Mohon tunggu...
Ingrit Dilla Farizna
Ingrit Dilla Farizna Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Fakultas Hukum UIN Jakarta

SINE AMOR NIHIL EST VITA

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Nasib Kritik dalam Pengesahan RKUHP yang Tidak Transparan

5 Juli 2022   06:38 Diperbarui: 5 Juli 2022   07:13 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bermula dari draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tidak bisa diunggah, lantas membuat sebagian masyarakat justru bertanya-tanya, aturan seperti apakah yang akan dikeluarkan oleh pemerintah sebagai kebijakan yang akan diterapkan?

Drafts tersebut dinilai membahayakan masyarakat karena tidak transparan dalam perumusannya. Hal tersebut dianggap berbahaya lantaran dalam penerapannya berkaitan dengan masyarakat secara menyeluruh.

Karena dalam pemberlakuannya yang melibatkan masyarakat luas, dengan kondisi ketidaktransparannya itu pembahasan RKUHP yang lebih lanjut justru menimbulkan rasa kekhawatiran. Karena dari pengesahannya itulah bisa saja aturan yang dibuat tersebut dengan mudah menjerat pidana bagi siapa pun, baik individu maupun kelompok yang bersebrangan dengan pemerintah dan pejabat negara. Selain itu, pembahasan draft RKUHP ini dinilai memiliki makna yang multitafsir sehingga memicu unjuk rasa di kalangan masyarakat sipil dan mahasiswa.

Menurut sebagian lapisan masyarakat, pasal-pasal yang dibentuk dalam RKUHP ini perlu ditindaklanjuti lagi untuk dikaji ulang. Masyarakat berpendapat bahwa isi dari RKUHP ini memiliki banyak kesalahan terutama dalam aspek pemidanaan.

Misalnya dalam persoalan mengenai penghinaan terhadap presiden hingga adanya pemidanaan terhadap ketiadaan pemberitahuan aksi demonstrasi. Dari ketentuan tersebut kita dapat melihat bahwa masyarakat secara langsung telah dirugikan oleh negara karena dirampas hak nya untuk mengoreksi kinerja pemerintah.

Mengkritik dan dikritik merupakan ciri khas turun-temurun dari adanya negara demokrasi. Menghargai kritik berarti membangun tegaknya demokrasi. Demokrasi yang berhasil adalah demokrasi yang bisa menghargai kritik pada setiap subjek demokrasi. Pembangunan demokrasi tidak akan mulus jika adanya demokrasi belum bisa menghargai dan menghayati apa makna dari kritik itu.

Namun, realitanya dalam kehidupan demokrasi kita saat ini justru sebaliknya. Meskipun terkenal dengan identitasnya sebagai negara demokrasi, tetapi adanya kritik hanya menjadi pertanyaan besar. Dengan kata lain, sebagai negara yang memiliki cita-cita besar dalam membangun aspek sosial politik yang lebih demokratis, justru kita dikatakan belum sepenuhnya memahami dan benar-benar bisa menghargai adanya kritik tersebut.

Hasil survei yang dilakukan oleh indikator Politik Indonesia dan Komnas HAM (2020) telah menemukan fakta bahwa akhir-akhir ini masyarakat merasa takut untuk mengkritik. Berdasarkan sumber analisis tersebut sebanyak 47,7 persen responden indikator agak setuju dengan fakta bahwa masyarakat makin takut dengan melakukan kritik. Sebagian lagi, sebanyak 21,9 persen menyatakan sangat setuju bahwa masyarakan memang semakin takut melakukan kritik terhadap pemerintah. Bahkan sebagaian lainnya menyatakan takut untuk melakukan demonstrasi.

Sementara itu, draft RKUHP yang berkaitan dengan adanya aturan tentang pelarangan terhadap penghinaan Presiden dan pemerintah justru terkesan membuat bingung eksistensi demokrasi kita pada hari ini. Padahal sudah jelas, bahwasannya kritik sangat dihormati dalam kitab Undang-Undang kita. Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan penghargaan luar biasa terhadap kritik. Dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945, ditegaskan bahwa "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat berkumpul, dan mengeluarkan pendapat".

Jelas sudah bahwa lahirnya RKUHP ini justru malah membuat kekhawatiran di dalam elemen masyarakat. Pengesahan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah mencerminkan pada kita, bahwa jika tetap dilaksanakan yang terjadi berikutnya adalah sebuah kekuasaan yang otoritarianisme. Hal tersebut sama saja membunuh demokrasi kita, karena rakyat akan patuh buta pada ketetapan pasal-pasal yang disahkan. Terlebih lagi jika pasal-pasal tersebut malah justru mengekang rakyat.

Upaya pemerintah dan DPR mengubah adanya KUHP ini tentunya bertujuan untuk menghilangkan aturan yang dirasa memiliki watak kolonial karena sebelumnya masih menggunakan aturan yang telah diberlakukan sejak zaman Hindia Belanda dahulu. Tentu saja, tujuan ini sangatlah mulia. Karena membuka wajah baru bagi perkembangan peraturan hukum pidana Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun