Mohon tunggu...
Ingrid Jiu
Ingrid Jiu Mohon Tunggu... -

I want to be a Great Writer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Sam-Liuk-Kiu

13 Januari 2017   19:45 Diperbarui: 13 Januari 2017   19:51 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kala mendengar kata “mak comblang”. Ingatanku segera bekerja. Aku tengah membayangkan penampilan seorang mak comblang dalam film-film kungfu tentang kehidupan para pendekar dalam dunia persilatan yang sering kutonton bersama Ayah. Pastinya, seorang ibu-ibu atau nenek-nenek yang bertubuh gembrot dengan lapisan lemak bergelambir di perutnya. Lalu, tangan kanannya memegang sebuah kipas dan mengibaskannya di dada hingga ke wajah. Terus, wajahnya yang penuh guratan kasar pasti menor, penuh dandanan berwarna-warni. Dari alis yang hitam, bedak yang tebal, eyeshadow yang terik, blush-on yang bersinar, hingga ke lipstick yang merah darah ataupun menyala. Aku pikir, persis pula dengan wajah patung-patung dewa yang ada di dalam kelenteng. Kemudian, mak comblang itu akan berbicara tanpa henti sambil memonyong-monyongkan bibirnya, ke kiri, ke kanan, bahkan ke samping. Bibir bagian atas dan bawah akan bergerak ke atas, dan kadangpula bergerak ke bawah.

“Menikah itu hanya sekali dalam seumur hidup. Janganlah membiarkan anak gadismu menikah dengan pemuda itu. Selisih umur mereka itu tiga tahun. Dan angka tiga adalah angka keramat, jika dilanggar akan mendatangkan bala buat keluarga besarmu. Dari dulu, dari jaman leluhur kita, angka tiga-enam-sembilan atau Sam-Liuk-Kiu dalam selisih umur antara seorang gadis dengan seorang pemuda, adalah tidak baik. Kamu tentu tidak mau anak gadismu hidupnya tidak bahagia, tidak tenteram, bukan?”

Begitu kerap kali yang dikatakan oleh mak comblang kepada ibu dari si gadis. Ini menjadikan ibu dari si gadis semakin yakin, dan kian mendesak anak gadisnya untuk meninggalkan kekasihnya, dan menyetujui untuk menerima lamaran dari pemuda di desa sebelah.

Akhirnya si gadis tidak tahan dengan berbagai desakan, dan memutuskan untuk menerima lamaran dari pemuda di desa sebelah. Sambil berlinangkan air mata ia pun berpesan kepada kekasihnya, bahwa hubungan cinta mereka tidaklah disetujui oleh masing-masing pihak keluarga mereka. Dan ia terpaksa menerima lamaran dari pemuda di desa sebelah. Sebab ia tak tahan lagi dengan desakan kedua orang tuanya. Si pemuda, kekasihnya itu pun tak berdaya. Hubungan kasih yang ditentang oleh adat dan juga orang tua adalah hubungan yang tidak mungkin untuk dilanjutkan, ataupun sebaliknya dilawan. Sebab, bagi kepercayaan mereka, melawan atau membangkang kepada adat dan kepada orang tua akan ada karmanya di hari-hari selanjutnya ataupun di hari tua. Maka, dengan sangat berat hati, si pemuda itu pun menerima akan keputusan si gadis.

Akhirnya si mak comblang boleh bersenang hati. Beliau akan mendapatkan angpau yang berisi dalam jumlah yang besar. Pasalnya, lamarannya berhasil dan diterima oleh si gadis. Bahkan, hajatan pernikahan akan digelar pada pekan depan.

“Bagaimana dengan si pemuda itu, Ibu? Apakah ia menghadiri hajatan akan pernikahan kekasihnya itu?” Tanyaku ingin tahu.

Ibu tersenyum, dan kembali bercerita. Bahwa pada hari pernikahan si gadis. Pada hari hajatan itu digelar. Si pemuda memutuskan untuk pergi merantau ke kota. Hatinya terlalu pedih di kala harus melihat dan menyaksikan gadis yang sangat dicintainya itu berdiri di atas panggung yang kini tengah bersanding dengan pemuda lain. Namun, sesuatu hal telah terjadi. Bahwa seumur hidup si gadis tidak pernah berbahagia dengan kehidupan pernikahannya. Sebab, bukan pemuda yang kini menjadi suaminya itu yang dicintainya. Melainkan pemuda yang pernah menjadi kekasihnya.

“Tetapi, Ibu. Bukankah Ibu dan Ayah memiliki selisih usia enam tahun, bagaimana? Apakah Ibu tidak bahagia?” Tanyaku polos.

“Iya, sayang. Menurut Ibu, adat dan tradisi Sam-Liuk-Kiu itu tidaklah benar. Itu hanya sebuah mitos yang tak jelas asal-usulnya. Barangkali entah siapa yang kala itu tanpa sengaja telah mencetuskannya begitu saja. Sehingga diyakini hingga turun temurun hingga kini. Nah, buktinya Ibu dan Ayah yang berselisih umur enam tahun, toh bahagia!”

Aku tercenung memandang Ibu. Berdiam dan merenung. Sambil jari-jariku masih bergelayut antara benang dan jarum guna memasangkan pengkait di salah satu celana seragam merah yang dijahit Ibu. Tiba-tiba, 0ps! Karena asyik merenungkan cerita Ibu, kerap membuatku tidak berkonsentrasi, menjadikan jariku berdarah karena tertusuk jarum. Aku diam-diam meringis.

Ah, Ibu selalu saja pandai bercerita. Dan, aku sungguh menyukai semua cerita Ibu yang kerap menggugah hatiku. Yang juga penuh dengan ajaran, pesan, makna dan juga norma. Dalam hati aku berbisik. Entah bangga atau tidak kau denganku, Ibu? Namun, aku sungguh bangga menjadi anakmu. Karena engkau, aku ada hari ini!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun