***Pulanglah, Ayah!"
[/caption]Kawan, pernahkah kau membenci seseorang hingga hatimu pecah berkeping-keping? Pernahkah kau membenci seseorang hingga amarahmu mematahkan tulang? Pernahkah kau membenci seseorang hingga emosimu merontokkan nadi? Pernahkah kau membenci seseorang serasa sebatang paku tengah menancap ragamu? Pernahkah kau membenci seseorang serasa sebilah belati telah mengerek lehermu? Atau, pernahkah kau membenci seseorang hingga darahmu mendidih, lalu menembus ke ubun-ubun, kemudian berceceran mengotori lantai rumahmu?
Pernahkah kau membenci seseorang hingga airmatamu membanjiri kamar? Dan, pernahkan kau membenci seseorang hingga jantungmu berdegup kencang, lalu tiba-tiba jantungmu itu berhenti berdetak? Ah, tak perlu lah kau menjawabnya sekarang, Kawan! Silahkan simpan dan anda pendam. Sebab, aku telah merasakan lebih dari semua yang kukatakan.
Yah, kutahu sendiri, dan kupikir setiap orang pun mengetahuinya. Bahwa membenci adalah suatu hal yang tidak pernah dibenarkan, baik dalam agama, hukum maupun dalam norma. Namun, aku sungguh tidak bisa untuk tidak melakukan nya. Bukankah kebencian itu adalah naluri setiap manusia? Kebencian, merupakan penyebab dari kesedihan. Kesedihan, adalah akibat dari kebencian yang berdasarkan kepada kekecewaan. Menurutku, segala sesuatu pastilah ada sebab dan ada pula akibat. Dan inilah yang dinamakan hukum sebab akibat.
Mari kuberitahu kepadamu, Kawan! Bahwa aku membencinya lebih dari apapun. Aku membencinya melebihi gunung tertinggi di dunia. Aku membencinya melebihi luasnya samudra. Aku membencinya melebihi dalamnya lautan. Dan, aku juga membencinya melebihi binatang paling berbisa.
Sungguh, aku membenci wanita kalajengking itu. Dari wajahnya, tubuhnya, raganya, rongga dadanya, darahnya, hingga kepada jiwa nya sekalipun. Bahkan aku bersumpah akan membencinya sepanjang hayat, sepanjang aku masih bernafas.
Tahukah kau, mengapa kebencianku bisa setingkat dewa kepada wanita kalajengking itu? Haruskah aku mengatakan nya? Baiklah. Mari, sekali lagi kuberitahu kepadamu, Kawan! Aku membencinya, sebab ia telah merampas apa yang paling berharga yang selama ini pernah aku miliki. Suamiku. Yah, wanita kalajengking itu telah merampas suamiku. Karenanya lah suamiku membuang dan menelantarkanku dan juga anak semata wayang kami.
Aku tak habis pikir. Dengan kata-kata dan bahasa apakah wanita kalajengking itu merayu suamiku? Dengan ilmu apakah pula ia menundukkan suamiku? Dengan beragam macam gaya apakah ia memuaskan suamiku? Dengan ramuan apakah ia memikat hati suamiku? Atau, dengan dukun manakah ia bekerja sama untuk menjebak suamiku? Dengan tebaran pesona macam apakah ia merebut perhatian suamiku?
Dengan obat apakah ia meracuni pikiran suamiku? Dengan dandanan seperti apakah ia membuat suamiku terpesona? Seberapa cantikkah ia sehingga suamiku terpesona kepada nya, lalu terjerat di dalam nya? Dan, barangkali minuman apakah yang telah diberikannya kepada suamiku sehingga suamiku lebih memilihnya daripada aku dan anakku?
Entahlah. Yang jelas, kalajengking adalah binatang yang berbisa. Bisa nya mengandung neurotoksin yang terdiri dari protein kecil, natrium dan juga kalium, berguna untuk mengganggu transmisi saraf untuk membunuh dan melumpuhkan mangsa. Barangkali seperti itulah suamiku terkena bisa si wanita kalajengking itu, bisa ataupun racun yang telah melumpuhkan segenap otak dan pikirannya yang tak bisa lagi berfungsi secara logika atau sebagaimana mestinya.
Dalam ketidakberdayaan aku tersungkur sambil bersujud di bibir dipan, lalu menangis hebat. Bulir-bulir air keluar dari kelopak mata tanpa bisa lagi terbendung, menetes, lalu bergulir membasahi wajah. Entah apa lagi yang harus kulakukan? Dapatkah aku menghidupi anakku sementara aku tidak memiliki pekerjaan? Dan wanita kalajengking itu, yah ia yang telah merampas hartaku satu-satunya kini malah bersenang-senang dan bersuka ria. Aku yang lelah menderita menemani suamiku di kala ia miskin papa, tetapi di kala ia telah kaya raya, malah si wanita kalajengking itu yang menikmatinya.
Inikah yang dinama kan keadilan? Entahlah. Dengan penjelasan apapun yang diberikan aku tetap tak akan bisa menerima. Meskipun di lain pihak, jujur kuakui bahwa aku tidak lah cerdas dalam membaca kondisi maupun menguasai situasi, sehingga aku kurang membekali diriku sendiri. Akibatnya yah, seperti ini! Aku dan anakku terbuang tanpa secuil rasa tanggung jawab sama sekali.
“Bu, Ibu menangis?”
Tiba-tiba terdengar suara mungil mengagetkanku. Aku tersentak. Kulihat anak laki-lakiku yang baru genap berumur enam tahun tengah duduk dengan mata mengantuk. Ia yang selama ini kerap menemaniku dan tidur di sampingku. Buru-buru kuhapus airmata dan memaksakan diri untuk tersenyum. Kubelai rambutnya dengan sayang, kemudian memeluknya dengan segenap cinta. Sebab, kini hanya ia yang aku punya.
“Bu, kapan Ayah pulang?” Tanyanya lagi dengan suara serak.
Aku kembali menangis. Entah bagaimana aku harus menjawabnya. Entah bagaimana pula aku harus menjelaskan nya. Jujur, aku sungguh tak berdaya.
“Tidurlah dulu, sayang!” Bisikku ke telinga nya.
Kulihat ia mengangguk. Lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur, dan memejamkan mata. Namun, tiba-tiba kulihat mulut mungil nya berkomat-kamit seperti membaca doa. Lamat-lamat kudengar salah satu permohonan nya, “pulanglah, Ayah!”
(Ingrid Jiu, 09 Juli 2016. 13.49, Pontianak)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H