Pijar itu satu persatu jatuh di tanah lekang.Menjadi benih dan bermekaran
Pada kelopaknya terselip embun tadi pagi ,jatuh,sebahagian lagi dihisap angin
Pintu-pintu para petani telah terbuka
Pacul dan Arit bagaikan senjata
Pagi sekali sebelum embun terakhir
Ke sawah adalah pilihan
Pematang masihlah licin
Ketika suara Murai perlahan mengetuk telinga
Nada nada indah dari surga mungkin suara Daud
Lelaki kurus itu berpaling lantas mengangguk
Ceruk matanya tanpa bingkai
Semua mata bisa melihat,bahkan di kedalamannya
Setelah lama berlalu masa itu
Pematang beringkarnasi jadi trotoar
Nyanyian Murai wujud dari kotak kecil
Mungkin kah masih suara Daud?
Lelaki kurus itu menggeleng
Di keramaian para penjilat mata nya berkilat
Menyeru seru pada satu nama
Kebenaran hanya milik mu,kami patuh kami taat
Tak ubah Yudas,saudara jauhnya,Â
Entah lah..Â
Lelaki kurus itu tegak di bebatuan
Urat kakinya masuk kedalam tanah
Mulut nya terkunci,belum ada yang terpahami
Kesunyian itu jatuh menyeluruh
Bulir di matanya bicara
Jauhi aku..!
Rasa puas mu tak kan terpenuhi
Pada saat ini aku tak bernama hingga waktunya tiba
Panggil aku sesukamu tapi jangan Jokowi yang itu
Karna aku tak sebanding dengan kata pendusta yang selalu mendewa
Aku hanya lelaki kurus
Bergulung lengan baju
panggil aku sesukamu tapi jangan yang itu
Terlalu banyak ketidak pantasan yang kalian tasbihkan
Pergi jauh pemuji dan pendengki
Rasa puas mu takkan terpenuhi
Hingga saatnya tiba
Karena JOKOWI adalah KITA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H