaan disekolah harus didukung.
Dilansir dari Kompas.com, Mantan Wali Kota Padang, Fauzi Bahar mengatakan bahwa penggunaan hijab oleh minoritas dapat dijadikan pembauran antara minoritas dengan mayoritas. Lalu beliau melanjutkan “dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Jadi bila memakai hijab adalah ideal maka idealnya harus diikuti. Jika non-muslim tidak memakai hijab maka akan tampak minoritasnya”.
Bukan bermaksud untuk menggiring opini, semua orang bebas berpendapat. Menurut saya, negara dengan keberagaman agama haruslah berdiri di antara tradisi dan toleransi. Tradisi harus dilestarikan namun toleransi tak boleh dilupakan.
Mungkin sebagian orang akan berfikir bahwa memakai hijab bagi perempuan non-muslin tidak semerta-merta dapat menjadi tolak ukur akan ketaatannya terhadap agama yang dianut. Saya setuju, namun bagi mereka memakai atribut yang bukan dari agama mereka, sedikit banyak bisa saja dapat menutupi identitas diri mereka. Jadi, alih-alih saling mendahului ada baiknya kita berjalan berdampingan. Salam toleransi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H