Mohon tunggu...
Hana Fitriani
Hana Fitriani Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Sistem Informasi Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pergi Pesta

28 Februari 2015   22:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:21 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terik. Siang itu mengeringkan bumi dan menggantinya dengan haus. Di antara kumpulan terik matahari dan angin panas, hanya hening yang mau bertemu dengan siang. Yang lain sibuk di dalam bangunan, menyalakan AC. Ada yang sambil bekerja, ada yang sambil tidur. Mereka sama-sama sibuk menanti siang untuk segera pergi. Kecuali dia yang di sudut sana. Bersama bayang-bayang pohon, dia berbaring dengan tenang.

Sapi namanya. Di antara hening siang hari, dia tidak butuh AC atau kipas untuk melindunginya dari terik. Di sekitarnya ada dedaunan dan rumput yang menjadi alas istana kecilnya.  Matanya kadang tertutup, kadang terbuka lagi dengan sangat perlahan. Selain hening, dialah satu-satunya teman yang menerima siang apa adanya.

Setelah puas menemani dengan Sapi dan hening, siang pergi. Tak lama berselang, sore datang mengetuk bumi. Katanya, dia ingin bertemu dengan Sapi mumpung masih ada kesempatan. Sapi heran, bukankah setiap hari kita akan bertemu? Sore hanya menggeleng, “Mungkin sekarang yang terakhir.” Sapi masih belum mengerti, tapi dia tidak peduli. Sapi pun bermain dengan sore. Dia kadang berdiri mengitari pohon, memakan dedaunan, dan berbaring lagi. Beberapa anak kecil datang kepadanya memberi sayang. Mereka menawarkan daun-daun dan mengelusnya dengan tangan hitam kecil. Sapi senang, ternyata banyak yang menyayangi dia.

Sudah cukup bermain, Sore kemudian pamit. Sapi sedih karena baru sekarang Sore bisa bermain sedekat ini dengannya, “Besok kita bermain lagi ya?” Sore hanya tersenyum kemudian pergi sambil mengucap salam.

Tamu selanjutnya adalah malam. Sapi tidak terlalu suka dengan malam. Ia suka memberikan dingin dan tidak banyak bicara. Ketika malam datang, ia suka mengusir para bocah dan tamu lain untuk pergi. Sapi jadi merasa sendiri. Namun saat itu, malam datang dengan lebih ramah. Ia membawa oleh-oleh berupa fotonya bersama bintang. Sapi senang karena dia melihat ada teman baru yang sangat indah. “Kapan-kapan aku harus ke rumah bintang,” tekad Sapi. Malam kemudian berkata, “Besok aku akan menemanimu ke sana.”

Sambil berbaring manja dengan malam, Sapi mendengarkan lantunan merdu yang membuat ia sedih. Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar, Laailaahailallahu wa Allah hu Akbar, Allahuakbar walillahilham. “Lantunan ini membuatku teringat dengan malam terakhir Kakakku tahun lalu,” rintih Sapi, “Sampai sekarang aku tidak tahu kenapa Kakakku pergi.” Malam hanya memeluk Sapi dengan lebih erat, sambil berbisik, “Besok kita akan menemui kakakmu.” Sapi menjadi senang dan tidur tenang.

Sapi ternyata tidur terlalu lama. Biasanya dia bisa bangun pukul 5, namun kali ini dia kebablasan sampai pukul 7. Sapi kaget, tiba-tiba ada pagi di depan matanya, “Hai Sapi! Ketemu lagi dengan pagi, apa kabarmu hari ini?” Seperti biasa, pagi selalu memberikan semangat berlebihan kepada Sapi. Namun saat itu tidak hanya pagi yang mengganggu tidurnya, ada banyak orang dewasa dan bocah yang berkeliaran. Mereka sibuk membawa terpal besar, pisau panjang, dan selang air kemana-mana. “Apa yang terjadi?” bingung Sapi. “Hari ini adalah harimu! Semua perhatian akan tertuju padamu, Kita semua mencintaimu dan menyiapkan pesta untukmu!” Kata pagi dengan semangat yang lebih menggebu dari biasanya.

Sapi suka pesta. Dia langsung berdiri dan berputar-putar untuk meregangkan ototnya. Sapi bertanya pada pagi, apa yang harus dia siapkan untuk pesta hari itu. Pagi menjawab, “Ikuti saja dan bersenang-senang. Berikan senyum kepada tamu yang datang” Sapi jadi penasaran dengan pesta hari itu. Aku hanya bisa berpesta sampai sore datang, karena setelah itu aku mau pergi dengan malam menemui kakak, kata Sapi. Tapi pagi terlalu sibuk menyiapkan pesta dan tidak menggubris Sapi.

Beberapa menit setelahnya, orang-orang mulai banyak berkumpul dan menuju Sapi dengan tali-tali di tangan. Sapi sedikit khawatir karena dia tidak suka tali. Pagi menghiburnya, “Hey tenang! Jangan tegang atau kita tidak akan senang.” Sapi menurut dan dia merelakan dirinya diajak pergi dari alas istananya.

Hanya 5 meter dari tempatnya berasal, Sapi didiamkan di suatu sudut dekat tiang listrik. Orang-orang membentuk formasi mengitari Sapi sambil berteriak satu sama lain, “Hey talinya kurang kenceng!” Sapi sedikit khawatir namun dia mencoba tenang, kalau aku tegang pestanya tidak akan menyenangkan, batin Sapi. “Satu! Dua! Tiga!” Bruk! Sapi jatuh, aduh sakit. Sapi masih kebingungan dan penasaran dengan jalannya pesta itu. Dari jauh datang seorang kakek dengan peci di kepalanya. Sambil memegang pisau besar sang kakek mendekat kepada Sapi. Orang-orang lainnya mulai bernyanyi seperti tadi malam, Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar. Seharusnya Sapi merasa terancam, tapi dia merasa tenang. Entah kenapa Sapi mulai bisa menikmati pestanya. Pikirannya resah tapi hatinya damai. Dia depan matanya ada tangan sang kakek dengan pisau tajam. Dia berpikir untuk mencoba berdiri dan kabur. Tapi seperti ada sesuatu yang menahannya dari dalam, santai saja ini akan menyenangkan. Pisau di hadapan matanya tiba-tiba hilang, ternyata sudah berpindah ke atas lehernya. Lantunan nyanyian semakin keras. Kakek berteriak, bismillahirrohmanirrohim. Grek!

Sapi kaget. Dia membelalakkan matanya. Jantungnya tiba-tiba memompa darah dengan sangat kuat. Lehernya terasa hangat dan tercium bau darah. Aku berdarah? Sapi seharusnya terhenyak tapi dia merasa santai. Lama kelamaan, jantungnya mulai melemah, tapi Sapi pasrah saja. Orang-orang terdengar heboh, “Masih hidup! Kakinya nendang-nendang!” Sapi bingung, padahal dia hanya diam, kaki itu hanya kaget karena tiba-tiba kehilangan darah. Sapi melihat orang-orang ada yang melompat, menutup mata, mendoakan dia, dan mengambil gambarnya. Ini benar-benar pestaku, semuanya memperhatikanku. Sapi melirik sedikit pada pagi, “Kamu dapat salam dari siang, sore, dan malam.” Ujar pagi.  Sapi mau memberikan salam balik tapi dia tidak mampu. Dia hanya memberikan senyuman simpul sebelum dia benar-benar kehabisan darah. Oh ternyata Kakak dulu pergi pesta juga, pikir Sapi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun