Mohon tunggu...
Solehatun Marfuah
Solehatun Marfuah Mohon Tunggu... Novelis - I do not know in most of the times.

I only put something here because of the obligations.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Review-B: "Perempuan di Titik Nol" oleh Nawal El Saadawi

19 November 2018   11:30 Diperbarui: 19 November 2018   16:20 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku baru selesai membaca buku hasil karya neurolis berkebangsaan Mesir bernama Nawal El Saadawi tentang seorang wanita yang ia sengaja temui dan berbincang panjang dari balik selnya. Butuh sekitar 20 jam bagiku untuk menghabiskan buku dengan total jumlah halaman 175 itu. Satu yang aku pahami ketika selesai membaca dan ketika aku bangkit dari selimut dan kasurku, kulempar buku itu kemudian ke lantai sampai terdengar bunyi debum kecil yang dihasilkan karpet lantai kamarku.

Hari itu Minggu tanggal 18 November dan masih cukup pagi untuk memulai hari tanpa sarapan dan kopi, tapi buku itu sudah kuselesaikan. Begitu merinding dan merasa diawasi setelahnya. Aku masih berkutat dan belum bisa keluar dari ruang kata yang ditulis oleh El Saadawi dan dicipta oleh sosok wanita bernama Firdaus.

Kukatakan saat ini itu adalah buku pertama yang kubaca dari sekian usiaku yang sekarang 16 dan membuatku bergetar dari hati ke tulang oleh karena kalimatnya yang begitu nyata dan sulit dihasilkan apabila hal itu adalah terkaan alias fiktif. Buku itu nyata dan merupakan pengalaman Firdaus selama ia hidup, dan sejak 1974 ia telah mengakhiri seluruh perjuangan hidupnya ditutup oleh hukuman gantung bagi dirinya.

Sejak aku pertama kali membuka buku itu dan membaca Kata Penganar yang ditulis oleh Mochtar Lubis---sampai ketika aku selesai pada buku itu, aku belum pernah mengenalnya, Si Mocthar Lubis itu---dan menyesapi bahasa yang ia pakai untuk menyambut buku itu di halaman-halaman awalnya.

"Buku yang Keras dan Pedas" ia menulisnya demikian. Sebuah buku tidak mungkin kerasa semacam batu yang kau kepal atau pedas seperti lada halus yang ditabur di dalam matamu atau apapun itu yang bisa kuperkirakan sebelum aku memulai buku tersebut dan mencapai di Bab 2.

Oke, saat itu aku memulainya. Di hari Sabtu yang dingin dan sepoi-sepoi, aku tidak turun dari kamarku kecuali untuk mandi dan buang air kecil. Tugasku saat itu adalah menyelesaikan "Women at Point Zero" untuk tahu apa yang Mochtar Lubis katakana sebagai "Buku yang Keras dan Pedas" dan juga untuk mengusir perasaan sedih yang sedang aku kandung.

Aku bisa merasakan begitu baiknya perkataan yang El Saadawi tuliskan secara jujur dan cermat tanpa memusingkan apakah kalimat itu akan cocok untuk dibaca orang-orang? Oh, kupikir El Saadawi tidaklah begitu peduli. Ia menulis sesuatu yang sekarang aku akan ingat selalu berkat kejujuran yang begitu terasa nikmat ketika aku membacanya.

"Saya berdiri terpaku seperti berubah menjadi batu. Sipir meninggalkan saya untuk melakukan tugasnya. Saya berusaha untuk bergerak, untuk pergi ke mobil saya dab berangkat, tetapi gagal. Suatu perasaan aneh yang memberat menekan hati dan tubuh saya, menghilangkan tenaga di kaki saya. Sebuah perasaan yang lebih bera dari bobot bumi, alih-alih berdiri di atas permukaannya., saya terhimpit di bawahnya. Juga langit telah mengalami perubahan; warnanya telah berubah menjadi hitam, seperti warna bumi, dan menekan saya ke bawah dengan berat yang bertambah.

Perasaan ini pernah saya ketahui sebelum peristiwa ini, beberapa tahun yang telah lampau. Saat itu saya jatuh cinta kepada seorang pria yang tidak membalas cinta saya. Saya merasa ditolak, bukan saja oleh dia, bukan saja oleh satu orang di antara sekian juta yang menghuni dunia yang padat ini, tetapi oleh setiap mahluk ataubenda yang ada di bumi ini, oleh dunia yang luas itu sendiri." 

Begitu El Saadawi menulis pada halaman 7 di mana saya mulai jatuh cinta pada indahnya kejujuran dalam kata-katanya, dan begitu dalam saya bisa menghubungkan kata-katanya dengan posisi yang pernah saya rasakan, kendati ketika menulis itu El Saadawi tentu lebih berumur dari saya yang hanya 16 tahun.

"Saya mulai melangkah menuju mobil saya dengan maksud untuk meninggalkan tempat itu. Perasaan-perasaan subjektif semacam yang mengekang saya tidak layak bagi seorang pakar ilmiah. Saya hampir tersenyum sendiri ketika saya membuka pintu mobil saya. 

Sentuhan pada permukaan mobil itu telah membantu saya menemukan identitas saya kembali, harga diri saya sebagai seorang dokter,. Apa pun keadaannya, seorang dokter tentu lebih dihargai daripada seorang wanita yang telah dihukum mati karena membunuh. Sikap wajar saya terhadap diri-sendiri (suatu sikap yang jarang lepas dari saya) berangsur-angsur kembali." Tulis El Saadawi di halaman 8 bukunya itu.

Aku tidak bisa mengelak untuk kemudian mendapati dorongan yang begitu besar terhadap ketertarikan gaib yang muncul begitu saja pada buku El Saadawi ini. Bukan untuk memuji bagaimana El Saadawi begitu cerdas menuliskan perasaan "wajar terhadap diri-sendiri" untuk lebih berlama-lama. Begitu banyak kecerdasan dalam buku ini sehingga harus saya tulis lebih banyak dalam review, namun tulisan itu merupakan yang paling saya sukai dari sekian kecerdasan dalam bukunya itu.

Dan kemudian adalah satu bab panjang yang menceritakan pokok permasalahan dari novel itu sendiri. Namanya Firdaus, nama wanita berani yang dipenjara itu. Ia dituliskan dan digambarkan oleh El Saadawi adalah wanita yang begitu kuat mengarungi tinggi-rendah kehidupan dalam label menjadi "perempuan" di sebuah negara bernama Mesir. 

Bagaimana ia dikisahkan sebagai anak perempuan kecil dan bekerja bersama keluarganya, untuk membersihkan kandang ternak dari kotoran, membuat adonan untuk nantinya dimakan, kemudian ia dibesarkan oleh beberapa laki-laki di dalam hidupnya untuk terus tumbuh dan berkembang menjadi jalang. 

Bagaimana ia menjabarkan bahwa ia telah berulang kali merasakan penghianatan atas tubuhnya dari para laki-laki yang pernah menjamahnya tanpa harga dan nilai yang ditawarkan untuknya. Betapa kesulitan-kesulitan dalam hidupnya selalu bermuara dari laki-laki yang ia kenal. Pamanya, Ayahnya, suaminya, laki-laki yang ia kenal dan kemudian memperlakukannya seperti untuk mengajarkannya bahwa perempuan adalah korban penipuan para laki-laki.

Dan, untuk berikutnya, akan kupersingkat sampai di mana ketika laki-laki yang Firdaus berhubungan dengannya adalah seorang germo yang mulai memberikan banyak ancaman dari pelbagai pihak. Ia merasa terancam oleh kehadiran laki-laki germo ini. Di satu titik untuk mempertahankan dirinya dan eksistensi yang ia pegang atas dasar kehormatan dirinya, sekali ia seoang jalan, Firdaus melakukan tindakan kriminal dengan membunuh laki-laki germo tersebut. Menikamnya dan tidak pernah ditahan kalau saja  dia selalu menutup mulutnya. Tapi ia sampai di titik ketika ia muak dengan tekanan yang ia bawa tiap berhubungan dengan laki-laki baru, dan telah berhasil menyatakan bagaiaman ia menjadi seorang pembunuh kepada Pangeran yang memesannya seharga 3000 pon. Ia bersuara atas tindakannya, dan dengan itu ia ditahan.

Dan, Firdaus sendiri mengatakan dalam buku tersebut bahwa begitu ia bangga menjadi jalang yang sukses alih-alih menjadi seorang penjahat di bumi dan masih dibiarkan hidup. Untuk itu, dia menjelaskannya kepada El Saadawi dan kemudian ditulislah oleh nuerolist tersebut yang lalu diterjemahkan oleh Amir Sutaarga. Tuhan, untuk sekrang aku berterima kasih karena mereka semua telah bersama-sama bekerja agar buku ini ada di tanganku, dibaca olehku dan kemudian menjadikanku lebih banyak berpikir tentang nasib-nasib dan perempuan-perempuan yang dulu dan sekarang masih menjadi Firdaus-Firdaus yang lain.

"Mereka mengenakan borgol baja pada pergelangan tangan saya, dan membawa saya ke penjara. Dalam penjara mereka memasukkan saya ke dalam sebuah kamar yang pintu dan jendelanya selalu ditutup. Saya tahu apa sebabnya mereka itu begitu takutnya kepada saya. Sayalah satu-satunya perempuan yang telah membuka kedok mereka dan memperlihatkan muka kenyataan buruk mereka. 

Mereka menghukum saya sampai mati bukan karena saya telah membunuh seorang lelaki---beribu-ribu---orang yang dibunnuh tiap hari---tetapi karea mereka takut untuk membiarkan saya hidup. Mereka tahu bahwa selama saya masih hidup mereka tidak akan aman, bahwa saya akan membunuh mereka. Hidup saya berarti kematian mereka. Kematian saya berarti hidup mereka. Mereka ingin hidup. 

Dan hidup bagi mereka berarti semakin banyak kejahatan, semakin banyak perampokan, perampasan yang tak terbatas. Saya telah menang atas keduanya, kehidupan dan kematian, karena saya sudah tidak lagi mempunyai hasrat untuk hidup, juga tidak lagi merasa takut mati. 

Saya tidak mengharapkan apa-apa. Saya tak takut apa-apa. Karena selama hidup itu adalah keinginan, harapan, ketakutan kita yang memperbudak kita. Kebebasan yang saya nikmati mebuat mereka marah. Mereka ingin yang saya inginkan, takutkan atau harapkan. Kemudian mereka akan tahu bahwa mereka dapat memperbudak saya lagi."---Firdaus.

Dan ketika El Saadawi menulis di bagian paling akhir bukunya, "Dan saya segera menyadari bahwa Firdaus memiliki lebih banyak keberanian dibandingkan saya." Saya tidak bisa lebih tidak setuju pada kalimat lain kecuali kalimat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun