Seperti biasa, siang itu sepulang sekolah. Usai mandi dan makan siang, aku akan membantu Ibu. Ibu, adalah seorang penjahit handal. Ibu sudah pandai menjahit sejak beliau masih gadis. Kala itu, Ibu menetap di sebuah desa kecil. Dan, menurut Ibu satu-satunya modal baginya untuk mencari uang adalah dengan keahliannya menjahit. Begitulah yang kerap aku dengar dari Ibu.
Sudah bertahun-tahun Ibu menjahitkan pakaian seragam Sekolah Dasar, khususnya celana berwarna merah. Satu helainya hanya dihargai sekitar Rp450. Mula-mula Ibu mengeluh terlalu murah kepada bosnya. Tetapi, setelah dinego berkali-kali, akhirnya Ibu berhasil menaikkan harga jasa menjahitnya sebesar Rp50 per helai. Dari Rp450 menjadi Rp500.
Aku yang masih duduk di kelas 5 Sekolah Dasar kala itu, belumlah bisa menjahit. Tetapi, aku kerap membantu Ibu. Seperti, menggunting ini dan itu. Memasang pengkait pada celana. Memisahkan pola kain pada bagian kanan ke kanan dan kiri ke kiri. Ibu juga mengajariku mengenali kain bagian dalam dan luar, lalu memisahkannya, kemudian menumpuknya secara beraturan. Dengan demikian akan memudahkan bagi Ibu untuk mengambil helai demi helai untuk dijahitkan.
Salah satu hal yang paling aku suka di kala membantu Ibu, adalah ketika di sela-sela tangan kami asyik bekerja, Ibu suka bercerita, dan aku suka mendengarkannya. Ibu bercerita apa saja sambil tangannya tiada henti menjahit.
Ibu pernah bercerita mengenai Putri Sambas, yang katanya meninggal karena sang putri mencintai kakak laki-laki, yang tak lain adalah saudara kandungnya sendiri. Oleh karena itu, kedua orang tuanya memenjarakan mereka di sebuah gua di tengah belantara. Tanpa makanan secuil pun. Akhirnya kakak beradik yang berupa sepasang kekasih itu pun meninggal. Dan jasad mereka ditemukan dalam keadaan si kakak laki-laki tengah tersedak isi bantal berupa kapuk halus yang telah hancur lebur dan bahkan berserakan di seluruh ruangan. Oh, hatiku berdebar. Aku membayangkan betapa menyedihkan akan kisah cinta mereka yang kelam, dan kematian keduanya yang memilukan. Ah, bukankah itu hanyalah dongeng.
Ibu juga pernah bercerita tentang tragedi kerusuhan di jaman dulu. Bahwa katanya pada satu petang. Kondisi kampung kala itu sangat mencekam. Sebuah keluarga kecil, sepasang suami-istri yang memiliki lebih dari dua orang anak, tengah berkemas untuk merencanakan pengungsian. Tetapi, sebelum itu mereka bermaksud akan menggelar makan bersama. Usai makan sore keluarga itu akan pergi. Tetapi, di kala mereka sekeluarga sedang makan. Datanglah beberapa pelaku kerusuhan, dan menangkap sang suami. Demikianlah kala itu adalah kali terakhir sang istri melihat suaminya, dan kali terakhir pula anak-anak melihat ayahnya. Setelah ditangkap, sang suami pun tiada berkabar, bagaikan hilang dan lenyap begitu saja. Kali ini, aku menangis mendengarkan cerita Ibu. Aku membayangkan betapa sedihnya kehilangan suami dan ayah dalam waktu sekejap. Betapa menderitanya hidup dalam kondisi perang ataupun kondisi yang jauh dari ketenteraman seperti itu. Saban hari bangun pagi, perasaan kerapkali was-was, penuh waspada, takut dan hati terasa mencekam. Oh, berharap jangan lagi terjadi perang ataupun kerusuhan. Jangan lagi! Ya, jangan lagi. Sebab, pasti sangat tidak nyaman hidup dalam kondisi peperangan, bukan?
Selain itu, Ibu juga kerap menceritakan kerabat-kerabat jauh kami. Entah namanya siapa? Marganya apa? Hubungan kerabat dari mana? Sepupu berapa kali dengan Ibu? Inilah. Itulah. Jujur, aku tidaklah mengenalnya. Aku hanya mendengarkan. Meskipun beberapa kali kucoba memberikan tanggapan pertanda aku tengah menyimak dan mendengarkan. Tetapi, usai itu, cerita-cerita itu berlalu dan lenyap begitu saja. Jikalau Ibu kembali menanyaiku, aku yakin aku pasti tidak bisa menjawabnya. Tapi, untunglah Ibu tidak melakukannya.
Di lain pihak. Setiap Ibu menyudahi cerita-ceritanya itu. Ibu kerap berpesan dan mengajarkanku. Seperti, sebagai anak gadis berbudaya timur, harus anggun, harus ayu, selalu tampil feminim. Itulah cerminan seorang anak gadis yang baik. Begitu kata Ibu. Sopan dalam berbusana, santun dalam bertutur. Tidak boleh berbuat kasar, apalagi berkata-kata kasar. Ibu juga mengajarkanku untuk selalu menjaga kebersihan dan kesucian tubuh sebagai seorang wanita dewasa di kelak kemudian hari. Tidak boleh melakukan sesuatu yang melanggar norma. Tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak baik yang akan mendatangkan celaan dari mulut orang banyak. Setelah berpesan dan berkata-kata seperti itu. Ibu akan menatapku, wajahnya tersenyum sambil membelai sayang rambutku yang sebahu.
Dari sekian banyak cerita Ibu. Ada sebuah cerita yang sangat berkesan bagiku. Dan hingga kini, tetap kuingat selalu. Yakni mengenai tradisi Sam-Liuk-Kiu.
Cerita ini bermula. Di sebuah desa yang banyak terdapat orang Tionghoa, suku Hakka. Ada seorang gadis cantik yang menaruh hati kepada seorang pemuda yang tak lain adalah tetangganya sendiri. Cinta sang gadis tidaklah bertepuk sebelah. Pemuda itu juga menaruh hati padanya. Jadilah mereka menjalin kasih. Hubungan kasih ini akhirnya diketahui oleh kedua pihak keluarga mereka. Usut punya usut, ternyata si gadis dan si pemuda tersebut memiliki selisih usia tiga tahun, dari segi Shio(1) ataupun perhitungan usia menurut penanggalan imlek(2). Dengan catatan si pemuda tentu lebih tua dari si gadis. Ini menjadikan kedua belah pihak keluarga menentang akan hubungan cinta mereka. Sebab, konon ceritanya dalam adat Tionghoa. Selisih umur tiga-enam-sembilan tahun, atau diartikan dalam bahasa Hakka sebagai Sam-Liuk-Kiu(3), adalah pantangan dalam hubungan pria dan wanita yang akan berumah tangga. Diyakini akan mendatangkan bala. Seperti akan bercerai seusai berumah tangga, atau akan ada kematian, atau sakit-sakitan usai menikah, ataupun segala sesuatu yang dianggap tidak menenteramkan.
Karena urusan umur yang berselisih tiga tahun antara si gadis dan si pemuda itu. Kedua belah pihak keluarga besar mereka pun melakukan segala cara demi untuk memisahkan mereka. Entah atas usul dari siapa. Pada suatu hari, seorang mak comblang mendatangi Ibu dari si gadis. Apalagi kalau bukan merayu Ibu si gadis untuk menjodohkan anak gadisnya itu dengan seorang pemuda di desa sebelah.