Oleh: Y. B. Inocenty Loe
Profil wajah pendidikan Indonesia 25 tahun terakhir menunjukkan kondisi darurat. Beberapa analisis baik yang berskala nasional maupun internasional menunjukkan rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Selain itu, paska pandemi Covid 19, isu-isu kemerosotan ini menjadi bentuk kehebohan tersendiri. Pasalnya, muncul kesadaran bahwa learning loss akibat pandemi dapat menghambat kemajuan ekonomi dan cita-cita bonus demografi tahun 2045 mendatang. Tentu saja, publik menantikan kebijakan pemerintah yang mampu mengatasi situasi darurat ini. Kemunculan Merdeka Belajar, oleh pemerintah dianggap sebagai jawaban atas penantian tersebut.Â
Meskipun demikian, dukungan terhadap Merdeka Belajar harus ditanggapi secara kritis. Bukan menolak, bukan juga menerima begitu saja. Artinya, dukungan terhadap komitmen dan tanggung jawab pemerintah untuk memajukan pendidikan harus tetap ada, namun pada saat yang sama, catatan kritis dari berbagai elemen menjadi syarat penting. Bukan kritik tetapi kritis. Tujuannya agar pemerintah tidak semana-mena tetapi selalu mawas diri dan sangat serius dalam memajukkan kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini juga berarti, cita-cita percepatan kualitas pendidikan Indonesia harus lahir dari kerja sama lintas batas, antara semua elemen bangsa.
Situasi pendidikan Indonesia yang sedang darurat tidak berarti hilangnya kesempatan untuk bangkit. Namun, haruslah dimaknai sebagai momentum untuk menjadi yang terbaik. Tulisan ini lahir sebagai panggilan yang nyata dalam tiga refleksi penting, yaitu refleksi ontologis, epistemologis dan aksiologi. Refleksi ontologis nyata dalam membangun kesadaran bahwa persoalan pendidikan adalah sungguh-sungguh realistis dan harus dihadapi dengan cara yang realistis.Â
Jangan pernah mengambil sikap bahwa pendidikan Indonesia sedang baik-baik saja. Kesadaran ini mendorong lahirnya proses epistemologis, yaitu pencarian akan solusi terbaik bagi pendidikan Indonesia. Solusi tersebut harus datang dalam kebersamaan lintas batas, melibatkan semua pihak. Jika itu berjalan baik, maka dapat mencapai komitmen aksiologis, bahwa pendidikan bukan hanya tentang menyediakan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga tentang menghadirkan sesuatu yang bernilai bagi manusia dan makhluk ciptaan.
Dari tiga refleksi di atas, tulisan dengan judul Masa Depan Pendidikan Indonesia akan membahas beberapa gagasan penting. Pertama, menguraikan problematika pendidikan Indonesia, sehingga bisa dibangun kesadaran untuk memperbaiki diri. Selanjutnya, pentingya kesadaran akan pendidikan yang berakar dalam ajaran Ki Hajar Dewantara. Dan terakhir, bagaimana mendorong komitmen untuk mengedepankan pendidikan nilai dan memotivasi tanggung jawab pembangunan manusia di era ini?
Problematika Pendidikan Indonesia
Sudah dijelaskan bahwa pendidikan Indonesia dalam 25 tahun terakhir sedang mengalami masa darurat. Hal ini dibuktikan dengan berbagai survey baik yang berskala nasional maupun internasional. Hasil berbagai survei, termasuk Studi PISA, menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia mengalami penurunan secara signifikan. Pada tahun 2009, Indonesia berada pada peringkat 57 dari 65 negara dalam Studi PISA, namun pada tahun 2018, peringkatnya turun menjadi 74 dari 79 negara. Pada tahun 2022, peringkat Indonesia menjadi 68 dari 81 negara. Selain itu, Survey UNESCO (2000) juga menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun, dengan peringkat yang terus menurun dari tahun ke tahun.
Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000) juga menunjukkan bahwa Indonesia memiliki daya saing yang rendah, dan hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Selain itu, kualitas pendidikan Indonesia yang rendah juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari ribuan sekolah di Indonesia, hanya sedikit yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP), The Middle Years Program (MYP), dan The Diploma Program (DP). Meskipun terjadi kenaikan peringkat pada PISA 2022, Indonesia mengalami penurunan skor pada masing-masing subjek penilaian kemampuan membaca, matematika, dan sains. Hal ini menunjukkan bahwa situasi pendidikan di Indonesia masih memerlukan perhatian serius dan upaya perbaikan yang berkelanjutan.
Dalam konteks situasi pendidikan Indonesia yang menunjukkan berbagai permasalahan, penting untuk membangun kesadaran ontologis bahwa masalah pendidikan Indonesia sangatlah realistis. Hasil survei, seperti Studi PISA misalnya, menunjukkan bahwa Indonesia selalau berada di peringkat-peringkat akhir. Dengan demikian, penting untuk tidak berpura-pura bahwa pendidikan Indonesia sedang baik-baik saja, melainkan untuk mengakui bahwa masalah pendidikan Indonesia adalah sesuatu yang nyata dan harus ditangani secara serius. Dalam hal ini, pemahaman ontologis tentang kondisi pendidikan Indonesia akan membantu dalam merumuskan langkah-langkah perbaikan yang lebih realistis dan efektif. Lantas, apa saja persoalan pendidikan di Indonesia?